Saturday, November 9, 2013

Gol



Demba Ba, pemain bola sepak Chelsea, diberitakan mencetak sebuah gol yang indah. Ia terus melakukan sujud syukur, menyungkurkan wajahnya ke tanah. Ia sangat istimewa bagi Demba Ba, kerana merupakan golnya yang perdana. Sujudnya jauh lebih istimewa, sebab tak ramai yang mampu berbuat sama.

Saat menyaksikan pertandingan bola, ramai manusia yang merasa teruja. Walaupun ia tiada kena mengena dengan kehidupan mereka. Yang dicari mungkin hiburan semata. Sementara hidup menuntut kerja nyata. Saat sang hero memasukkan bola ke gawang, ia merasa ikut menang. Seharusnya ia meradang, disebabkan waktunya yang terbuang. Masih bagus jika ada pelajaran yang boleh dibawa pulang.

Dalam hidup yang kita jalani pun sebenarnya ada banyak ‘gol’ yang membuat hati gembira. Tak mesti ‘gol’ yang hebat, ‘gol-gol’ kecil pun termasuk tanda berjaya. Semua itu adalah nikmat yang melimpah. Atasnya lidah kita mengucap Alhamdulillah. Ketika itulah, seluruh ‘gol’ menjadi benar-benar indah dan berkah.

Bersyukurlah, dan akan ada lebih banyak ‘gol’ yang tercipta. Tak percaya, sila mencuba!

Thursday, November 7, 2013

Di Balik Kematian

Kematian bukanlah akhir hidup manusia
Ia hanyalah pintu keluar dari dunia
Menuju kediaman berikutnya
Dunia ini menyibukkan dan membuat lupa
Sehingga banyak yang alpa
Untuk apa hidup itu sebenarnya
Tak kurang pula yang bersuka ria
Tak bersedia untuk hidup setelahnya

Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:
"Di balik kematian ada dua tempat kediaman
Kalau engkau terlepas dari tempat yang pertama
Engkau akan berakhir di tempat yang kedua"
Tiada tempat yang ketiga
Tiada pula yang boleh membeli dengan hartanya
Satu kediaman bernama Surga
Yang lainnya bernama Neraka

Ramai yang ingin Surga
Tapi berkelakuan ahli Neraka
Ramai inginkan surga dunia
Tapi mengundang Neraka tiada habisnya

Siapa yang kejar dunia untuk akhiratnya
Dia beruntung sepanjang masa
Jangan cintai dunia, cintai Pemiliknya
Karena Dia saja yang boleh memberi bahagia
Bahagia yang sebenarnya
Dia saja, tiada selain-Nya

Jakarta, 8 Nov 2013
Alwi Alatas

Wednesday, November 6, 2013

Tak belajar dari kematian

Kubur dan kematian seharusnya dapat menjadi pengingat bagi kita untuk sadar dan menjauhi hal-hal yang negatif. Namun ada juga sebagian manusia yang tak peduli dengan kematian, walaupun mereka berada didekatnya.

Pada bulan September 2013 lalu, ada seorang bernama Soleh yang meninggal dunia. Sayang namanya tidak menggambarkan perilakunya. Ia wafat setelah pesta minum arak dan dikuburkan beberapa waktu kemudian. Beberapa saat sebelum Soleh dikuburkan, tujuh orang lainnya melakukan pesta minum arak pula di lokasi kuburan. Sebagian dari ketujuh orang itu bekerja sebagai penggali kubur. Selepas menguburkan jenazah Soleh, mereka kembali melanjutkan pesta minum arak di tempat yang sama. Malam itu juga, beberapa orang yang meminum arak tersebut masuk ke rumah sakit. Satu di antara mereka meninggal dunia selepasnya.

Mereka buat maksiat di tempat yang seharusnya mengingatkan mereka pada kematian. Kalau kematian sudah tak dapat menyadarkan dan menginsafkan, apa lagi yang hendak diharapkan?

Ya Allah, jauhkan kami daripada Su'ul Khatimah.

http://jogja.tribunnews.com/2013/09/18/tujuh-orang-pesta-miras-oplosan-di-kompleks-makam-lima-tewas

Thursday, October 3, 2013

Carilah alasan untuk tidak Mengeluh

Di antara tanda sabar itu adalah menahan lisan dari mengeluh. Kalau ada sesuatu yang tidak disukai terjadi dan kita bisa menahan diri dari mengeluh, maka ini termasuk ciri-ciri sabar. Tapi jika kita mengeluh, maka pada saat itu kita tidak sabar.

Tidak mengeluh kelihatannya mudah untuk dilakukan. Namun kenyataannya tidak begitu. Ramai orang yang sudah terbiasa mengeluh, termasuk dalam masalah-masalah yang kecil. Bahkan saat tidak ada masalah pun mereka kadang mengeluh juga. Seolah-olah mengeluh itu mengasyikkan. Mungkin ada juga yang menjadikannya sebagai hobi. Can you imagine? Seperti apa jadinya kalau mengeluh sudah menjadi hobi? Mungkin orang itu akan menjadi semacam “mesin mengomel” (nagging machine). Setiap jumpa orang lain, dia mengeluh dan menggerutu tentang banyak hal dalam hidupnya. Bahkan saat sendirian pun mungkin dia sibuk menggerutu juga.



Apakah pembaca pernah berjumpa dengan orang semacam ini? Semoga tidak. Karena membayangkannya saja sudah melelahkan, apalagi benar-benar berjumpa dan mendengarkan keluhannya selama puluhan menit atau berjam-jam lamanya.

Kebanyakan pembaca tentu tidak berperilaku seperti “mesin mengomel”. Alhamdulillah. Walaupun begitu, mungkin kita masih sering juga mengeluh. Kita mengeluh tanpa sadar, karena sudah menjadi kebiasaan. Saat makanan tak sedap, kita mengeluh dan mencela makanan itu. Padahal Nabi saw. melarang untuk mencela makanan dan beliau sendiri tidak pernah mencela atau mengeluhkan makanan. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan walaupun hanya sekali. Apabila beliau menghendaki suatu makanan maka beliau akan memakannya dan apabila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya“ (HR Bukhari-Muslim).

Saat hujan turun atau hari terlalu panas kita juga mengeluh, padahal semua itu datangnya dari Allah. Saat waktu berjalan terlalu cepat dan tidak cukup untuk menyelesaikan tugas yang ada, kita pun mengeluh, padahal sebenarnya kita yang tak pandai mengatur waktu. Saat sakit, kita juga mengeluh. Padahal kata Nabi saw, “Jika ia (si sakit) mengetahui apa yang ada di dalam sakit, maka ia akan lebih suka sakit hingga ia bertemu dengan Allah” (HR Ibnu Abu Dunya). Hal ini disebabkan adanya pengurangan dosa di balik sakitnya seseorang. Banyak lagi situasi yang membuat kita mengeluh. Kita sepertinya tidak pernah kehabisan alasan untuk mengeluh. Selalu ada saja hal untuk dikeluhkan dalam hidup.

Mengeluh itu tampaknya mudah untuk dilakukan, tapi sebenarnya ia menyusahkan. Ia menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain yang mendengarnya, karena keluhan berisi perkataan negatif. Dengan mengeluh kita membuat fikiran dan hati kita terus menerus menerima cara pandang yang negatif. Hal itu akan membuat jiwa menjadi pesimis dan merasa susah. Siapa yang membuatnya menjadi susah begitu? Ya diri kita sendiri yang menjadi penyebabnya. Kalau tak mau susah macam itu, berhentilah mengeluh. Buang jauh-jauh kebiasaan mengeluh. Dalam hidup ini sudah terlalu banyak kesusahan, jangan ditambah lagi dengan keluhan-keluhan yang tidak perlu.

Tapi bagaimana caranya untuk menghentikan kebiasaan mengeluh? Tentu saja kita perlu membangun kebiasaan baru. Tidak mengeluh adalah sebuah bentuk kesabaran. Dan dalam proses untuk menjadi sabar (tidak mengeluh), kita pun memerlukan kesabaran dalam membentuk kebiasaan yang baru itu. Perhatikan kebiasaan lama kita. Sadari adanya kekurangan itu. Setelah itu, tahan diri kita setiap kali akan mengeluhkan sesuatu.

Saya ulang sekali lagi. Perhatikan kebiasaan mengeluh. Sadari dan akui hal itu. Tahan diri setiap kali hendak mengeluh. Istighfar dan cepat perbaiki jika terlanjur mengeluh. Lakukan secara terus menerus. Satu hari, dua hari, seminggu, sebulan, sehingga akhirnya kita terbiasa melakukannya.

Agar lebih mudah dalam menahan diri dari mengeluh, maka carilah berbagai alasan untuk tidak mengeluh. Sebagaimana kita selalu menemukan alasan untuk mengeluh, kini carilah seribu alasan untuk tidak mengeluh. Kalau makanan tak sedap, katakanlah pada diri sendiri bahwa masih bagus kita bisa makan. Berapa banyak orang yang tak bisa makan kerana kesusahan hidupnya? Kalau pelajaran di sekolah susah, katakanlah pada diri sendiri bhawa kesusahan itu adalah jalan menuju sukses. Kalau kena marah bos di office, maka katakanlah Alhamdulillah karena kita masih memiliki pekerjaan dan kerana bos masih memperhatikan kita.

Jangan mengeluh. Carilah seribu alasan untuk tidak mengeluh. Lakukan secara terus menerus sehingga ia menjadi kebiasaan. Kalau hal itu sudah benar-benar dilakukan dan kebiasaan mengeluh sudah hilang, maka insya Allah akan ada banyak perubahan yang positif dalam hidup.

Kalau anda masih punya kebiasaan mengeluh, jangan hanya membaca artikel ini dan mengangguk-angguk menyetujuinya. Amalkanlah hal ini, agar kita termasuk dalam orang yang sabar.

Alwi Alatas
Jakarta
3 Oktober 2013

Wednesday, October 2, 2013

Sabar itu tidak mengeluh

Sabar itu tidak mengeluhkan masalah. Ia gigih dalam mencari jalan keluar.

Sabar itu tidak mengeluhkan keadaan. Ia setia dalam melihat sisi cerah dari keadaan itu.

Sabar tidak memiliki waktu untuk mengeluh. Ia terlalu sibuk bergerak ke depan.

“Sabar dan berkeluh-kesah adalah dua hal yang bertentangan…. salah satunya dikalahkan oleh yang lain,” kata Ibn Qayyim al-Jauziyah

(Senyumlah, Apa pun masalahmu Ia pasti akan berlalu)

Thursday, September 26, 2013

Money Changer Kehidupan

“Coba lihat itu,” saya berkata pada istri yang duduk di sebelah. Kami ketika itu sedang menunggu dipanggilnya nomor giliran di sebuah money changer yang cukup besar. Saya menunjuk ke arah dua orang perempuan, yang satu berusia sekitar 40 tahun, dan satunya lagi yang tampaknya adalah ibunya berusia lebih dari 60 tahun. Keduanya sedang berdiri menukar uang di depan pegawai money changer.

“Ada apa?” istri saya belum faham.

“Ibu yang tua itu jalannya sudah tertatih-tatih sehingga perlu dituntun oleh anaknya,” saya menerangkan.

Istri saya memperhatikan kedua perempuan itu. Tak lama kemudian, keduanya berjalan menuju ke deretan kursi untuk menunggu panggilan berikutnya. Perempuan yang tua berjalan dengan dibimbing oleh perempuan yang lebih muda. Ia berjalan dengan susah payah. Kakinya sulit digerakkan, sehingga jalannya sangat lambat. Kaca mata perempuan tua itu juga sangat tebal, mungkin ia sudah tidak bisa melihat dengan jelas.

“Betul juga,” kata istri saya saat melihat keduanya berjalan.

“Perempuan ini sudah tua, tapi dia masih saja sibuk mengurusi dunia,” ujar saya lagi kepada istri. “Bukankah lebih baik kalau dia menyibukkan diri untuk akhiratnya, terutama pada umurnya sekarang ini?”

Namun perempuan itu tampaknya keturunan Cina dan mungkin bukan Muslim. Cara berpikirnya tentu berbeda dengan cara berpikir kami.

“Tapi pada sisi lain, mungkin ada baiknya dia tetap melakukan aktivitas seperti ini,” kata saya lagi kepada istri. “Bukankah orang tua yang tidak banyak aktivitas dan tidak banyak bergerak akan cepat menjadi pikun.”

“Itu pun benar juga,” kata istri saya. “Orang tua perlu tetap beraktivitas agar jiwa dan pikirannya tetap sehat.”

Saya kemudian bebisik kepada istri saya sambil tersenyum, “Kalau begitu, kalau Allah anugerahkan kita umur panjang, kita akan tetap beraktivitas walaupun sudah berusia tua. Kita akan pergi ke bank dan money changer. Kita terus jalankan bisnis dan berinvestasi. Tapi kita melakukan itu semua sambil berzikir … subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar ….”

Istri saya tersenyum membayangkan hal itu.

Tentu saja kami tak tahu apakah akan melakukan semua itu pada usia tua atau tidak. Macam pengusaha hebat saja. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah dalam setiap aktivitas yang dilakukan jangan sampai lupa pada Allah.

Tetap menjalankan urusan duniawi yang halal hingga ke usia tua tidak masalah, tapi jangan lupakan kematian yang semakin dekat. Niatkan aktivitas duniawi itu untuk kepentingan akhirat, dan selalu basahi lisan berzikir mengingat-Nya. Dengan begitu, mudah-mudahan akhir perbuatan dan ucapan kita adalah sesuatu yang dicintai oleh-Nya, bukan yang dibenci-Nya.

Kita juga harus selalu ingat bahwa saat kita meninggal dunia, kita akan memasuki sebuah negeri yang baru, yaitu negeri akhirat. Di sana kita memerlukan ‘mata uang’ yang berbeda dengan yang ada di dunia. Orang yang hendak pergi ke negeri lain, perlu datang ke money changer untuk menukar uangnya dengan mata uang yang bisa diterima di negeri yang akan didatanginya. Seorang yang akan pergi ke negeri akhirat (kita semua akan pergi ke sana) juga perlu menukar terlebih dahulu apa yang dimilikinya di dunia dengan hal-hal yang dapat diterima di negeri yang baru itu.

Negeri akhirat tidak mengenal dollar, ringgit, ataupun rupiah, yang dikenalnya adalah buah dari amal soleh dan sedekah yang ikhlas karena-Nya. Negeri itu tak mengenal berbagai harta benda yang kita miliki sekarang, yang dikenalnya hanyalah hasil dari ketulusan menyembah-Nya. Negeri itu tak mengenal wajah yang tampan, fisik yang kuat, maupun ramainya kawan-kawan yang hebat, yang dikenalnya hanyalah lisan yang jujur dan banyak berzikir, sifat kasih sayang dan tolong menolong karena-Nya, serta hati dan jiwa yang bersih.

Negeri akhirat itulah negeri kita yang sebenarnya, bukan negeri yang sekarang ini. Kita akan pergi dan menetap seterusnya di sana. Masalahnya, kita tidak tahu kapan ‘flight’ kita akan berangkat ke sana. Mungkin beberapa puluh tahun lagi, tapi mungkin juga esok pagi. Maka tukarkan ‘uang’ yang kita miliki di dunia ini sebanyak-banyaknya untuk menyiapkan diri menuju ke negeri akhirat. Pergilah ke ‘money changer’. Kalau kita menemukan ada orang yang memerlukan pertolongan, maka itulah money changer-nya. Kalau kita memiliki waktu luang untuk beribadah, maka itulah money changer-nya. Setiap tempat dan bumi yang kita ada di atasnya atau sedang kita lalui, maka itu pun bisa menjadi money changer. Pada semua money changer itu, kita tukar harta duniawi serta berbagai aktivitas kita dengan keridhaan-Nya. Nilai tukarnya tidak akan pernah jatuh, selama keikhlasan tetap terjaga. Dengan begitu, kelak kita akan memasuki negeri akhirat dengan ‘uang’ yang mencukupi insya Allah.

Akhirnya, jangan menunggu sampai menjadi tua seperti si perempuan tua untuk pergi ke ‘money changer’. Ia berjalan dengan susah payah dan mesti dibantu orang lain. Bersiaplah sekarang juga, ‘flight’ kita mungkin akan lepas landas sebentar lagi. Wallahu a’lam.

Syed Alwi Alatas
Jakarta, 26 September 2013

Tuesday, September 24, 2013

Sebesar apa rumah kita?

Beberapa hari lalu saya bertakziah ke tempat seorang yang baru saja meninggal dunia. Orang yang wafat ini merupakan seorang pengusaha yang berhasil dan termasuk orang kaya. “Jalan masuk ke rumahnya hanya cukup untuk satu mobil,” begitu saya diberitahu, “tapi rumahnya besar sekali.”

Ketika tiba di rumahnya, saya tidak begitu memperhatikan keadaan tempat itu, karena perhatian tertuju pada orang-orang lainnya yang hadir di sana. Beberapa waktu kemudian, jenazah dibawa dengan sebuah mobil pengantar jenazah menuju ke masjid untuk disalatkan dan kemudian dibawa ke kubur. Saya sendiri tidak ikut menyalatkan di masjid dan mengantarkan ke kuburan. Saya menunggu ibu saya yang ikut bertakziah keluar dari dalam rumah untuk kemudian pulang ke rumah.

Orang-orang sudah mulai pergi meninggalkan tempat itu dan suasana menjadi lebih sepi. Ketika itu, sambil menunggu ibu, saya memperhatikan halaman serta rumah yang besar itu. Untuk sebuah rumah pribadi, tempat itu memang sangat besar. Ia memiliki bangunan tempat meletakkan mobil yang terpisah dari bangunan rumah utama. Halaman dan kebunnya juga sangat luas.

“Besar sekali rumah ini,” saya bertanya-tanya ingin tahu, “berapakah luasnya?”

“Saya dengar luasnya 1 hektar,” kata abang yang ada di sebelah saya.

Dapatkah anda membayangkan sebuah rumah pribadi, di tengah kota besar seperti Jakarta, yang luas tanahnya 1 hektar? Tentu saja Allahyarham bukan satu-satunya orang kaya yang memiliki rumah dan halaman seluas itu. Ada orang-orang kaya lainnya yang memiliki rumah pribadi dengan tanah yang luas. Tapi jumlah mereka tentu terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan kebanyakan orang yang rumahnya tidak sampai 100 atau 150 meter persegi. Masih banyak lagi yang tidak memiliki rumah sama sekali dan hanya mampu menyewa rumah.

Kalau pemilik rumah ini selalu bersyukur kepada Tuhannya atas nikmat itu, tentu ia termasuk orang yang beruntung. Ia memiliki rumah yang besar, memiliki kekayaan yang lebih dari cukup, memiliki kendaraan dan bangunan khusus untuk meletakkan kenderaannya, memiliki bisnis yang hebat, serta memiliki banyak hal lainnya. Tentu tiada alasan untuk tidak bersyukur. Tapi kita yang rumahnya kecil pun, atau belum punya rumah, jangan sampai tak bersyukur. Karena nikmat yang sedikit pun perlu disyukuri. Sekecil apa pun nikmat, di dalamnya ada tuntutan untuk bersyukur. Dan bagi orang yang bersyukur, nikmatnya akan dilipatgandakan.

Jadi begitulah, orang itu memiliki rumah yang sangat besar. Namun kini ia sudah meninggal dunia. Jenazahnya dibawa meninggalkan rumah itu, menuju ke tempat yang lain. Kemana jenazah itu dibawa? Ya, ia dibawa ke ‘rumah’ yang baru. Luas rumah yang baru itu hanya sekitar dua meter persegi, tidak lebih. Rumah barunya itu sama saja dengan rumah kita semua pada akhirnya. Orang yang tidak punya rumah selama hidupnya pun pada akhirnya akan menempati ‘rumah’ yang luasnya kurang lebih sama dengan yang ditempati si kaya.



Rumah di akhir kehidupan itu bernama kuburan. Kita semua akan masuk ke dalamnya. Kekayaan kita di dunia tidak membuat kubur itu lebih besar dan nyaman. Kekayaan amal-lah yang akan menjadikannya terang dan aman.

Jangan hanya sibuk membeli dan mengurus rumah duniawi. Kerana pada akhirnya rumah itu akan jadi milik orang lain. Persiapkan diri untuk rumah yang terakhir. Agar kelak kita tak merasa kecewa yang berpanjangan.

Syed Alwi Alatas
Jakarta, 23 September 2013

Sunday, September 22, 2013

Akhirnya ... bukan awalnya

Belum lama ini saya berjumpa dengan seorang kawan lama, sebut sahaja namanya Adi. Ia mengajak saya pergi dengan mengendarai mobilnya ke beberapa tempat di Jakarta, sambil berbincang tentang banyak hal. Kemudian kami berhenti di sebuah tempat untuk makan nasi goreng rawit.

Saat makan, ia sempat bercerita tentang dialog seorang anak dengan ayahnya. Si anak mengeluh tentang keadaan yang dihadapinya, bahwa ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia merasa tak bisa menjadi orang yang sukses dengan keadaannya itu. Ia merasa iri dengan pemuda-pemuda lain yang berasal dari keluarga kaya dan memiliki banyak hal dan kemudahan untuk sukses dalam hidup.

Ayahnya kemudian menasihati anak ini dengan sebuah kalimat, "It doesn't matter where you start. It's matter where you end."

Ini adalah sebuah kisah dan pelajaran yang sangat berharga. Kata-kata nasihat itu singkat saja, tetapi sangat dalam. Apa yang dikatakannya sangat tepat. Tidak penting di mana kamu memulai. Yang penting di mana kamu berakhir. Ramai orang yang sudah membuktikan ini. Awalnya tidak menentukan akhirnya. Orang yang awal hidupnya susah, tidak mesti akhir hidupnya juga susah. Orang yang awal hidupnya bahagia, belum tentu akhirnya juga bahagia. Ada beberapa kisah dalam buku Kalau Bisa Mudah, Mengapa Dibuat Susah? yang membuktikan kebenaran ini.


Kawan saya menyebutkan kisah itu berkenaan dengan usaha manusia dalam kehidupan di dunia. Namun, tiba-tiba saya berpikir bahwa kata-kata itu juga sebenarnya berkenaan dengan kematian. Bahkan hubungannya dengan kematian lebih penting lagi. "It doesn't matter where you start. It's matter where you end." Tidak penting di mana kamu memulai. Kita mungkin memulai kehidupan ini di keluarga miskin atau kaya. Kita mungkin memulainya di keluarga Muslim atau bukan Muslim. Kita mungkin memulainya dalam keadaan sehat atau cacat. Kita mungkin memulainya dalam keadaan bahagia atau menderita. Kita tidak memiliki kuasa atas bagian awalnya. Kita menerima takdir itu sepenuhnya. Ia bukan untuk dikeluhkan. Mengapa begitu? Karena tidak penting di mana kita memulai. Yang penting adalah di mana kita berakhir. Dan awal hidup ini tidak menentukan akhirnya. Banyak yang awal hidupnya baik, tetapi akhir hidupnya buruk, sebagaimana banyak pula orang yang awal hidupnya buruk tetapi akhirnya baik.

Awal hidup manusia ada dua saja, boleh jadi ia baik, boleh jadi ia buruk. Tapi itu tak penting. Akhir hidup manusia juga hanya dua, boleh jadi ia husnul khatimah, boleh jadi su'ul khatimah. Dan ini yang paling penting, kerana hal ini yang menjadi hasil akhirnya.

Jadi yang paling penting adalah akhirnya. Kita bertanggung jawab atas akhirnya. Dan akhir kehidupan ini adalah kematian. It's really matter how we end our life. Sehebat apa pun bagian awal dan perjalanan hidup kita, tapi jika akhirnya buruk (su'ul khatimah), maka sia-sialah semuanya.

Apa yang sudah kita lakukan untuk menghadapi akhir yang sangat penting ini? Mudah-mudahan akhir hidup kita ditutup dengan ucapan syahadat dan karenanya kita mendapat husnul khatimah. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

Rasulullah saw. bersabda, “Sesiapa yang akhir perkataannya adalah lailahaillallah, pasti dia masuk syurga.” (Riwayat al-Hakim dengan sanad hasan)

Thursday, September 19, 2013

Life may end at forty


Habib Munzir al-Musawa meninggal dunia beberapa hari lepas dalam usia lebih kurang 40 tahun.

Beberapa bulan lepas, Ustadz Jefri al-Buckhori meninggal dunia, juga dalam usia 40 tahun.

Keduanya merupakan ustadz dan pendakwah terkenal di Indonesia. Semoga Allah merahmati keduanya.

Dahulu orang mengatakan "life begins at forty". Sekarang mungkin orang berkata, "life may end at forty."

Usia saya pun sudah dekat 40. Sementara amal sangat sedikit dan dosa-dosa terlalu banyak.

Ya Allah, janganlah Engkau matikan kami melainkan dalam keadaan yang Engkau ridhai.

Wafatkanlah kami dalam husnul khatimah.

Wednesday, September 18, 2013

Syair yang menyentuh tentang kematian

Jika Tuhanku bertanya padaku
Tidak malukah kau bermaksiat pada-Ku?

Kau sembunyikan dosamu dari makhluk-Ku
Dan datang pada-Ku dengan penuh dosa

Bagaimana aku nak jawab duhai diriku yang malang?
… dan siapalah yang dapat menyelamatkan aku?

Aku terus menyogok jiwaku dengan impian
Dan harapan dari semasa ke semasa

Dan aku melupakan apa yang bakal dihadapi selepas mati
Dan apa yang akan berlaku selepas aku dikafankan

Seolah-olah aku ini telah dijamin untuk hidup selamanya
Seakan mati tidak akan menemuiku

Dan telah datang padaku sakaratul yang ngeri
Nah! Siapa sekarang yang mampu melindungiku?

Aku melihat pada wajah-wajah …
Apakah ada daripada mereka yang akan menebusku?

Aku akan disoal apa yang telah aku lakukan
Di dunia untuk menyelamatkan diri ini?

Maka bagaimana akan kujawab
Setelah aku mengabaikan urusan agamaku?

Celakanya aku! Apakah aku tak mendengar
Ayat-ayat Allah yang menyeruku?

Adakah aku tak dengar apa yang telah diberitakan
Di dalam surah Qaaf dan Yaasin?

Apakah aku tak dengar tentang hari dikumpulkan manusia
Hari perhimpunan dan hari al-Deen (Qiyamah)?

Adakah aku tak dengar panggilan ajal maut,
Menyeru dan menjemputku?

Maka Ya Rabb! Seorang hamba datang bertaubat,
Siapa yang dapat melindunginya?

Melainkan Tuhan yang Maha Luas pengampunan-Nya
Yang membimbingku pada kebenaran?

Aku telah datang pada-Mu maka kasihanilah daku
Dan beratkan timbangan (kebaikan) ku

Dan ringankan (percepatkan) hisabku
Kerana Engkaulah yang terbaik dalam penghisaban

Saturday, August 31, 2013

Muda, Rajin Berolah Raga, dan ... Kematian

Orang yang masih muda dan suka berolah raga biasanya lebih sehat dan lebih kuat daripada orang yang sudah tua dan jarang berolah raga. Orang yang masih muda dan rajin berolah raga juga biasanya dianggap lebih jauh dari kematian daripada orang tua dan orang yang jarang berolah raga. Tapi itu bukan sebuah kepastian. Tiada yang dapat menjamin bahwa mereka tidak akan wafat lebih dulu daripada orang yang usianya lebih tua dan perilaku hidupnya tidak sehat.

Pada 27 Agustus 2013 lalu, seorang pemain sepak bola pada sebuah klub di Argentina, Hector Sanabria, tiba-tiba jatuh di tengah lapangan saat pertandingan sepak bola baru berjalan sekitar tiga puluh menit. Ia jatuh begitu saja tanpa ada kontak dengan pemain lain. Kemungkinan penyebabnya adalah serangan jantung. Dokter segera turun ke lapangan untuk menolongnya. Sanabria langsung dibawa ke rumah sakit. Namun, sebelum tiba di rumah sakit, ia sudah meninggal dunia (http://www.foxnews.com/sports/2013/08/27/27-year-old-hector-sanabria-dies-heart-attack-during-match-in-argentina-third/).

Umurnya baru 27 tahun. Ia wafat hanya satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-28. Hector Sanabria masih berusia muda dan tentu saja ia rajin berolah raga karena ia adalah seorang pemain sepak bola profesional. Namun ia wafat di usia mudanya itu ... dan saat sedang bertanding sepak bola.

Bukan hanya Hector Sanabria yang mengalami hal semacam ini. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 5 Januari 2013, seorang remaja berusia 16 tahun bernama Philip Lamin, juga mengalami hal yang sama. Saat bermain sepak bola bersama kawan-kawannya di sebuah lapangan di sekolahnya di London, Lamin tiba-tiba terjatuh tanpa ada kontak dengan pemain lain. Ia segera dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya sudah tak tertolong lagi. Lamin wafat di rumah sakit beberapa jam kemudian (http://www.dailymail.co.uk/news/article-2274380/Boy-16-dies-collapsing-playing-football-friends-school.html).

Lamin digambarkan sebagai seorang dengan senyum yang khas dan suka membuat rekan-rekannya tertawa. ia juga disebut sebagai salah satu olah ragawan paling berbakat di sekolah itu. Tapi jika ajal sudah datang, maka kematian tak akan mundur ke belakang. Orang yang masih sangat belia, bahkan masih remaja, tak memberi jaminan masih panjangnya usia. Orang yang rajin menjaga kesehatan, dan sering melakukannya bersama rekan-rekan, belum tentu ia jauh dari kematian.

Tapi jangan menjadi malas berolah raga setelah membaca tulisan ini. Berolah-ragalah dan jagalah kesehatan, tapi sering-seringlah mengingat kematian.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,

1 September 2013

Thursday, August 22, 2013

Mati dan Hidup Lagi - Twitter

Alwi Alatas

Saat memasukkan kata ‘clinically dead’ di google, saya terkejut krn banyak gambar Hosni Mubarak yang muncul. #Mati

Saya sempat merasa heran. Apakah google sudah mulai error dalam layanan pencariannya. #Mati

Kemudian saya berpikir, mungkin ada berita terbaru yang belum saya tahu tentang Mesir. #Mati

Apakah Hosni Mubarak yang dikatakan akan dibebaskan itu tiba-tiba saja meninggal dunia? #Mati

Saya pun membuka gambar itu dan membaca beritanya. Ternyata itu berita lama, tahun 2012. #Mati

Saat itu ia sempat dikabarkan meninggal dunia secara klinis. #Mati

Terlepas dari berita itu, sebenarnya berdasarkan apa yang berlaku di Mesir skrg, Hosni Mubarak mmg tlh mati scr politik, politically dead, … #Mati

tp sekarang ini rupanya bangkit kembali dengan pertolongan Abdul Fatah al-Sisi dan kawan-kawannya. #Mati

Mubarak yg sdh jatuh dari kekuasaan, dipenjara, dan msk mahkamah utk menunggu hukuman, akhirnya dilepaskan kembali. #Mati

Apakah ia akan kembali ke kursi kekuasaan, wallahu a’lam. #Mati

Apa pun yang berlaku, pada akhirnya Mubarak, al-Sisi, dan yang lainnya akan mati juga, #Mati

baik secara politik ataupun secara klinis, mati yang sebenar-benarnya. #Mati

Semua ada batas waktunya. Firaun pun tak bisa membeli keabadian. #Mati

Pada saat kematian datang, semua yang telah dilakukan seseorang di dunia akan dipertanggung-jawabkan. #Mati

Bagi sebagian orang, dunia adalah tempat satu-satunya untuk meraih kemenangan dan kejayaan. #Mati

Ia akan melakukan apa sj untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan itu, walau dgn berbuat sezalim-zalimnya pd org lain. #Mati

Tapi bagi orang yang beriman, kemenangan akhirat jauh lebih penting. #Mati

Di dunia, ia akan berusaha untuk menang dan sukses. Tapi kalau pun kalah, ia tak peduli. #Mati

Karena kemenangan akhirat itulah yang jauh lebih penting. #Mati

Dunia ini singkat dan akhirat itu abadi. #Mati

Di antara keduanya ada kematian yang menyakitkan dan selepasnya ada hisab yang keras. #Mati

Cukuplah itu sebagai pengingat bagi kita semua. #Mati

Wednesday, August 21, 2013

Bangkit dari Kematian

Dalam akhbar The Sun semalam, Selasa 20 Ogos 2013, terdapat berita tentang seorang wanita Australia yang secara klinikal dinyatakan meninggal dunia, Namun tidak sampai satu jam kemudian wanita itu hidup semula, bangkit dari kematian. Wanita bernama Vanessa Tanasio yang berumur 41 tahun itu mengalami serangan jantung dan segera dibawa ke sebuah hospital di Melbourne. Arteri utamanya telah tersekat.

Tak lama selepas ketibaannya di hospital, ia dinyatakan meninggal dunia. Walaupun begitu, dokter tetap berusaha untuk membuka sekatan pada arterinya, sementara sebuah alat lainnya digunakan untuk memastikan bekalan darah ke otaknya.

Lebih kurang 42 menit kemudian, jantung wanita itu kembali berdenyut ke rentak normal. Ia hidup semula. Dokter yang menolongnya pun merasa hal itu sebagai sebuah keajaiban. “Indeed this is a miracle, “ kata dokter kardiologi Wally Ahmar, “I did not expect her to be so well.”

Pengalaman mati kemudian hidup semula cukup banyak terjadi, kadang disertai pengalaman menyaksikan apa-apa yang dilakukan orang-orang yang masih hidup di sekitarnya. Sebetulnya, orang itu memang belum ditakdirkan untuk meninggal dunia. Ia masih memiliki umur untuk hidup di dunia, walaupun melewati sebuah pengalaman semacam kematian untuk waktu tertentu. Ianya menjadi satu pelajaran bagi kita semua tentang hakikat kematian dan kebangkitan kembali.

Orang yang meninggal dunia pun bukannya berakhir kehidupannya secara mutlak. Ia hanya berpindah dari kehidupan di dunia ini kepada kehidupan yang berikutnya. Kerananya kita mesti sediakan bekal yang cukup untuk menghadapi kehidupan selepas ini.
Setiap insan pada akhirnya akan mati, mungkin di usia tua ataupun di usia muda. Bersedia atau tidak, Kita bakal mati juga. Tak semua orang mendapat kesempatan kedua, bangkit semula daripada kematian, seperti yang dialami wanita pada kisah di atas. Kebanyakan orang yang meninggal dunia tak pernah bangkit semula. Mereka mati seterusnya dan tak pernah kembali lagi.

Jika saat itu datang, adakah kita bersedia menghadapinya?

Kuala Lumpur, 21 Ogos 2013
Syed Alwi alatas

Friday, July 26, 2013

Bersyukur dan Berbagi

Kalau kita tinggal di negeri yang aman, bersyukurlah
Kerana banyak negeri yang sebelumnya aman, kini dilanda fitnah dan peperangan

Kalau kita boleh makan cukup 3 kali sehari, bersyukurlah
Kerana banyak orang yang tak cukup makan, di negeri dan tempat berhampiran

Kalau kita mendapatkan pendidikan yang baik, bersyukurlah
Kerana tak sedikit anak-anak yang tak dapat bersekolah, walaupun hal itu sangat diinginkan

Kalau kita memiliki tempat tinggal dan kamar untuk tidur, bersyukurlah
Kerana banyak yang terpaksa tidur di tempat yang tak layak atau di tepian jalan

Sebagai wujud syukur, jika ada kelebihan rejeki, berbagilah
Agar mereka yang memerlukan dapat tersenyum dan merasakan kebahagiaan
Dan dengan syukur itu, nikmat yang ada pun akan dilipatgandakan


Selamat menyambut Asyrul Awakhir dan Lailatul Qadr
Ramadhan Karim

KL, 27 Juli 2013

Thursday, May 30, 2013

Bakat dan Keprihatinan Iqbal al-Assaad

Tidak semua orang yang berbakat memiliki cita-cita tinggi, sehingga bakatnya itu dapat memberinya manfaat yang besar. Tak semua yang bercita-cita tinggi memiliki bakat yang ideal untuk mencapai keinginannya. Tapi kalau cita-citanya cukup kuat, ia tentu dapat juga mencapai cita-citanya itu. Kalau bakat yang besar bertemu dengan cita-cita yang tinggi, maka hasilnya tentu akan menakjubkan, seperti yang dapat kita lihat pada seorang perempuan Muslimah bernama Iqbal al-Assaad.

Iqbal adalah seorang gadis Lebanon keturunan Palestina yang berjilbab rapi. Umurnya baru dua puluh tahun, tapi ia sudah menjadi seorang dokter medis. Ia adalah lulusan termuda di Weill Cornell Medical College, sebuah sekolah kedokteran bergengsi di Qatar. Sebenarnya, ia termasuk pelajar paling muda di dunia yang pernah lulus dari sekolah kedokteran.

Bakatnya memang telah terlihat sejak masih kecil. Saat masih kanak-kanak, ia mulai belajar Aljabar dengan memperhatikan saudara-saudaranya yang lebih tua belajar. Ia adalah anak paling kecil dari empat bersaudara di keluarga yang sangat menghargai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada umur dua setengah tahun ia belajar sendiri menghitung satu hingga sepuluh dalam bahasa Arab dan Inggris. Pada umur lima tahun ia sudah masuk sekolah bersama dengan anak-anak yang umurnya dua tahun lebih tua darinya. Pada usia sedini ini, yang menjadi hobinya dalam mengisi waktu luang adalah membaca buku dan memecahkan persoalan Matematika.



Pada umur sembilan tahun, ia lulus ujian kenaikan tingkat kelas sembilan (di Indonesia mungkin setara dengan kelas tiga SMP) yang biasanya diikuti oleh anak berumur empat belas tahun. Ia melompati tingkatan demi tingkatan kelas di sekolahnya seolah hal itu semudah melompat pada permainan yang biasa dilakukan oleh anak-anak.

Keluarga Iqbal memang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka semua menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi dan dalam usia yang relatif muda. Tetapi di antara semuanya, Iqbal memang memiliki bakat yang paling menonjol. Karena itu ayahnya mempersiapkan pendidikan anaknya yang satu ini dengan sebaik mungkin.

Selain keluarganya, Iqbal juga mendapat dukungan dari kementerian pendidikan Lebanon yang mengetahui bakat dan potensinya. Iqbal dapat mengikuti ujian kelulusan di kelas sembilan atas rekomendasi dari lembaga ini. Saat mengetahui anak yang berbakat ini ingin menjadi dokter, kementerian pendidikan Lebanon meminta bantuan kepada Sheikha Mozah, first lady Qatar, yang kemudian memberi Iqbal full scholarship di Weill Cornell Medical College serta membantu Iqbal dan ibunya pindah ke Qatar. Umur Iqbal ketika itu baru dua belas tahun.

Walaupun masih sangat muda, Iqbal tidak merasa canggung berada di lingkungan mahasiswa yang kebanyakan usianya sepuluh tahun lebih tua dari dirinya. “Saya tidak merasa saya lebih muda dari para pelajar lainnya – sejak berumur lima tahun saya sudah biasa (belajar) bersama para pelajar yang umurnya lebih tua dari saya,” katanya. Teman-teman kuliahnya juga tidak memperlakukannya berbeda. Iqbal bukan hanya cerdas, ia juga matang dan dewasa. Hal ini diakui oleh salah satu profesor yang mengajarnya di kampus itu. “Hanya dengan mengamati ia berinteraksi dengan para pelajar yang lain, kamu tidak akan mengetahui bahwa ia berusia lebih muda,” kata Prof. Marco Ameduri. “Sebenarnya,” katanya lagi, “saya melihatnya sebagai seorang pemimpin pelajar, menghimpun para pelajar bersama-sama, membentuk kelompok studi, dan hal-hal semacamnya.”

“Sungguh sangat mengesankan memilikinya di dalam kelas,” Profesor Ameduri melanjutkan, “seorang pelajar yang begitu muda dan pada saat yang sama begitu matang dan mampu mengatasi kurikulum yang sangat menantang.” Dan kini ia telah menyelesaikan kuliah kedokterannya dalam usia yang sangat belia.

Banyak orang yang memiliki cita-cita yang tinggi, tapi kadang cita-cita itu bersifat egois, hanya untuk kepentingan diri sendiri saja. Mengapa ingin jadi dokter? Karena dokter adalah profesi yang sangat menjanjikan. Kehidupan seorang dokter dapat dikatakan sangat terjamin. Dengan kata lain, itu adalah profesi yang cepat mendatangkan uang. Tapi tentu tidak semua calon dokter berpikiran seperti ini. Tidak semua orang bersifat egois dalam mengejar cita-citanya. Dan Iqbal termasuk yang seperti ini.

Apa yang mendorong Iqbal untuk menjadi seorang dokter? Motivasi awalnya adalah karena rasa prihatin yang dirasakannya terhadap orang-orang Palestina yang berada di pengungsian. Dalam wawancara dengan Nature Middle East, Iqbal bercerita, “Saya memutuskan untuk menjadi dokter ketika saya berusia dua belas tahun. Tumbuh sebagai seorang Palestina dan tinggal di Lebanon, saya menyaksikan banyak penderitaan di tengah masyarakat saya, karena orang-orang Palestina di Lebanon tidak memiliki asuransi kesehatan. Saya dan keluarga mengunjungi kemah-kemah (pengungsian) dan melihat betapa buruknya kondisi di sana. Saya menyaksikan banyak orang tua yang melihat anak-anak mereka menderita, tetapi mereka tidak mampu menolong karena mereka tidak memiliki uang untuk itu. Kunjungan ke kemah-kemah pengungsian ini membuat saya merasa bahwa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk belajar kedokteran dan berusaha menolong orang-orang ini. Kebanyakan mereka bahkan tidak mampu mengupayakan pengobatan yang mereka perlukan.”

Muda, berbakat, serta bercita-cita tinggi dan mulia, Iqbal al-Assaad menunjukkan kepada kita apa yang perlu dimiliki dan diusahakan oleh seorang Muslim. Mudah-mudahan ia dapat mewujudkan keinginannya yang mulia itu serta menebar kebaikan pada ummat.

Kebanyakan kita tidak memiliki bakat seperti yang dimiliki Iqbal. Bahkan kebanyakan kita mungkin merasa bahwa dirinya tidak memiliki bakat tertentu. Jangan terlalu pesimis dalam hidup ini. Jangan mengeluh atas keadaan. Bakat bukanlah segala-galanya. Kalau cita-cita kita cukup besar dan mulia, dan jika Allah berkehendak, insya Allah kita akan sampai pada apa yang dicita-citakan. Mungkin tidak secepat Iqbal al-Assaad, tapi belum tentu lebih sedikit kontribusinya bagi orang banyak.

Jadi jangan mengeluh. Syukuri apa yang ada dan gunakan dengan sebaik mungkin. Bersabarlah dalam mengejar cita-cita yang baik. Dan serahkan selebihnya pada Allah.

Alwi Alatas,
Kuala Lumpur
21 Rajab 1434/ 31 Mei 2013

Thursday, May 16, 2013

Belajar dari Kesalahan

بِسمِ اللَّÙ‡ِ الرَّحمٰÙ†ِ الرَّحيمِ

Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, sehebat apa pun manusia itu. Manusia itu selalu berbuat salah dan lupa. Tentu saja manusia harus berusaha untuk menghindari kesalahan. Walaupun begitu, tetap saja ia akan berbuat salah juga, terlebih lagi dalam hal yang ia belum memiliki pengalaman. Orang yang sudah berpengalaman saja masih bisa berbuat salah, apalagi yang masih baru dan belum ada pengalaman.

Sikap manusia terhadap kesalahan bermacam-macam. Tidak sedikit manusia yang tidak bisa menerima adanya kesalahan, baik yang ia lakukan sendiri ataupun yang dilakukan orang lain. Ada sebagian orang yang menyesal berlebihan dan berputus asa ketika dirinya melakukan suatu kesalahan yang serius. Ia akan terus menerus menyalahkan dirinya serta memutuskan untuk mundur dan tidak mau mencoba lagi.



Begitu juga terhadap kesalahan orang lain, tidak sedikit yang menyikapinya dengan marah dan sikap tidak dapat menerima. Kita menjumpai hal semacam ini di banyak tempat: di rumah, di sekolah, di kantor (office), atau di tempat-tempat lainnya. Di sekolah kita menjumpai guru-guru yang tak dapat menerima kesalahan yang dilakukan oleh muridnya. Mereka akan terus marah-marah atau memberikan hukuman pada para pelajar yang berbuat salah. Tentu saja tidak ada yang menginginkan atau membenarkan adanya kesalahan. Tetapi apakah kemarahan dan hukuman yang berlebihan lantas membuat para pelajar itu berubah?

Di kantor kita juga menjumpai atasan yang sering marah-marah. Ia tak mau mendengar adanya suatu kesalahan walaupun kecil. Padahal ini mustahil. Para pekerja memang harus berusaha bekerja dengan sempurna. Tetapi bekerja tanpa kesalahan sama sekali sepanjang tahun jelas tidak mungkin. Ditegur karena kesalahan memang sudah sepatutnya. Tapi yang terpenting adalah, apakah ada proses pembelajaran dari kesalahan itu.

Ada kalimat menarik dalam buku The Monk Who Sold His Ferrari. Biksu dalam cerita itu mendapat nasihat dari gurunya: “There are no mistakes in life, only lessons. There is no such thing as a negative experience, only opportunities to grow.” Tidak ada kesalahan dalam hidup, yang ada hanya pelajaran. Tidak ada yang namanya pengalaman negatif, yang ada hanya peluang untuk berkembang.

Kalimat ini berlebihan. Kesalahan dalam hidup tentu saja ada. Salah adalah salah dan benar adalah benar. Tetapi kesalahan akan menjadi sesuatu yang berharga dan bermanfaat ketika disadari, diperbaiki, dan diambil sebagai pelajaran. Demikian juga dengan pengalaman negatif. Ketika pengalaman yang buruk ini dijadikan sebagai guru, maka ia akan membantu seseorang untuk berkembang. Tapi kesalahan yang tidak disadari dan tidak diperbaiki, maka ia akan membawa pada kejatuhan seseorang.

Kesalahan terbesar itu adalah ketika seseorang melakukan kesalahan dan ia tidak belajar apa-apa darinya.

Kesalahan dalam hidup memiliki fungsi yang penting, yaitu fungsi pembelajaran. Ia bukannya sesuatu yang sia-sia. Demikian juga dengan pengalaman yang buruk. Ia berfungsi untuk membantu seorang tumbuh dan menjadi kuat. Seorang tidak mungkin belajar dalam hidup ini melainkan ia akan mengalami kesalahan. Kesalahan itulah yang akan membuat seseorang semakin matang dan mampu melakukan sesuatu semakin baik dan semakin sempurna. Beda orang yang sukses dengan orang yang gagal adalah orang sukses menjadikan kesalahan dan pengalaman buruk sebagai gurunya, sementara orang yang gagal tidak.



Pentingnya hal ini mengingatkan kita pada dialog antara seseorang dengan seorang pengusaha yang sangat berhasil.

“Apa yang membuat anda sangat berhasil?” orang itu bertanya pada si pengusaha.

“Dua kata,” jawab si pengusaha.

“Apa itu?”

“Keputusan yang tepat.”

“Apa yang membuat anda mampu membuat keputusan yang tepat?” tanya orang itu lagi.

“Satu kata,” jawab si pengusaha.

“Apa itu?”

“Pengalaman.”

“Bagaimana caranya untuk memiliki pengalaman semacam itu?” tanyanya lagi.

“Dua kata,” jawab si pengusaha.

“Apakah itu?”

“Keputusan yang salah.”

Jadi itulah awalnya: kesalahan. Semua bermula dari ketidaktahuan, kesalahan, dan minimnya pengalaman. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan belajarnya seseorang dari kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya, maka ia pun muncul sebagai pribadi yang hebat dan tangguh.

Jadi silahkan menyesali kesalahan yang telah dibuat, silahkan juga menasihati orang lain yang telah melakukan kesalahan, tapi jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan terbesar yang disediakan oleh kesalahan, yaitu kesempatan untuk mengambil pelajaran darinya.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur
7 Shafar 1434/ 17 Mei 2013

Monday, May 13, 2013

Takdir: Antara sikap fatalistik dan free will

بِسمِ اللَّÙ‡ِ الرَّحمٰÙ†ِ الرَّحيمِ

Takdir merupakan salah satu hal yang tidak mudah untuk dipahami. Banyak manusia yang tergelincir dan jatuh ke dalam kesalahan karena salah dalam memahami takdir. Ada yang memandang bahwa manusia tidak memiliki ikhtiar (pilihan), yaitu tidak dapat berusaha dalam hidupnya karena segala sesuatunya telah ditentukan. Ia hanya seperti wayang (puppet) di tangan seorang dalang. Karena itu, maka tidak ada yang perlu dilakukan dalam hidup. Pasrah saja. Kalau kemudian ia jadi orang jahat maka takdir-lah yang salah, karena ia tidak mampu memilih dalam hidupnya. Takdir-lah yang membuatnya jadi seperti itu. Ini merupakan sikap fatalistik.

Sebaliknya, ada yang menganggap manusia memiliki kehendak mutlak (free will). Ia dapat memilih dan berusaha apa pun, dan tak ada yang dapat menghalanginya, termasuk takdir. Ia percaya bahwa ia sendirilah yang menentukan takdirnya, bukan Tuhan. Jadi berhasil atau tidaknya seorang dalam usahanya mencapai sesuatu ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh selainnya.



Namun para ulama telah menjelaskan bahwa pendapat yang tepat adalah yang pertengahan di antara dua pendapat yang ekstrim ini. Ini seperti yang dijelaskan oleh al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Membuka Rahasia Ilahi:

Sesungguhnya yang berpendapat bahwa seorang hamba tidak mempunyai ikhtiar dan kemampuan atas segala sesuatu, dan perbuatan ikhtiarnya seperti pemaksaan, maka mereka adalah kaum bid’ah yang dinamakan Jabari. Pendapat yang sesat ini telah dibantah dan dibatalkan dengan dalil manfaat pengutusan seorang rasul dan diturunkannya kitab suci.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemandirian mutlak pada kehendak dan kemampuannya dalam berikhtiar, mereka juga kaum bid’ah yang dinamakan mu’tazilah.

Yang lain berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan dan ikhtiar yang dengannya dapat melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kemampuan dan ikhtiar itu tidak mandiri secara mutlak. Manusia juga tidak menciptakan kemampuan dan ikhtiarnya. Kelompok terakhir inilah yang telah selamat dari bid’ah dan dinamakan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Masalah ini memerlukan penjelasan yang panjang dan berkelok-kelok yang mungkin membuat seseorang tersesat di dalamnya. Di dalamnya terdapat rahasia ketetapan Allah yang banyak membingungkan akal manusia. Sayyid Al-Mursalin Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang manusia untuk terlalu menyelami dalam membicarakan masalah ini.


Jadi yang pertengahan inilah yang tepat dan indah. Manusia memiliki kemampuan dan ikhtiar. Ia memiliki kemampuan untuk memilih tindakannya dan untuk berusaha dalam hidupnya. Tetapi kemampuannya itu tidak mutlak. Kemampuan itu juga berasal dari Allah. Hasil dari usahanya juga tidak mutlak, kerana bukan ia yang menjadi penentu akhirnya.

Bagi orang yang pasrah berlebihan dalam hidupnya dan tidak mau berusaha dengan alasan takdir, maka sebaiknya ia mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

1. Allah telah mengutus Rasul dan menurunkan Kitab Suci

Ini seperti yang telah disebutkan oleh Habib Abdullah bin Alwi di atas. Diutusnya Rasul dan diturunkannya Kitab Suci tentu memiliki manfaat. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkin Allah mengadakan kedua hal ini. Kalau manusia tidak memiliki sebarang daya untuk memilih, maka tidak ada gunanya diutus seorang Rasul. Justru dengan diutusnya Rasul itu, maka sebagian manusia memilih untuk mengikutinya dan sebagian yang lainnya memutuskan untuk menentangnya. Dan masing-masing akan menerima ganjaran berdasarkan pilihannya sendiri.

Makhluk selain manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Hewan-hewan tidak memiliki ikhtiar seperti yang dimiliki manusia. Karena itu kita tidak pernah mendengar ada Nabi atau kitab petunjuk tertentu yang diturunkan ke tengah-tengah hewan. Hewan-hewan itu tidak dihadapkan pada pilihan untuk taat atau ingkar pada Tuhannya. Mereka semua hidup dengan tunduk pada Tuhannya dan selalu mengikuti fitrahnya.

Namun manusia berbeda. Dia diberi kemampuan untuk memilih. Maka kepadanya diutus seorang Rasul dan ia diperintahkan untuk menyambut seruannya berdasarkan kemampuan memilih yang ia miliki. Dengan ikhtiar ini, sebagian manusia memilih untuk menerima petunjuk Allah, sementara sebagian yang lain menolaknya.

2. Kita diarahkan untuk berusaha dan berdoa

Kita diberi kemampuan untuk berusaha. Kita juga diperintah untuk berdoa, meminta apa pun yang baik pada Allah. Sudah tentu usaha dan doa ini memiliki manfaat. Kalau tidak, maka tidak ada gunanya kita berusaha ataupun berdoa. Kalau usaha dan doa memiliki manfaat, berarti manusia memiliki kemampuan untuk mencapai hal-hal tertentu dalam hidupnya dan untuk mencapai kedudukan tertentu di akhirat. Ini tidak seperti yang dikatakan orang yang pasrah secara mutlak dan menganggap dirinya dipaksa oleh takdir.

Manusia memang memiliki kemampuan, tetapi kemampuannya ini tidak mutlak seperti yang dipercayai oleh segolongan manusia. Manusia tidak memiliki kehendak mutlak (free will). Ia memang memiliki kehendak dan kemampuan, tetapi kehendak dan kemampuannya itu ada batasnya.



Dalam satu kesempatan, saya pernah membahas persoalan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Ketika Allah Menguji Kita (Malaysia: Bila Allah Menduga Kita). Saat tanya jawab, ada seorang peserta yang rupanya kurang setuju dengan penjelasan saya. Ia mengatakan pada saya bahwa menurut yang ia pahami, manusia memiliki kehendak mutlak (free will) untuk menentukan apa pun dalam hidupnya. Untuk menjawabnya, saya berikan kepadanya argumen seperti di bawah ini:

1. Kepastian hasil

Saya bertanya kepadanya, “Ketika manusia menghendaki sesuatu, apakah ia dapat memastikan hasilnya secara mutlak? Apakah ia dapat memastikan bahwa semua kehendaknya pasti terwujud sesuai dengan apa yang direncanakannya?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Kalau ia tak dapat memastikan hasilnya secara mutlak, maka siapa yang sesungguhnya menentukan hasil itu? Kalau manusia tidak bisa memastikan kehendaknya pasti terwujud sesuai yang ia rencanakan, maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa ia memiki kehendak mutlak (free will)? Bahwa ia memiliki kehendak itu betul, tapi dimana letak kemutlakannya?

Manusia memang tak dapat memastikan hasil usahanya secara mutlak. Karena penentu akhirnya adalah Allah. Manusia memang memiliki pilihan dan kehendak, tapi hal ini dibatasi oleh kehendak Allah. Allah-lah yang menentukan hasil akhirnya, dan insya Allah Dia memilihkan yang paling tepat dan paling baik bagi hamba-Nya.

Kepada pembaca tulisan ini, saya menambahkan satu argumen lagi.

2. Ucapan insya Allah

Ketika kita menghendaki sesuatu, apakah kita mengatakan, “Hal itu akan terwujud dengan izin saya,” atau kita akan mengatakan, “Hal itu akan terwujud dengan izin/ kehendak Allah.” Kita tentu akan mengatakan kalimat yang kedua. Kita biasanya mengucapkan in sya Allah ‘jika Allah menghendaki.’ Ini pun menunjukkan terbatasnya kehendak dan kemampuan kita.

Kalau ada yang memilih perkataan yang pertama bahwa hal itu akan terwujud dengan izinnya sendiri, maka sejak kapan ia memiliki kemampuan untuk mengizinkan terjadi atau tidaknya sesuatu? Kalau ada yang merasa bahwa hal semacam ini mungkin saja dimiliki manusia dalam hidupnya, maka mengapa manusia masih mengenal yang namanya kegagalan? Kalau ini benar, orang-orang yang memiliki pemahaman ini tentu tidak akan pernah gagal dalam hidupnya. Tapi coba tanyakan pada mereka, apakah mereka tak pernah gagal dalam hidup? Apakah semua yang mereka rencanakan pasti terwujud? Kenyataannya tidak. Para pakar berpikir positif yang paling optimis sekalipun, jika ia jujur, tentu akan mengakui bahwa kehendak yang dimiliki seorang manusia, walaupun kehendak itu dianggap powerful, tidak dapat dipastikan keberhasilannya secara mutlak.

Jadi ambillah pendapat yang pertengahan. Gunakan pilihan dan kehendak dengan sebaik mungkin, tapi jangan lupa untuk selalu menyandarkan diri pada Yang Maha Menentukan segala sesuatu.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
4 Rajab 1434/ 14 May 2013

Sunday, May 12, 2013

Diam’s

بِسمِ اللَّÙ‡ِ الرَّحمٰÙ†ِ الرَّحيمِ

Ada seorang penyanyi rap di Perancis. Ia seorang perempuan kelahiran tahun 1980 dan bernama Melanie Georgiades atau lebih terkenal dengan sebutan Diam’s. Ia memulai karirnya sebagai penyanyi rap pada tahun 1998, ketika usianya masih 19 tahun. Pada tahun 2003, lagunya masuk ke dalam senarai top 10. Ia semakin mengukuhkan karirnya pada tahun-tahun selepas itu.

Beberapa lagunya menempati urutan teratas daftar lagu terpopuler di Perancis dan ada yang terjual sebanyak 50,000 copy pada minggu pertama dikeluarkan. Albumnya yang bertajuk Dans Ma Bulle menjadi album dengan jualan terbaik di Perancis pada tahun 2006 dan mencapai status diamond kerana terjual lebih dari satu juta copy. Diam’s juga menerima penghargaan Best French Act dari MTV Europe pada tahun yang sama.



Namun bersama dengan datangnya kesuksesan dan popularitas, masalah muncul. Diam’s mengalami depresi yang hebat dalam hidupnya. Ia juga mengkonsumsi obat-obatan dan sering mengalami halusinasi. Tekanan yang besar ini membuatnya terpaksa dirawat di rumah sakit (hospital).

Sejak tahun 2009, Diam’s menghilang dari dunia musik. Dan pada akhir tahun itu, atau pada awal tahun berikutnya, orang-orang dikejutkan oleh berita yang menyebutkan bahwa Diam’s telah masuk Islam. Ia kemudian mengenakan jilbab dan rajin pergi ke masjid. Kehidupannya berubah total. Ia tak lagi menjalani kehidupan yang glamour yang justru telah menimbulkan banyak masalah dalam hidupnya.

Apa yang menyebabkan Diam’s masuk Islam? Dalam satu kesempatan, ia menerangkan pada pers Perancis, “Obat tak mampu mengobati jiwa saya, maka saya pun pergi pada agama.” Ia juga menerangkan bahwa, “Konversinya kepada Islam merupakan hasil daripada keyakinan pribadinya, setelah memahami agama ini dan membaca al-Qur’an.”

Bagaimana kisahnya sehingga ia akhirnya berinteraksi dengan Islam dan berkomitmen sebagai pemeluknya? Diam’s bercerita, “Saya sangat terkenal dan saya memiliki apa yang diinginkan oleh setiap orang terkenal. Tapi saya selalu menangis keras saat sendirian di rumah, dan hal ini tidak dirasakan oleh seorang pun penggemar saya. Saya menjadi pecandu kuat narkoba (drugs), menggunakan narkotika yang menimbulkan halusinasi, dan (akhirnya) masuk ke pusat rawatan mental (asylum) untuk penyembuhan.”

Diam’s mempunyai beberapa teman Muslim. Perkenalannya dengan Islam bukan melalui diskusi atau mendengarkan ceramah tentang Islam, tetapi saat melihat temannya solat. Ia mendapat hidayah disebabkan keinginan spontan yang muncul dari dalam dirinya untuk ikut melakukan solat.

“… saya mendengar salah seorang kawan Muslim saya berkata, ‘Saya akan solat sebentar dan akan kembali selepas itu,’ maka saya katakan kepadanya bahwa saya ingin ikut solat bersamanya,’ Diam’s bercerita. Pengalaman itu menjadi sesuatu yang sangat berkesan dan menimbulkan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Itu adalah saat pertama saya menyentuh lantai dengan kepala saya, dan saya mendapatkan kesan yang kuat yang belum pernah saya rasakan sebelumnya,” lanjutnya. “Saya kemudian meyakini bahawa bersujud dalam solat tidak boleh ditujukan kepada siapa pun kecuali Allah.”



Diam’s menemukan kedamaian dalam Islam. Maka ia pun mempelajari agama ini dan memutuskan untuk masuk Islam dan menjalankan ajarannya, termasuk mengenakan hijab. Ia meninggalkan kehidupan masa lalunya dan merasakan keselesaan di dalam Islam. “Hal ini (masuk Islam) menghangatkan hati saya,” kata Diam’s, “karena kini saya mengetahui tujuan keberadaan saya, dan mengapa saya berada di dunia ini.”

Kita perlu belajar dari Diam’s. Ia telah mencapai kesuksesan duniawi, tetapi ia tak menemukan kedamaian dan kebahagiaan hidup di dalamnya. Ia menemukannya di dalam Islam. Perkenalannya dengan Islam adalah melalui solat dan pengalamannya saat melakukan solat telah menyentuh jiwanya.

Bagaimana dengan kita yang Muslim? Mengapa ada sebagian kita yang justru meninggalkan solat dan tak mau mengerjakannya? Apakah kita berlomba-lomba mengejar dunia yang telah ditinggalkan oleh Diam’s? Apakah kita berlomba-lomba memuja selebriti dan artis-artis, gelar dan profesi yang telah menimbulkan masalah mental bagi Diam’s sehingga akhirnya ia tinggalkan?

Apa yang sebenarnya kita cari di dunia? Kemana arah tujuan hidup kita? Ingatlah bahawa kita semua pada akhirnya akan meninggal dunia. Kita akan meninggalkan alam fana menuju ke negeri yang baqa. Maka tegakkanlah solat dan carilah cinta dan ridha-Nya. Inilah jalannya orang-orang yang bahagia.

Alwi Alatas

Kuala Lumpur,
3 Rajab 1434/ 13 Mei 2013

Thursday, May 9, 2013

Nasihat Tok Guru Nik Aziz tentang Kematian

بِسمِ اللَّÙ‡ِ الرَّحمٰÙ†ِ الرَّحيمِ

Saat menulis buku Mencari Husnul Khatimah (buku dalam perencanaan untuk terbit di Malaysia oleh Galeri Ilmu), saya menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Tok Guru Nik Aziz (Nik Abdul Aziz Nik Mat), yaitu Mati Satu Peringatan. Sebuah buku yang sudah agak lama diterbitkan dan tidak tebal, tetapi mengandungi banyak nasihat dan pelajaran di dalamnya. Dalam buku itu, Tok Guru Nik Aziz memberikan nasihatnya kepada kita semua tentang kematian, negeri akhirat, dan perlunya persiapan kita untuk menghadapinya. Beliau menulis:

“… kehidupan selepas mati ibarat satu perjalanan jauh yang memakan masa yang lama. Menyedari hakikat itu, setiap insan perlu membuat persiapan yang mencukupi dan sempurna. Namun orang yang lalai tidak pernah memikirkan persiapan menghadapi mati. Bayangkan jika secara tiba-tiba seseorang itu mendapati dirinya terlantar di padang pasir yang tandus. Apabila dahaga mencekik kerongkongnya barulah dia sedar dia tidak membawa bekalan air sedikit pun.”



Apa yang beliau katakan memang benar, dan kita sering melupakannya, kerana kesibukan kita dengan berbagai urusan dunia. Dunia ini hanya sekejap mata jika dibandingkan dengan kehidupan selepas mati. Akhirat merupakan kehidupan yang panjang dan abadi. Kita semua pada akhirnya akan mati, keluar dari kehidupan yang fana ini dan masuk ke dalam kehidupan yang selanjutnya. Jika waktu itu sudah tiba, tidak ada kesempatan untuk berbalik ke belakang untuk memperbaiki keadaan. Sudahkah kita membuat persiapan untuk menghadapi itu semua?

Kita perlu belajar dari Tok Guru Nik Aziz, bukan hanya dari kata-kata dan tulisannya, tetapi juga dari apa yang telah beliau lakukan. Beliau telah memerintah negara bagian Kelantan, Malaysia, selama kurang lebih 23 tahun, dan pemerintahannya dikenal sebagai pemerintahan yang bersih. Penduduk negeri itu, juga di negeri-negeri lainnya, mendukung dan menyintai beliau. Bukan hanya yang Muslim, orang-orang selain Melayu yang tidak beragama Islam pun menaruh rasa hormat yang tinggi dan menyayangi beliau.

Beliau memerintah begitu lama, tetapi kehidupannya tetap sederhana. Beliau tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri. Karena beliau beramal dan berperilaku seperti apa yang telah beliau tuliskan, bahwa setiap insan perlu membuat persiapan yang mencukupi dan sempurna untuk menghadapi kehidupan selepas mati; bahwa dunia ini bukan tujuan, negeri akhirat itulah tempat tinggal yang sebenarnya.

Beberapa hari yang lalu, beliau mengumumkan pengunduran diri sebagai Menteri Besar (kurang lebih sama dengan kedudukan gubernur di Indonesia) Kelantan. Beliau mengundurkan diri karena alasan kesehatan serta usia yang sudah mencapai 82 tahun (beliau lahir pada tahun 1931). Posisi beliau digantikan oleh penerusnya.

Beliau telah beramal dan memberi contoh kepada kita semua tentang kecilnya nilai dunia serta kemana sesungguhnya akhir perjalanan kita. Semoga kita yang yang lebih muda dapat mengambil apa-apa yang baik yang telah beliau sampaikan dan lakukan sebagai bekal dalam melanjutkan perjalanan … menuju ke negeri yang berikutnya.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
30 Jumadil Akhir 1434/ 10 Mei 2013



Thursday, May 2, 2013

Mencari nikmat yang hilang

بِسمِ اللَّÙ‡ِ الرَّحمٰÙ†ِ الرَّحيمِ

Secara bahasa, ni’mah bermakna kemudahan, kehidupan yang baik, kemakmuran, kenyamanan, kebahagiaan, anugerah, dan kesenangan. Kata-kata yang asalnya dari bahasa Arab ini sudah diserap dalam bahasa Indonesia/ Melayu menjadi kata nikmat yang maknanya pun kurang lebih sama.

Nikmat merupakan hal yang kita sukai dan kita harapkan. Tidak ada orang yang membenci nikmat dan mengharapkan sesuatu yang berlawanan darinya, yaitu musibah. Kekayaan itu nikmat dan kebanyakan manusia menyukainya. Terhindar dari musibah itu nikmat, dan kita menyukainya. Tercapainya cita-cita itu nikmat, dan kita mengharapkannya.

Kita menyukai nikmat dan berusaha untuk mendapatkannya. Namun, dalam usaha untuk meraihnya, kita sering melakukan dua kesalahan. Dua kesalahan ini menyebabkan kita justru menjadi semakin jauh dari nikmat. Apa saja kesalahan itu:

1. Menangisi yang tiada sambil melupakan yang ada

Yang tiada ini ada dua bentuknya. Ia bisa dalam bentuk nikmat yang diharapkan tetapi belum berhasil didapatkan. Yang kedua, ia bisa juga dalam bentuk nikmat yang sudah ada tetapi kemudian hilang dan lepas dari tangan kita.

Kedua hal inilah yang sering ditangisi manusia dan membuat mereka merasa putus asa. Ketika keinginannya tidak tercapai, ia merasa kesal dan kecewa. Ketika ada miliknya yang hilang, ia pun marah dan putus asa.

Sebetulnya tidak ada masalah dengan cita-cita dan keinginan, selama tidak berlebihan. Tidak masalah juga merasa sedih ketika kehilangan sesuatu, asalkan tidak sampai berputus asa atau melakukan hal-hal yang dilarang agama. Yang menjadi masalah adalah ketika kita terlalu sibuk memikirkan hal yang hilang atau yang belum berhasil didapat, dan pada saat yang sama melupakan apa-apa yang sudah dimiliki.

Keinginan yang belum berhasil diraih mungkin banyak, tetapi nikmat yang sudah ada di tangan sebenarnya jauh lebih banyak. Barang yang hilang mungkin cukup besar, tetapi nikmat yang tidak hilang dan masih bersama kita sebenarnya jauh lebih besar. Kalau begitu mengapa sibuk dengan yang tidak ada dan melupakan yang ada? Mengapa sedih berlebihan terhadap yang tiada dan lupa dengan apa yang ada?

Ini seperti seorang yang duduk termenung dalam kesedihan untuk waktu yang lama. Kemudian ia ditanya, “Apa yang menyebabkanmu sedih?”

“Saya baru saja kehilangan uang Rp. 10 juta,” jawabnya.

“Mudah-mudahan Allah mengganti yang hilang dan menghapuskan kesedihanmu,” kata orang yang bertanya. “Apakah semua uangmu hilang?” ia bertanya lagi.

“Tak juga,” jawab orang itu. “Saya masih memiliki Rp. 50 juta dalam tabungan saya”

“Kalau begitu mengapa sedih berlama-lama? Jangan hanya mengingat-ingat yang hilang, musibah sudah berlalu. Lihatlah yang masih ada. Nikmat yang ada itu masih banyak.”

Benarlah nasihat ini. Jangan hanya melihat yang hilang atau yang belum tercapai. Lihat jugalah nikmat-nikmat yang ada di tangan kita. Terlalu memikirkan yang tidak ada hanya akan menyebabkan kita semakin banyak kehilangan nikmat. Ya, nikmat yang masih ada pun akhirnya ‘hilang’ juga, tenggelam dalam lamunan kesedihan kita yang berpanjangan. Maka jangan biarkan nikmat yang ada itu ‘hilang’. Sadari keberadaannya dan raihlah manfaat darinya.



2. Mengejar nikmat, tapi lupa bersyukur

Keseharian manusia selalu penuh dengan aktivitas mengejar nikmat. Ia bangun di pagi hari untuk menyambut nikmat kehidupan. Ia mandi untuk mendapatkan nikmat kebersihan dan kesegaran tubuh. Ia makan dan minum untuk mendapatkan nikmat kesehatan dan terhindar dari rasa lapar. Ia pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu yang merupakan satu nikmat yang besar. Atau ia pergi bekerja untuk mendapatkan nikmat harta. Dan masih banyak lagi, terlalu banyak untuk disebutkan semuanya.

Berbagai aktivitas itu serta outputnya adalah nikmat. Namun sayangnya semua itu sering berlalu begitu saja. Ia tidak melihatnya atau merasakannya sebagai nikmat. Sebaliknya, yang ada di pikirannya adalah keinginan untuk mengejar nikmat-nikmat yang belum ada.

Ia bekerja keras, menghabiskan waktu seharian, kadang-kadang terpaksa melakukan hal yang tidak baik bahkan haram, semua itu ia lakukan untuk apa? Untuk mendapatkan lebih banyak nikmat.

Orang-orang sibuk mengejar nikmat, tetapi pada saat yang sama tidak sedikit juga yang lupa untuk bersyukur. Mereka lupa mensyukuri yang ada. Padahal syukur ini memberi jaminan bagi datangnya lebih banyak nikmat. Ini telah disebutkan di dalam al-Qur’an:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS 14: 7)

Syukur inilah yang menjamin datangnya nikmat. Sementara sikap yang sebaliknya justru akan mendatangkan azab.
Kejarlah nikmat, tapi jangan lupa bersyukur. Jangan sibuk saja mengejar berbagai keinginan, padahal yang sudah ada pun belum disyukuri. Kalau kita lupa bersyukur, boleh jadi apa yang kita kejar itu tidak pernah kita capai, malah yang sudah ada pun menjadi lenyap. Atau mungkin juga kita berhasil menambah dan mengumpulkan nikmat, tetapi di balik nikmat itu menunggu azab yang besar yang akan melumatkan kita. Naudzubillah mindzalik.

Alwi Alatas

Kuala Lumpur,
23 Jumadil Akhir 1434/ 3 Mei 2013

Wednesday, April 10, 2013

Hari ini indah, tapi …

Seorang anak yang buta kedua matanya duduk di tepi jalan. Di dekat kakinya tergeletak sebuah topi dalam keadaan terbalik dan sebuah tanda bertuliskan: “Saya buta, tolong bantu.” Ada sedikit koin di dalam topi itu.

Seorang lelaki berjalan melalui jalan itu dan berhenti sebentar di depan anak tersebut. Ia mengeluarkan beberapa koin dan meletakkannya di dalam topi. Ia kemudian membalik tanda yang dibawa anak itu dan menuliskan kata-kata yang baru. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan tempat itu.



Tak lama kemudian, topi itu mulai terisi penuh. Banyak orang yang lewat di tempat itu mengeluarkan dompetnya dan menyisihkan sebagian uang yang dimilikinya untuk diletakkan di dalam topi tersebut.

Pada petang harinya, lelaki yang mengubah tanda tersebut datang kembali ke tempat itu. Anak yang buta tadi mengenali langkah-langkah kaki lelaki itu. “Bukankah anda yang tadi pagi mengubah tanda yang saya bawa? Apa yang telah anda tuliskan sehingga orang-orang tergerak untuk meletakkan uang di topi saya?”

Lelaki itu menjawab, “Saya hanya menuliskan kebenaran. Saya menuliskan hal yang sama dengan yang ada di tanda itu, tetapi dengan cara yang berbeda.”

Tulisan yang baru itu berbunyi: “Hari ini indah, tetapi saya tak boleh melihatnya.”

Anda tahu mengapa orang-orang tergerak untuk membantu anak itu? Ya, tulisan itu mengingatkan pada nikmat yang ada pada diri mereka sendiri, yaitu nikmat penglihatan. Karena itu, mereka pun merasa bersyukur dan tergerak untuk bersedekah membantu anak yang buta itu. (diceritakan kembali dari http://www.islamcan.com/islamic-stories/did-you-thank-allah-for-your-eyesight.shtml)

Hidup ini memang indah. Hari-hari yang kita lalui sebagian besarnya indah dan kita dapat melihatnya. Alhamdulillah.

Jika kita masih memiliki penglihatan, banyak-banyaklah bersyukur. Ingatlah, ada orang lain yang buta matanya dan tak bisa melihat berbagai keindahan yang kita lihat.

Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. 23:78)


Alwi Alatas
Kuala Lumpur
1 Jumadil Akhir/ 11 April 2013

Nilai sebuah kejujuran

Alwi Alatas

Ada sebuah kisah tentang seorang kaisar di sebuah negeri. Usia kaisar ini sudah semakin tua dan ia merasa sudah waktunya untuk menunjuk seorang pengganti. Namun, ia tak mau menunjuk salah satu anak atau orang kepercayaannya sebagai penggantinya. Ia memilih cara yang berbeda.

Pada suatu hari, ia mengumpulkan anak-anak remaja di negerinya. Ia kemudian mengumumkan, “Sudah dekat waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri dan memilih seorang kaisar yang baru. Saya telah memutuskan untuk menunjuk salah seorang di antara kalian untuk menjadi kaisar yang baru.”

Remaja-remaja itu terkejut mendengarnya. Mereka memperhatikan dengan baik apa yang akan dikatakan Kaisar setelah itu. “Pada hari ini, saya akan memberikan kepada setiap orang yang ada di sini sebutir benih. Sebutir benih yang sangat istimewa. Saya meminta masing-masing kalian menanam benih itu di dalam sebuah pot. Sirami benih itu setiap hari. Kemudian kembalilah kalian ke sini pada hari yang sama, tahun depan, dengan membawa apa yang berhasil kalian tumbuhkan dari benih itu. Saya akan menilai secara langsung tanaman yang kalian bawa. Saya akan memilih salah satunya. Yang terpilih akan menjadi kaisar menggantikan saya.”

Setelah itu, masing-masing kembali ke tempat tinggal mereka dengan membawa sebutir benih.

Ada seorang anak remaja bernama Ling yang hadir dan menerima benih pada hari itu. Ia pulang ke rumah dan menceritakan kata-kata kaisar kepada ibunya dengan perasaan excited. Dengan dibantu oleh ibunya, ia pun segera menanam benih itu pada sebuah pot. Ia telah meletakkan tanah dan pupuk yang baik di dalam pot itu sebelumnya. Setiap pagi dan petang hari, ia tak pernah lupa menyirami benih di dalam pot tadi. Ia mengamati pertumbuhan benih itu. Namun setelah beberapa minggu, tak ada apa-apa yang keluar dari dalamnya. Benih itu tak kunjung tumbuh juga.

Setelah tiga minggu, anak-anak remaja lainnya saling bertukar cerita tentang pertumbuhan benih yang mereka tanam. Sementara benih Ling sama sekali tidak tumbuh. Minggu demi minggu berlalu, benih milik Ling tetap tidak tumbuh juga. Sementara anak-anak remaja lainnya semakin antusias bercerita tentang tanaman mereka yang semakin membesar.



Ling merasa sedih. Sudah enam bulan berlalu dan benihnya tidak tumbuh menjadi tanaman. Ia telah gagal. Tak ada lagi hal yang dapat dilakukannya. Ia hanya dapat mendengarkan kisah keberhasilan teman-temannya dengan perasaan kecewa.

Satu tahun yang ditetapkan akhirnya mencapai masa akhirnya. Tepat pada hari yang sama, setahun sejak mereka dikumpulkan, remaja-remaja ini dikumpulkan kembali di istana. Setiap remaja membawa pot dan tanaman mereka. Tanaman yang mereka bawa beraneka ragam dan sangat indah. Semua pot yang dibawa anak-anak remaja itu berisi tanaman. Hanya satu orang saja yang potnya kosong tak berisi tanaman: Ling!

Semua orang tertawa bahagia dan saling bertukar cerita tentang usaha mereka menumbuhkan benih itu. Satu dua anak remaja melirik pot Ling yang kosong dan berkata kepadanya, “Setidaknya kamu sudah mencoba.” Setelah itu mereka tertawa-tawa dan berbincang dengan anak-anak lainnya.

Kaisar akhirnya hadir di tengah mereka. Ia pun berkeliling dan memperhatikan setiap tanaman dan memberi pujian sekedarnya. Ling hanya tertunduk malu, karena potnya sama sekali tidak berisi tanaman.

Kaisar kemudian berdiri di depan mereka semua. “Hari ini saya akan mengumumkan kaisar baru yang akan menggantikan saya.” Semua berdiri dengan perasaan tegang. Mereka berharap dirinyalah yang akan dipilih.

Tiba-tiba mata Kaisar tertuju pada pot milik Ling. Ia menunjuk ke arah pot itu dan memerintahkan para pengawal untuk membawanya ke depan, berikut dengan pemiliknya juga. Ling merasa sangat terkejut. Kaisar mengetahui saya telah gagal, saya tentu akan mendapatkan hukuman berat, begitu yang terlintas di pikiran Ling.

Ling dan potnya yang kosong dibawa ke depan oleh para pengawal. Kaisar kemudian menanyakan namanya. “Nama saya Ling,” jawab remaja itu dengan perasaan khawatir. Semua anak remaja yang ada di tempat itu tertawa. Mereka menertawakan pot Ling yang kosong.

Kaisar kemudian meminta semua orang untuk diam. Ia menatap Ling dalam-dalam dan kemudian membuat pengumuman di hadapan semua orang yang hadir. “Saya telah memutuskan kaisar yang baru, dan namanya adalah Ling. Beri penghormatan kepada Ling!”

Semua orang merasa terkejut mendengarnya, termasuk Ling. Tetapi mereka tak dapat berkata apa-apa. Mereka mengikuti perintah Kaisar dan memberikan penghormatan kepada kaisar yang baru saja ditunjuk, yaitu Ling.

Bagaimana ceritanya Ling bisa menjadi orang yang dipilih sebagai kaisar, padahal ia satu-satunya yang gagal menanam benih sebagaimana yang diminta oleh Kaisar?

Kaisar kemudian menerangkan, “Satu tahun yang lalu, saya berikan setiap orang yang hadir di sini sebutir benih. Saya minta masing-masing kalian menanamnya dan menyiraminya setiap hari. Sebenarnya benih yang saya berikan pada hari itu adalah benih yang sudah mati. Benih itu telah direbus sebelumnya. Benih itu tidak bisa tumbuh. Pada hari ini, kalian semua datang dengan membawa pot berisi tanaman, kecuali Ling. Kalian telah berbuat tidak jujur. Saat kalian mengetahui bahwa benih itu tidak tumbuh, kalian menggantinya dengan benih lain sehingga tumbuh menjadi tanaman dan kemudian kalian bawa ke sini. Ling satu-satunya anak remaja yang berani datang ke sini dengan segenap kejujurannya. Ia membawa pot yang tidak berisi tanaman. Karena itu, dialah yang saya pilih sebagai kaisar yang baru (sumber: http://www.islamcan.com/islamic-stories/the-emperor-and-the-seed.shtml)

Saat membaca kembali kisah ini, saya berpikir bahwa sebenarnya kerajaan ini memiliki masalah yang sangat besar. Dari semua anak remaja yang dikumpulkan dan diberi tugas, tidak ada yang jujur kecuali satu orang saja. Dari sekian banyak anak, semuanya berbohong, dan hanya ada satu anak yang jujur. Ini adalah masalah yang sangat serius. Walaupun begitu, kejujuran telah diapresiasi dengan setinggi-tingginya di kerajaan itu. Kejujuran telah diberi penghargaan yang paling tinggi.

Kerajaan itu masih memiliki harapan yang besar karena sikap yang diambil oleh sang Kaisar.



Tiba-tiba saya teringat tentang sebuah negeri yang lain. Sebuah negeri yang nyata, tidak seperti kerajaan khayalan pada kisah di atas. Di negeri itu, jumlah orang yang jujur bukan hanya sedikit, tetapi juga sangat tidak dihargai. Kejujuran bukan hanya tidak dihargai, anak-anak bahkan dididik oleh ’kerajaan’ itu untuk menjadi orang yang tidak jujur. Tentu saja pengelola negeri itu tidak akan mengakuinya dengan jujur. Kejujuran sudah menjadi terlalu mahal ... dan terlalu menakutkan untuk dibicarakan.

Saya ingin menangis setiap kali ingat bahwa negeri kedua yang saya sebutkan itu adalah negeri saya sendiri. Masihkah ia memiliki harapan?

Kuala Lumpur
10 April 2013

* Refleksi atas ketidakjujuran yang dirancang dengan sengaja dan bersama-sama oleh sekolah-sekolah di Indonesia untuk meluluskan siswa-siswanya pada Ujian Nasional (UN) … dan berbagai praktek ketidakjujuran lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.

Friday, April 5, 2013

Obat Kuat Jiwa

Alwi Alatas

Belum lama ini saya berbincang dengan beberapa orang rekan di penerbit Galeri Ilmu, di antaranya Wan Zayuhisyam, penulis buku Cikgu, Anak Saya Okay? Perbincangan kami berkenaan dengan iklan buku di internet.

“Bukannya mudah nak tarik audience kepada iklan buku,” kata Wan Zayuhisyam, “lain halnya jika iklan obat kuat, tentu ramai yang tertarik.”

“Kalau macam itu tampilkan saja iklan obat kuat,” kata saya, “saat mereka klik iklan itu, yang muncul adalah buku.”

“Mana boleh seperti itu, nanti orang-orang kecewa karena lain yang diiklankan lain pula isinya.”

“Sebenarnya …,” kata saya lagi, “buku-buku motivasi Islami ini obat kuat juga … ia adalah obat kuat jiwa.”

Yang lain pun tersenyum mendengarnya.

Ini memang gurauan saja. Bukannya betul-betul akan buat iklan semacam itu. Bagaimanapun, hal ini mengandung fakta yang benar. Buku-buku motivasi yang dibuat oleh para penulis tarbiyah rohani, atau dapat juga disebut buku-buku spiritual motivation, memang merupakan obat kuat jiwa. Buku-buku ini boleh memberi kekuatan yang besar pada jiwa. Ia mampu menggetarkan dan memotivasi jiwa; membangkitkan semangat yang lemah; mengubah kesedihan menjadi kegembiraan; menghilangkan keputusasaan dan mengubahnya jadi rasa percaya diri; dan dapat memperkaya jiwa serta mendekatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Buku-buku itu boleh membuat jiwa manusia ‘tersenyum’ bahagia. Kalau sudah begitu, insya Allah tak akan ada lagi kesusahan yang menimbulkan rasa putus asa. Seperti yang saya tulis di dalam buku Mudahkan, Jangan Susahkan: “Senyuman di jiwa itu mendahului senyuman di wajah. Musibah dan kesusahan berasa segan dan takjub kepada jiwa yang sentiasa tersenyum.”



Masalahnya, berapa banyak orang yang menganggap penting jiwanya serta apa yang ada di dalam dadanya, dibandingkan mereka yang mementingkan apa yang beberapa centimeter berada di bawah dadanya?

Kalau yang dijual obat kuat lelaki mungkin banyak yang mahu membelinya dan sanggup membayar mahal, karena ia adalah simbol kejantanan dan kegagahan. Tapi berapa banyak yang mahu membayar untuk kekuatan jiwanya? Berapa uang yang sanggup dikeluarkan untuk membeli buku-buku tarbiyah rohani yang merupakan obat kuat jiwa, bukan hanya bagi kaum lelaki tetapi juga bagi kaum perempuan dari pelbagai usia?

Kalau seorang lelaki merasa terganggu dalam hal kegagahan yang satu itu, ia tentu menjadi sangat gelisah dan sanggup mengeluarkan banyak uang untuk mengembalikan kekuatannya. Tapi kalau yang hilang adalah kegagahan dan kekuatan jiwa, siapa yang peduli? Banyak yang tak mau pening memikirkannya. Yang lain semuanya penting, tapi jiwa tak begitu dianggap penting. Padahal sebenarnya jiwa itulah yang paling tinggi nilainya dan paling mahal harganya.

Jangan hanya kuatkan badan dan hal-hal fizikal lainnya. Kuatkanlah jiwa. Carilah obat kuat jiwa. Hadiri majelis zikir dan majelis ilmu. Perbanyak ibadah dan membaca al-Qur’an. Beli dan baca buku-buku Islami. Tak banyak uang yang perlu dikeluarkan untuk itu. Tapi manfaatnya insya Allah berlipat-lipat lebih tinggi dibandingkan uang yang dikeluarkan.

Para pembaca sekalian, jiwa kita terlalu tinggi nilainya. Hargailah ia dengan sebaik-baiknya. Insya Allah hal itu akan membuat kita mampu menjadi seorang pemenang yang sejati di kemudian hari.

Kuala Lumpur
23 Jumadil Awwal 1434/ 4 April 2013

Wednesday, April 3, 2013

Tangisan Abu Darda’

Alwi Alatas

Ibnu Katsir menceritakan di dalam Al-Bidayah wan Nihayah bahwa pada tahun 28H/ 649M, kaum Muslimin di wilayah Sham (wilayah yang mencakup Suriah, Yordania, Palestina, dan Lebanon) melakukan pelayaran jihad yang pertama. Sebelumnya peperangan dan jihad menghadapi Byzantium, ataupun Persia, hanya berlangsung di daratan. Tapi kali ini mereka menyeberangi Laut Tengah (Mediterrania) untuk merebut Pulau Cyprus dari kekuasaan Byzantium.

Kaum Muslimin tidak sampai menaklukkan pulau itu, tetapi mereka mendapatkan banyak pampasan dan tawanan perang dalam pertempuran tersebut. Selepas itu, mereka pun kembali ke negeri Sham.

Saat melihat para tawanan dari pulau Cyprus didatangkan, Abu Darda’ ra, seorang sahabat Nabi saw., menangis. Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa anda menangis padahal pada hari ini Allah telah menjayakan Islam dan kaum Muslimin?”

Abu Darda’ kemudian menjawab, “Bagaimana kamu ini, tadinya mereka adalah ummat yang dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain. Di saat mereka tidak menghiraukan perintah Allah, Allah mengubah posisi mereka menjadi seperti yang kamu lihat sendiri. Mereka menjadi tawanan. Jika suatu kaum telah menjadi tawanan, maka Allah tidak lagi mempedulikan mereka.”

Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Sungguh Allah SWT sangat menghinakan hamba yang meninggalkan perintah-Nya.”



Tidakkah kita merasa takjub dengan tangisan Abu Darda’? Kaum Muslimin ketika itu sedang tampil ke muka dan mulai menjadi pemimpin peradaban. Mereka menjadi ummat yang unggul dan menang menghadapi lawan-lawannya. Tapi saat melihat apa yang terjadi pada musuh yang telah menjadi tawanan, beliau melakukan refleksi dan menangis. Mereka dulunya ummat yang kuat, tetapi telah menjadi pihak yang kalah dan tertawan. Apa sebabnya? Karena mereka menjauh dari Tuhannya dan meninggalkan perintah-Nya.

Bagaimana dengan kita? Perlukah kita menangis juga seperti Abu Darda’? Bukannya mudah menjawab pertanyaan ini. Karena sekarang ini, kitalah sebenarnya ummat yang berada dalam posisi ditangisi.

Kuala Lumpur,
22 Jumadil Awwal 1434/ 3 April 2013

Thursday, March 28, 2013

Masalah Orang Besar

Saat membaca tulisan Shaikh Abdullah Nasih Ulwan tentang Shalahuddin, tiba-tiba berjumpa dengan sebait puisi Mutanabi.


Ujian selalu datang pada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menanggungnya

Sebagaimana kualitas yang baik didapati pada orang-orang yang mulia

Perkara yang kecil mungkin tampak besar di mata orang kecil

Sebagaimana perkara yang besar tampak kecil di mata orang besar





Allah memang memberikan ujian kepada manusia sesuai dengan kemampuannya. Orang kecil hanya akan mendapatkan masalah yang kecil. Masalah yang besar tidak akan datang melainkan kepada orang yang besar. Mengapa begitu? Karena saat mendapat masalah kecil, orang kecil pun masih sering mengeluh dan menganggap masalahnya terlalu besar. Bagaimana lagi kalau diberi masalah yang besar.

Sementara orang besar mampu menghadapi masalah yang berat dengan senyuman. Karena buat mereka tidak ada masalah atau ujian yang benar-benar besar, selama mereka bersama Yang Maha Besar.

Mau jadi orang besar? Belajarlah untuk tidak membesar-besarkan masalah. :)

Alwi Alatas
KL, 29 Maret 2013

Monday, March 25, 2013

Cara Mensyukuri Musibah Menurut Ibnu Umar

Bagaimana cara melihat karunia dan nikmat di balik musibah dan ujian? Ada sebuah nasihat yang baik dari Ibnu Umar ra. Ibnu Umar r.a. pernah berkata, “Setiap kali saya terkena musibah, saya melihat empat karunia Allah di dalamnya: (1) musibah itu tidak mengenai agama saya, (2) saya tidak mengalami musibah yang lebih besar (daripada ini), (3) saya tidak gagal untuk kekal gembira dengan kehendak Allah, (4) saya mengharapkan ganjaran atas musibah tersebut.”

Marilah kita lihat satu persatu karunia yang disebutkan oleh Ibnu Umar tersebut. Tapi sebelum itu, kita ambil contoh sebuah musibah. Misalnya saja kita terkena penyakit yang cukup serius, sehingga terpaksa dibawa ke rumah sakit dan mengeluarkan uang sebesar 30 juta rupiah (10 ribu ringgit) untuk biaya pengobatan. Ini adalah sebuah musibah yang berat. Mari kita perhatikan karunia yang ada di balik musibah itu, atau kita bisa menyebutnya juga “emas” yang terdapat di balik “batu”.



1. Musibah itu tidak mengenai agama kita

Nikmat yang pertama adalah musibah itu tidak memberikan pengaruh pada agama kita. Maksudnya, musibah itu hanya mengenai tubuh dan harta kita, yaitu tubuh kita terkena penyakit dan kita harus mengeluarkan banyak uang untuk menyembuhkannya. Tetapi musibah itu tidak mengenai agama kita, tidak memberi dampak buruk pada iman kita.

Coba bayangkan kalau yang terkena musibah adalah hati kita, sehingga hati itu berpenyakit dan menjauhkan kita dari Allah. Atau mungkin musibah itu berupa dosa besar yang membuat hati kita akhirnya menjadi keras dan mungkin mendorong kita menjadi murtad. Ini adalah musibah yang berkenaan dengan agama, dan ini sangat serius. Kalau badan yang sakit maka dampaknya hanya di dunia, tapi kalau agama yang rusak maka dampaknya terbawa sampai ke akhirat. Kerugiannya jauh lebih besar.

Kalau kita kehilangan sesuatu yang lebih kecil nilainya, tetapi yang jauh lebih besar nilainya tetap aman, kita tentu tidak akan mengeluh. Kita justru akan bersyukur. Ambillah sebuah contoh. Ada sebuah rumah yang dimasuki perampok dan diambil banyak harta benda di dalamnya. Saat kejadian, pemilik rumah sedang berada di luar rumah dan di dalam rumah itu hanya ada anaknya yang masih kecil dan seorang pembantu. Saat mendengar kejadian itu, suami istri pemilik rumah tentu merasa sangat khawatir terhadap keadaan anaknya, karena banyak kejadian yang buruk terhadap anak-anak kecil belakangan ini. Tapi saat kembali ke rumah (perampoknya sudah meninggalkan tempat itu), mereka mendapati banyak harta yang dicuri, tetapi anak mereka selamat. Bagaimana kira-kira perasaan suami istri itu? Mereka tentu akan bersyukur. Ya, mereka bersyukur karena anak mereka selamat. Biarlah harta benda hilang, asalkan anak mereka yang jauh lebih bernilai buat mereka tetap selamat.

Musibah yang sering kita alami itu seperti harta yang hilang, dan agama kita ibarat anak yang selamat pada kisah di atas, bahkan sebenarnya ia jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan anak yang selamat itu.

Jadi tak mengapa kalau hanya tubuh, emosi, atau harta kita yang terkena musibah. Bahkan bersyukurlah karena musibah itu tidak mengenai agama kita.

2. Kita tidak mengalami musibah yang lebih besar lagi

Ini kurnia yang lain lagi. Tubuh kita memang terkena penyakit serius. Tapi kita tidak terkena penyakit yang lebih berat lagi. Sebenarnya mungkin saja kita terkena penyakit yang lebih berat, dan ada banyak orang yang terkena sakit yang sebih berat dari kita.

Begitu juga dengan harta yang keluar. Kita terpaksa membayar 30 juta rupiah untuk biaya pengobatan. Sebenarnya kalau kita terkena penyakit yang lebih berat, kita tentu harus membayar lebih mahal lagi. Kita semestinya bersyukur atas kenyataan ini.

Jika kita masih memiliki uang lebih selepas itu, maka ini juga perlu disyukuri. Memang uang yang keluar banyak, tetapi masih ada kelebihan uang. Bagaimana kalau uang yang mesti dibayar ternyata tidak cukup, sehingga kita terpaksa berhutang?

Kalau terpaksa berhutang dan ada orang yang mau meminjamkan pun masih baik. Macam mana kalau tak ada orang yang mau meminjamkan?

Banyak kemungkinan yang lebih buruk dapat terjadi, tetapi kenyataannya tidak. Ini adalah sebuah nikmat. Karena itu bersyukurlah.

Dalam buku Bersyukurlah Kerana-Nya kami tuliskan sebuah kisah tentang dua orang sahabat. Salah seorang dari kedua orang itu ditangkap dan ditahan karena suatu sebab. Selama berada di dalam tahanan, ia selalu dipukul oleh petugas penjara. Tetapi setiap kali ia menceritakan penderitaannya kepada sahabatnya, sahabatnya selalu menasihatinya agar bersyukur.

Begitu yang selalu terjadi, sehingga suatu hari ada seorang majusi yang dimasukkan ke dalam tahanan yang sama dengannya. Kakinya dan kaki orang majusi itu diikat dengan rantai yang sama, sehingga mereka harus selalu bersama-sama, tidak bisa duduk berjauhan. Penderitaannya menjadi semakin besar disebabkan orang majusi ini mengalami sakit perut sehingga terpaksa bolak-balik ke salah satu bagian tahanan untuk buang air. Sepanjang malam, orang majusi itu berkali-kali terbangun untuk buang air dan ia terpaksa bangun juga untuk mengikutinya disebabkan rantai yang mengikat kaki keduanya. Ini sungguh menyiksa sekali.

Ketika ia menceritakan hal itu pada sahabatnya, sahabatnya itu tetap menasihatinya untuk bersyukur. Maka ia pun menjadi sangat marah kepada sahabatnya itu. “Sampai kapan saya harus bersyukur?” katanya kesal. “Apakah ada musibah yang lebih besar dari ini?”

Ia merasa sudah berada di puncak musibah dan penderitaan. Karena itulah ia menganggap nasihat temannya itu berlebihan dan keterlaluan. Tetapi temannya itu membalas suratnya dengan kata-kata berikut, “Kalau tali pinggang orang majusi itu diikat juga ke pinggangmu, sebagaimana rantai di kakimu, apa yang akan kamu lakukan?”

Anda memahaminya? Sekarang ini hanya kaki yang diikat dengan satu rantai, sehingga setiap kali orang majusi itu bangun untuk buang air ia pun terpaksa bangun juga. Bagaimana kalau pinggangnya diikat jadi satu dengan pinggang orang majusi itu, sehingga badannya akan terus menerus melekat dengan tubuh si orang majusi tadi saat bangun dan juga di saat tidur. Dapatkah anda membayangkan penderitaannya? Tapi ternyata ia tidak mengalami yang seperti itu. Dan itu adalah sebuah alasan untuk bersyukur.



3. Musibah tidak menghalangi kebahagiaan

Karena selalu ada alasan untuk bersyukur sebagaimana disebutkan pada poin-poin sebelumnya, maka seorang tetap mampu bergembira saat mendapatkan musibah dan ujian. Kemampuan seorang manusia untuk memilih tersenyum di saat mendapatkan hal yang berat dan menyusahkan juga merupakan suatu karunia.

Walaupun biasanya orang bersedih saat ditimpa musibah, tetapi hal ini bukan sebuah keniscayaan. Ia bukan sesuatu yang mesti berlaku. Allah memberi kemampuan pada manusia untuk memilih respons terhadap apa yang dialaminya. Manusia diberi kemampuan untuk tersenyum dan bersyukur di tengah musibah. Kemampuan ini adalah sebuah karunia. Sayangnya banyak manusia yang tidak mau menggunakannya dan lebih suka untuk mengeluh dan meratapi musibah.

Musibah apa pun akan menjadi ringan selama seseorang tidak gagal untuk menemukan kebahagiaan di dalamnya. Pencuri boleh merampas harta benda kita, musibah boleh menghilangkan uang atau rumah kita, tetapi semua itu tak semestinya merengut kebahagiaan kita. Karena kebahagiaan itu ada di dalam hati dan tak ada orang yang dapat merampasnya selama kita tidak mengijinkannya.

Allah memberikan manusia kemampuan untuk memilih, termasuk memilih perasaannya sendiri. Ini adalah sebuah nikmat yang besar. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.

4. Musibah menawarkan ganjaran

Kepada orang-orang yang beriman, Allah menjanjikan ganjaran di balik musibah. Bahkan musibah itu dapat digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Janji Allah itu benar. Kalau begitu mengapa kita mesti risau dan galau saat mendapat musibah. Kalau di balik kesusahan itu ada kebaikan yang menunggu, walaupun hal itu belum tampak, tidakkah kita akan bersyukur?

Kalau kita mendapat musibah berupa kehilangan uang, tapi nantinya yang hilang itu akan digantikan dengan sejumlah uang yang lebih besar atau digantikan dengan sesuatu yang lebih baik dibandingkan musibah yang kita alami, apakah kita akan marah atau sebaliknya kita malah bersyukur?

Anggaplah misalnya kita punya sebuah mobil (Malaysia: kereta) yang berukuran kecil, mungkin sebuah mobil Suzuki model lama. Lalu terjadi kecelakaan dan mobil itu hancur, tak dapat diperbaiki dan dikendarai lagi. Kita mungkin merasa kesal dan marah. Punya mobil hanya satu, sekarang rusak pula. Terpaksa kita pergi ke mana-mana naik bus. Tapi beberapa waktu kemudian kita bisa membeli sebuah mobil lain yang lebih bagus dan lebih mahal. Artinya mobil kita yang jelek dan murah diganti oleh Allah dengan mobil yang bagus dan lebih mahal harganya. Apakah sekarang kita masih marah? Atau kita akan bersyukur?

Allah sudah berjanji kepada orang-orang beriman bahwa musibah yang mereka alami akan diberi ganjaran dan akan diganti dengan yang lebih baik kalau mereka bersabar dan memohon pada Allah ganti yang lebih baik. Ini adalah sebuah karunia. Bukankah seharusnya kita bersyukur?

Selain empat hal yang disebutkan Ibnu Umar ra. Di atas, Imam Ghazali memberikan satu hingga dua tambahan di dalam bukunya Minhajul Abidin, yaitu:

5. Musibah itu tidak berterusan dan musibah itu datang dari Allah

Ini juga nikmat di balik musibah. Kebanyakan musibah yang kita alami biasanya hanya terjadi satu kali saja, bukannya terus menerus terjadi. Kalaupun ia terjadi lagi biasanya setelah waktu yang lama.

Tak ada orang yang setiap hari kehilangan uang. Tak ada orang yang setiap hari kena rampok. Tidak ada orang yang setiap hari mengalami kecelakaan di jalan raya. Tak ada orang yang setiap hari mengalami kegagalan. Bahkan orang yang merasa dirinya paling sial pun tidak mengalami hal yang semacam ini. Hal ini tentu saja harus disyukuri.

Mungkin ada orang yang kena penyakit berat sehingga sakitnya itu berpanjangan dan menyebabkan ia berulang kali masuk rumah sakit. Bahkan penyakitnya itu mungkin akan membawanya pada kematian. Ini memang musibah yang berat. Tapi bukannya semua musibah yang kita alami seperti ini.

Selain itu, janganlah kita lupa bahwa semua yang kita alami, termasuk musibah, datangnya dari Allah. Tak mungkin Allah bermaksud mencelakakan atau menyusahkan hambanya yang beriman. Di balik musibah itu tentu ada manfaat dan kebaikan yang besar.

Jadi sebenarnya ada banyak alasan untuk bersyukur, termasuk saat kita mengalami musibah dan kesusahan. Ada banyak karunia di balik musibah. Saat melihat karunia-karunia itu, tentu kita akan merasa bersyukur dan lisan kita pun mengucap alhamdulillah.

Betapa bahagianya orang yang mengalami musibah, tetapi yang tampak oleh matanya justru karunia dan nikmat, bukan musibah yang menyusahkan.

Alwi Alatas,
Kuala Lumpur
13 Jumadil Awwal 1434/ 25 Maret 2013