Monday, December 14, 2009

Perawat Menjadi Raja


Perawat Menjadi Raja

RABU, 21 OKTOBER 2009

KASESE, DETIKPOS.net - Kisah rakyat jelata yang kemudian menjelma menjadi raja bukan dongeng semata. Kisah itu nyata pada Charles Wesley Mumbere (56) yang semula bekerja sebagai seorang perawat pembantu di Maryland dan Pennsylvania, Amerika Serikat. Dia dinobatkan sebagai raja.

Senin (19/10), setelah bertahun-tahun menempuh perjuangan politik dan keuangan, Mumbere akhirnya dinobatkan sebagai raja bagi rakyatnya.

Ribuan warga berjalan kaki beberapa kilometer untuk dapat melihat penobatan Mumbere, yang mengenakan kain menyerupai sarung berwarna hijau dan topi berwarna-warni.

Dalam sebuah rapat umum pada hari yang sama, Presiden Uganda Yoweri Museveni secara resmi mengakui Kerajaan Rwenzururu yang berpopulasi 300.000 jiwa itu. Museveni mengembalikan keberadaan kerajaan tradisional di Uganda yang dihapuskan pendahulunya pada 1967. Akan tetapi, Museveni tetap membatasi wewenang para raja hanya pada tugas-tugas kebudayaan dan tidak boleh ikut campur dalam urusan politik.

”Ini sebuah peristiwa besar. Kita bisa mengetahui bahwa pada akhirnya pemerintah pusat memahami tuntutan rakyat Bakonzo yang telah berupaya keras mendapatkan pengakuan atas identitasnya,” ungkap Mumbere di sebuah bangunan berlantai satu dan berwarna putih, yang difungsikan sebagai sebuah istana, di Kasese.

Parlemen Rwenzururu berada di dekat ”istana”, di sebuah bangunan berukuran lebih besar dan terbuat dari alang-alang. Di ”gedung” parlemen itulah ritual tradisional diselenggarakan pada Senin malam waktu setempat untuk pemberian mahkota kepada Raja.
”Semua orang sangat gembira karena Presiden bersedia datang kemari dan secara resmi mengakui Kerajaan Rwenzururu,” kata Masereka Tadai (43), warga yang mengawasi latihan untuk berpawai sambil menampilkan tari- tarian.

Belajar di AS

Saat remaja, Mumbere memimpin sebuah kekuatan pemberontak, kemudian menjadi seorang murid miskin di AS, hingga kemudian menerima pekerjaan sebagai pembantu perawat di AS, di mana dia tinggal selama hampir 25 tahun.

Asal muasal Mumbere yang merupakan putra mahkota baru disebarluaskan di Pennsylvania pada Juli lalu. Saat itu dia memberikan sebuah wawancara kepada The Patriot-News of Harrisburg saat bersiap kembali ke Uganda.

Dia menjadi putra mahkota ketika ayahnya, Isaya Mukirania Kibanzanga, tewas saat memimpin sebuah kelompok perlawanan di Pegunungan Rwenzori atau lebih dikenal dengan sebutan Pegunungan Bulan. Mereka memprotes penindasan terhadap kelompok etnis Bakonzo oleh Kerajaan Toro yang kemudian menguasai mereka. Warga Bakonzo menuntut agar diakui sebagai sebuah entitas terpisah dan bernama Kibanzanga, yang diambil dari nama seorang mantan guru sekolah dasar yang kemudian menjadi raja mereka pada tahun 1963.

Segera setelah tewasnya Kibanzanga, anak lelakinya memimpin para pejuang turun dari gunung untuk menyerahkan senjata. Mumbere pun kemudian pergi ke AS pada 1984 dengan beasiswa Pemerintah Uganda. Dia kuliah di sebuah sekolah bisnis hingga kepemimpinan Uganda berganti dan beasiswa dihentikan.

The Patriot-News of Harrisburg pada artikel mengenai kisah Mumbere, Juli 2009, menguraikan, Mumbere mendapat suaka politik pada 1987. Dia kemudian berlatih sebagai perawat pembantu dan bekerja di sebuah rumah jompo di pinggiran Washington untuk hidupnya.

Ketika Pemerintah Uganda memutuskan menghidupkan kembali kerajaan-kerajaan tradisional, Mumbere pun giat melobi agar Kerajaan Rwenzururu diakui. Setelah 10 tahun berunding, Presiden Museveni pada Agustus lalu mengumumkan akan mengakui Kerajaan Rwenzururu sebagai satu dari tujuh kerajaan di Uganda. (kompas)
Detik Pos Indonesia

http://www.detikpos.net/2009/10/perawat-menjadi-raja.html#

Sunday, December 13, 2009

Tunanetra Dilantik Jadi Hakim


SELASA, 23 JUNI 2009
Pertama, Tunanetra Dilantik Jadi Hakim
DETIKPOS.net - Ketunaan fisik seharusnya tak menghalangi hak dasar dan peluang seseorang. Di Antwerpen, Belgia, seorang tunanetra dilantik menjadi hakim dan langsung bertugas.

Bart Hagen (32), nama tunanetra itu. Dia dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Michel Rozie, Senin (22/6/2009).

Hakim Tinggi Rozie mengenal baik hakim Hagen, karena dia juga dosen yang mengajar Hagen saat masih mahasiswa.

"Saya mengenal Anda saat Anda menempuh ujian di Mahkamah Agung, di mana Anda meraih nilai tinggi. Kemudian saya memonitor Anda saat praktik kerja lapangan di Pengadilan Mechelen dan saya juga pernah mengajar Anda, di mana Anda selalu aktif berpartisipasi," Ujar Rozie, dikutip dari De Standaard.

Hakim Hagen akan menjalankan tugas dengan cara memindai dokumen, selanjutnya dengan bantuan teknologi dokumen itu diubah ke dalam bentuk suara.

Sementara untuk mobilitas di gedung pengadilan, dia akan dipandu oleh anjing pemandunya yang setia.

Sumber: Kompas.com
http://www.detikpos.net/2009/06/pertama-tunanetra-dilantik-jadi-hakim.html

Tuesday, December 8, 2009

Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar

Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar

Alwi Alatas

Kadang saya berpikir dalam hati, kalau ada orang yang bertanya apa hal yang paling tidak saya sukai, mungkin jawaban saya adalah menemani perempuan (istri atau ibu) belanja. Saya sering menemani istri belanja (itu pun karena terpaksa), dan saya sering heran betapa kuatnya dia bolak-balik dan melakukan tawar menawar selama berjam-jam hanya untuk membeli beberapa barang. Agaknya tidak salah juga kalau ada ungkapan yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ungkapan itu menyebutkan bahwa ’seorang pria akan membayar 2 dollar untuk barang seharga 1 dollar yang ia perlukan, dan seorang perempuan akan membayar 1 dollar untuk barang seharga 2 dollar yang tidak dia perlukan.’ ”Rasanya nggak afdhal kalau membeli tanpa tawar menawar semaksimal mungkin,” begitu istri saya pernah berkata.

Istri saya ini seorang negosiator yang alami (barangkali istri Anda juga seperti itu). Begitu asyiknya dia berlama-lama mebolak-balik dan menawar barang sampai saya sering merasa tidak tega dengan penjualnya. Seperti baru-baru ini kami berbelanja beberapa pakaian untuk kemudian dijual lagi (kalau untuk keperluan dagang tentu saja kami harus menawarnya sebaik mungkin). Istri saya melihat barang-barang itu satu demi satu, dikeluarkan dari tempatnya, diperhatikan setiap lekukan, lalu diletakkan kembali sambil melihat barang yang lain. Ketika membuka dan melihat barang yang baru, ia menemukan ada bagian yang kurang bagus, dan memutuskan untuk melihat yang lain lagi. Si penjual akan melipat kembali pakaian yang sudah dilihat, tapi kadang yang sudah dilihat ini terpaksa dibuka kembali karena istri saya ingin melihatnya kembali.

Saya jadi kasihan dengan si penjual. Dia pasti penat sekali menghadapi pembeli seperti kami, dan pada akhirnya mungkin akan menyerah juga dengan harga yang diusulkan istri saya. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga usaha.
Saya pernah membaca bahwa salah satu teknik negosiasi yang berhasil adalah dengan berlama-lama mencoba barang yang akan dibeli dan terus menerus melakukan tawar menawar. Si penjual pada akhirnya akan merasa letih dengan pelanggannya ini dan memutuskan untuk mengalah dan mengambil untung sedikit saja asalkan barangnya terjual. Kalau waktunya sudah habis untuk melayani pelanggan semacam ini dan akhirnya tidak dibeli, mungkin dia akan merasa kesal. Istri saya sama sekali tidak mengetahui teori negosiasi semacam ini. Ia hanya menikmati proses berbelanja dan tawar menawar serta berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin.

Ukuran keberhasilan dalam tawar menawar dan membeli barang tentu saja dengan mendapatkan barang sebagus mungkin dengan harga yang paling rendah. Namun, dalam hidup ini ada kalanya menawar barang untuk harga yang lebih rendah bukanlah hal terbaik yang bisa kita raih. Terlebih lagi jika ekonomi kita sangat berkecukupan dan kita membeli barang dari pedagang kecil. Ada sebagian orang yang menawar murah-murah barang yang dijajakan seorang pedagang kecil. Lalu setelah ia membeli barang tersebut ia mulai merasa menyesal mengapa harus menawar terlalu murah. Bukankah pedagang itu kehidupannya sangat susah. Kadang usianya juga sudah cukup tua. Ia harus memikul barang dagangannya di hari yang sangat panas dan hanya mendapat keuntungan tidak seberapa dari penjualannya. Bahkan jika semua barangnya laku tanpa ditawar sekalipun dia tetap tidak akan menjadi orang kaya.

Saya pernah mendengar tentang seorang tuan tanah kaya di Batavia pada jaman kolonial dulu. Namanya Abdullah bin Alwi al-Attas (w. 1929). Kalau membeli dari pedagang kecil dia sama sekali tidak mau menawar dan akan membayar sesuai dengan harga yang diajukan si pedagang (tentu saja para pedagang kecil ini juga tahu diri dan tidak menaikkan harga barang semaunya saja). Ia juga tidak suka melihat binatang yang dikurung. Kalau melihat ada pedagang burung yang lewat, maka ia akan memanggilnya dan membeli semua burung yang ada, lalu melepaskannya begitu saja.

Ketika ada pedagang kecil lainnya datang untuk menjajakan barangnya, maka ia akan membeli sebagian besar barang yang dijual oleh pedagang itu. Ia membeli tanpa menawar lagi. Jika ditanyakan mengapa ia melakukan hal itu, maka ia akan menjawab bahwa Allah sudah menganugerahkan rizki yang banyak baginya, maka bagaimana mungkin dia akan menawar barang dari pedagang yang keadaannya susah. Ia menganggap hal itu ’haram’ baginya.

Kini kembali pada diri kita. Mungkin kita tidak mampu melakukan seperti Sayyid Abdullah di atas. Kita masih perlu melakukan tawar menawar dalam membeli barang, karena keadaan ekonomi yang sulit belakangan ini dan karena harga-harga barang terus naik. Itu tidak masalah. Tapi kita toh sesekali tetap bisa membantu para pedagang kecil dengan membeli barang mereka tanpa harus menawar terlalu banyak. Nilai belanja kita memang jadi sedikit lebih mahal. Namun senyum bahagia si pedagang kecil akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kita. ’Kebahagiaan itu tidak bisa diraih dengan memiliki, tapi dengan memberi,’ begitu kata pepatah. Bukankah ini indah? Kita membayar sedikit lebih mahal, dan kita mendapatkan kebahagiaan sebagai gantinya.

Barangkali kita juga bukan orang kaya. Dan kalaupun kaya mungkin kekayaannya tidak sama dengah tuan tanah yang diceritakan di atas. Namun boleh jadi kita memiliki kekayaan hati, kekayaan yang membolehkan kita membantu orang-orang yang tengah berusaha di sekitar kita. Kekayaan jiwa semacam ini akan membawa kita pada kekayaan yang sesungguhnya.

Kini perhatikanlah orang-orang kecil yang tengah berusaha di sekitar tempat tinggal kita. Sesekali, datanglah dengan tersenyum pada mereka. Lalu belilah barang mereka tanpa menawar lagi. Mudah-mudahan senyum mereka menjadi doa buat kita.

Jakarta, 30 Oktober 2009