Sunday, November 16, 2008

Kalau Rejeki Nggak Kemana 1

Ketika saya masuk kuliah di Universitas Indonesia, tahun 1994, biaya kuliah masih relatif murah. Saya hanya perlu membayar 425 ribu rupiah setiap semesternya. Angka itu tentu saja jauh lebih murah dibandingkan biaya kuliah sekarang ini yang mencapai jutaan rupiah setiap semesternya. Belum lagi ditambah dengan uang gedung yang nilainya mencakar langit. Walaupun pada masa itu belum terjadi krisis moneter dan nilai rupiah lebih tinggi ketimbang sekarang, biaya kuliah pada saat itu masih sangat terjangkau oleh banyak orang. Sehingga bagi mereka masuk ke perguruan tinggi negeri merupakan pilihan utama untuk meringankan beban orang tua.

Karena tidak berasal dari keluarga yang terlalu miskin, sekaligus tidak juga terlalu kaya, saya jadi kurang terdorong untuk mencari-cari peluang beasiswa. Lebih-lebih lagi informasi seputar beasiswa ketika itu masih agak terbatas, dan saya termasuk orang yang kurang gesit dalam mencari celah-celah mendapatkan beasiswa semacam itu. Maka setiap semester saya hanya mengandalkan dana dari orang tua untuk membiayai kuliah.

Pada tahun-tahun terakhir kuliah, saya mulai bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Gajinya tentu saja masih sangat kecil. Tapi adanya pekerjaan itu jelas membuat biaya kuliah tidak terlalu membebani lagi. Nah, dalam keadaan seperti inilah saya justru mendapatkan rejeki tambahan. Anehnya, walaupun rejeki itu semula saya tolak, saya terpaksa menerimanya juga pada akhirnya. Begini ceritanya.

Pada suatu hari, saya sedang duduk-duduk di taman kampus saya, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UI. Lalu tiba-tiba saja teman saya, Amin Rahayu, mendatangi saya cepat-cepat. Begitu sampai, dia segera duduk di samping saya.

“Wi, kamu mau dapat beasiswa kan?” tiba-tiba dia bertanya seperti itu. Siapa yang nggak syok coba kalau ditanya mendadak seperti itu.

“Eh …,” saya bingung mau jawab apa.

“Kamu mesti mau, Wi!” katanya bersemangat. “Mau ya!”

“Ini ada apa sih, kok tiba-tiba nawarin beasiswa?” saya bertanya heran. “Pakai maksa lagi.”

“Begini,” ia mulai menjelaskan, “Ada beasiswa yang ditawarkan untuk mahasiswa kampus ini. Dari seorang pengusaha besar yang kebetulan salah satu keponakannya bekerja di fakultas kita ini. Hanya saja beasiswa itu tidak diumumkan kepada seluruh mahasiswa. Beasiswa hanya diberikan pada anak yang Indeks Prestasinya bagus. Selama ini, jatah penerima beasiswa sudah penuh. Peluang baru hanya muncul kalau ada mahasiswa penerima beasiswa yang sudah habis masa kuliahnya, sehingga dia sudah tidak bisa menerima lagi ….”

“Kenapa tidak kamu saja yang menerima, Min?” tanya saya.

“Justru itu. Saya sudah dapat beasiswa sebelumnya. Sekarang kuliah saya sudah habis, sehingga sudah tidak bisa menerima lagi. Nah, saya punya kesempatan merekomendasikan seorang mahasiswa untuk menggantikan tempat saya. Saya pikir kamu yang cocok, Wi.”

“Tapi …,” saya merasa ragu.

“Sudah, ambil saja!” si Amin ini terus mendesak saya.

“Tapi, Min, saya kira masih banyak mahasiswa lain yang lebih perlu dari saya,” saya masih merasa ragu untuk menerima. Duh, ditawari beasiswa kok malah nolak, gak salah nih. Tapi memang begitulah yang terlintas di benak saya ketika itu. Walaupun dari keluarga sederhana, saya tidak pernah dididik untuk mengharapkan bantuan dari orang lain. Itulah sebabnya mengapa saya merasa ragu untuk menerimanya. Apalagi saya sudah bekerja, walaupun gajinya belum seberapa.

“Tidak, Wi, saya yakin kamu layak menerimanya,” Amin masih memaksa saya.

“Hmm …, gimana ya?”

“Pokoknya kamu mesti mau!” ujarnya sambil memegang dan menarik tangan saya.

“Lho, kita mau kemana?”

“Saya mau bawa kamu ke keponakan si pengusaha itu, supaya nama kamu didaftarkan menggantikan nama saya.”

Maka saya pun, dengan sangat terpaksa dan rasa enggan (duile, kagak salah nih?), akhirnya didaftarkan sebagai seorang penerima beasiswa. Tidak ada proses lamaran dan interview yang berbelit-belit. Saya cuma perlu melampirkan copy indeks prestasi saya yang memang sudah memenuhi syarat itu. Lalu, jadilah saya menjadi penerima beasiswa. Si pemberi beasiswa ternyata pemilik Hotel Kartika Chandra. Jumlah beasiswanya lumayan juga. Walaupun saya cuma menerimanya selama dua semester, karena kuliah saya ketika itu memang sudah hampir selesai.

Kalau dipikir-pikir unik juga yang saya alami itu. Saya tidak mencari beasiswa, tapi beasiswanya yang datang sendiri. Saya sudah menolaknya, tapi dipaksa juga untuk menerima beasiswa. Memang benar kata orang-orang: Kalau rejeki nggak kemana.

Monday, November 10, 2008

Sakit Mata yang tak Kunjung Sembuh

Belajarlah melepas dengan rasa ikhlas, karena hanya dengan itu Anda akan menerima dengan penuh berkat.

Bagaimana perasaan Anda sekiranya Anda diberitahu bahwa mata Anda sakit serius dan sudah tak bisa disembuhkan lagi? Apa yang akan Anda lakukan kalau mata Anda tak lama lagi akan menjadi buta? Apakah Anda akan merasa frustasi? Anda akan kehilangan semangat dan menjalani sisa umur sambil meratapi nasib buruk? Atau Anda akan memilih sikap yang berbeda?

Cobalah bayangkan ini: mata Anda benar-benar di ambang kebutaan. Bagaimana Anda akan menyambut saat-saat kehilangan yang sangat berat itu?

Keadaan inilah yang dihadapi oleh seorang ibu bernama Nafisah. Beliau sudah berusia 68 tahun dan mulai disergap beberapa penyakit. Di antara penyakit-penyakit tua yang terasa amat mengganggunya adalah penyakit mata. Saya mengetahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini beliau sering mengeluhkan penyakit matanya yang tak kunjung sembuh. Tapi beberapa minggu yang lalu saya benar-benar dibuat terkejut. Saya sedang berkunjung ketika beliau tiba-tiba saja berbicara tentang sakit matanya.

“Kamu tahu kan kalau Umi sudah menderita sakit mata ini cukup lama?” katanya saat saya duduk di hadapannya.

Benak saya menerawang, berusaha mengingat-ingat sejak kapan beliau mulai mengeluhkan soal penyakit matanya. Saya tidak tahu kapan persisnya, tapi memang itu sudah berlangsung cukup lama.

“Umi ingat sudah berapa lama sakit mata?” saya bertanya penasaran.

“Kurang lebih sudah tiga tahun,” jawabnya.

Tiga tahun dirongrong oleh sakit mata tentunya sangat menyiksa. Karena tak semenit pun berlalu melainkan kita menggunakan mata kita untuk beraktivitas, kecuali saat tidur tentunya.

“Apa saja yang Umi rasakan selama sakit mata?”

Perempuan yang sudah berusia lanjut itu mendesah. Asam garam kehidupan mengalir di sela-sela keriput wajahnya yang semakin menua, wajah yang bercahaya karena basuhan wudhu dan pancaran iman.

“Selama masa itu mata Umi terasa sakit, kering dan seperti ada pasir atau kerikil kecil di bagian dalam.”

Jadi begitulah yang beliau rasakan: kering dan kelilipan pasir halus, walaupun sama sekali tidak ada pasir yang masuk ke dalam matanya. Gangguan tersebut menyebabkan beliau sering merasakan mata lelah dan pusing di bagian kepala. Sungguh menyiksa sekali.

“Umi pergi ke dokter mata, semuanya dokter spesialis, tapi sakit mata ini tak kunjung sembuh juga. Berbotol-botol obat tetes mata, mulai dari obat mata biasa hingga obat mata khusus yang bersifat antibiotik, sudah Umi gunakan, tapi nyaris tidak ada perubahan. Perubahan begitu didamba, tapi semuanya bersifat semu belaka. Kesembuhan amat diharapkan, tetapi itu tak pernah terjadi secara permanen. Mata Umi hanya membaik selama menggunakan obat-obatan itu saja. Begitu obat habis, mata Umi kembali sakit dan penuh masalah, sama seperti sebelumnya, atau malah lebih buruk lagi.

“Salah satu dokter mata mengatakan bahwa Umi mengalami mata kering. Mata Umi sudah tidak bisa lagi memproduksi air mata. Itulah yang menyebabkan semua rasa sakit serta rasa kelilipan yang sangat mengganggu. Lalu dokter itu memberi Umi sebuah obat tetes yang berfungsi sebagai pengganti air mata. Karena fungsinya sebagai pengganti air mata, dokter itu memerintahkan Umi untuk menggunakan obat tetes itu setiap satu jam sekali.”

“Setiap jam?” saya terperanjat mendengarnya, “Tapi itu jelas sulit sekali.”

“Malah dokter itu sempat berbisik halus pada Umi, ‘Kalau perlu Ibu meneteskannya setiap setengah jam sekali.’”

Saya menggelengkan kepala. Itu keterlaluan sekali. Bagaimana mungkin seseorang bisa meneteskan obat mata setiap setengah jam sekali, sepanjang hidupnya. Itu seperti sebuah vonis kematian; kematian dua bola lampu penuh keajaiban yang senantiasa membimbing kita pada cahaya kehidupan. Bahkan para pengangguran pun akan memprotes sekiranya mereka harus meneteskan obat mata setiap jam sekali. Memangnya mereka tak punya pekerjaan lain?

“Coba saja bayangkan, betapa repotnya harus meneteskan obat mata setiap jam, terlebih buat orang tua yang masih aktif seperti Umi ini ….”

Beliau memang masih sangat aktif. Kendati sudah berusia cukup lanjut, beliau terkadang masih suka pergi ke Kramat Jati, ke Proyek Senen, atau ke Pasar Baru (dari Condet!) sendirian dan naik angkot.

“… setiap jam Umi harus berhenti sejenak untuk meneteskan obat mata. Umi meneteskan obat mata di atas angkot atau mikrolet; Umi berhenti sebentar di tengah pasar Senen, meletakkan tas, lalu meneteskan obat mata; Umi harus berhenti di mana saja setiap jamnya demi meneteskan obat mata ini. Rasanya sungguh tidak nyaman ….”

“Sungguh menyiksa sekali,” komentar saya.

“Memang …. Namun, Umi tidak pernah berhenti. Umi selalu melakukannya.”

Kalau saya yang berada di posisi beliau, tentu saya sudah menyerah sejak hari yang pertama. Pengobatan macam apa itu? Orang berobat untuk sembuh, bukannya untuk berobat terus menerus seperti itu.

“Tapi karena pengobatan semacam itu tidak memberi perbaikan apa-apa, maka Umi akhirnya mencari pengobatan ke dokter lain. Oleh dokter yang baru, Umi diberi obat yang baru lagi. Namun, kesembuhan tak kunjung datang juga, walaupun begitu banyak uang sudah keluar untuk pengobatan. Kalau saja mata ini sembuh, sungguh tak masalah berapa pun banyaknya uang yang keluar. Namun, kesembuhan rupanya jauh lebih mahal daripada uang yang banyak itu.”

Saya termenung. Alangkah luar biasanya nikmat yang terdapat pada mata manusia. Benarlah kalau dikatakan bahwa seluruh ibadah yang mampu dilakukan manusia masih belum cukup untuk membayar nikmat sebelah mata saja.

“Kadang obat-obatan yang diberikan membuat mata ini terasa enakan. Mata tak lagi merasa sakit selama menggunakan obat. Tapi begitu obat dihentikan, tiba-tiba saja mata mengalami iritasi yang cukup serius. Seolah-olah mata mulai mengalami ketergantungan terhadap obat; sudah tak bisa lepas lagi dari obat-obatan,” beliau melanjutkan keterangannya.

“Hingga sekarang ini, sudah berapa kali Umi berganti dokter?” saya bertanya.

“Umi sudah berobat pada empat dokter spesialis,” jawab beliau. “Pada dokter yang terakhir, Umi sudah berobat kurang lebih setahun.”

“Apakah ada perubahan yang berarti selama berobat ke dokter yang terakhir ini?”

“Agaknya dokter yang ini lebih baik dari yang lain-lainnya, tapi sudah berobat sejauh ini mata Umi masih juga sakit jika tidak menggunakan obat,” terangnya. “Sebelumnya, salah seorang dokter pernah berkata … mata Umi sudah tak bisa sembuh lagi.”

“Sudah tak bisa sembuh?” saya terkejut.

“Ya, begitulah yang dia katakan. Ketika Umi menanyakannya pada dokter yang sekarang ini, dia sama sekali tidak mengiyakan vonis itu, … tapi dia juga tidak menolaknya.”

Saya merasa sangat sedih mendengarnya. Beliau berobat selama bertahun-tahun mengharapkan kesembuhan, dan akhirnya seperti terjebak di sebuah jalan buntu. Beliau seperti berdiri di tepi jurang kebutaan, jurang yang dipenuhi kabut dan tak memperlihatkan adanya jalan atau jembatan sama sekali. Kemanapun kaki melangkah, hasil akhirnya sama saja: jatuh ke jurang kegelapan. Kini tampaknya hanya ada sedikit waktu yang menyisakan cahaya. Waktu-waktu cahaya yang amat berharga.

“Kamu tahu kan kalau sebelum ini Umi tidak bisa membaca al-Qur’an dengan lancar?” beliau tiba-tiba saja mengubah tema pembicaraan.

Saya mengangguk. Memang selama ini beliau tidak biasa membaca al-Qur’an, walaupun beliau berasal dari keluarga yang sangat taat beragama. Selama ini agama bagi beliau hanyalah ritual-ritual tertentu saja, dan al-Qur’an hanyalah Surat Yasin dan Ayat Kursi. Beliau nyaris tidak pernah membaca al-Qur’an dari al-Fatihah sampai al-Naas. Namun, beberapa bulan terakhir ini beliau mulai rutin membaca al-Qur’an. Ya, beliau mulai membaca al-Qur’an dari permulaan surat hingga ke bagian akhirnya. Beliau membaca secara terbata-bata, tapi terus membaca secara teratur dari hari ke hari.
“Sayang memang dulu Umi tidak membiasakan diri membaca al-Qur’an secara teratur. Tapi sekarang Umi membacanya setiap hari, walaupun dengan bacaan yang terbata-bata,” katanya.
Lalu saya lihat mata beliau mulai berkilat-kilat penuh cahaya dan kebahagiaan.

“Semua pengobatan dokter yang tidak kunjung membawa kesembuhan membuat Umi berpikir bahwa mata ini tidak mungkin sembuh lagi. Umi merasa mata ini akhirnya akan menjadi buta,” beliau kembali berbicara tentang matanya. “Lalu tiba-tiba saja sebuah pikiran terlintas di benak Umi. Umi berpikir kalau mata ini menjadi buta nantinya, maka Umi tidak bisa lagi membaca al-Qur’an. Karena itu, mumpung mata ini masih bisa melihat, Umi berniat untuk membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya. Itulah sebuah niat yang terlintas di pikiran Umi: Umi ingin membaca al-Qur’an sesering mungkin sebelum mata ini tak mampu melihat lagi.

“Maka Umi pun membaca al-Qur’an lebih banyak dari biasanya. Kalau mata ini terasa kering dan sakit saat membaca al-Qur’an, Umi berhenti sebentar dan meneteskan obat mata. Setelah itu Umi kembali melanjutkan baca al-Qur’an. Demikianlah dari hari ke hari, Alhamdulillah, Umi terus membaca al-Qur’an. Sampai akhirnya Umi bisa membaca al-Qur’an lebih lancar dari biasanya. Sekarang, dalam sehari Umi bisa membaca al-Qur’an lebih dari satu juz.

“Di tengah aktivitas membaca al-Qur’an yang meningkat itu, Umi masih terus menggunakan obat mata yang cukup keras. Umi tidak bisa berhenti menggunakan obat mata itu, karena begitu obat itu habis mata Umi mulai mengalami iritasi. Mata Umi menjadi gatal-gatal dan merah. Terakhir kali Umi pergi ke dokter, dokter memang tidak menyuruh Umi untuk kembali lagi. Tapi Umi pikir bagaimana jadinya nanti kalau obat habis. Umi tidak mungkin membeli obat tanpa surat dokter. Sementara kalau Umi berhenti menggunakan obat, mata Umi biasanya kembali menjadi sakit.

“Lalu ketika obat akhirnya habis, kira-kira dua bulan yang lalu, Umi memutuskan untuk membiarkannya sementara waktu. Umi sudah siap-siap kalau mata ini akan kembali sakit setelah beberapa hari, maka Umi akan langsung pergi ke dokter. Tapi sungguh aneh, mata Umi tidak sakit. Hari demi hari berlalu, minggu berganti minggu, dan mata Umi sama sekali tidak terasa sakit, laiknya mata orang-orang yang normal. Mata Umi tidak terasa kering, tidak terasa ada pasir yang mengganjal, tidak ada gangguan sama sekali. Rasa-rasanya sebuah keajaiban sedang terjadi. Mata itu tiba-tiba saja sembuh, setelah bertahun-tahun sakit, setelah bertahun-tahun menjalani pengobatan, dengan botol-botol obat yang berderet-deret panjang, tanpa ada sebuah kepastian sembuh. Mata itu tiba-tiba sembuh setelah sebelumnya divonis tak bisa sembuh oleh dokter ahli ….”

“Jadi …, mata Umi benar-benar sembuh,” saya tak bisa mempercayai pendengaran saya. “Maksud saya, Umi sekarang tidak menggunakan obat sama sekali, dan mata Umi tidak merasa sakit?”

“Seperti mata yang normal …,” beliau menjawab tersenyum. “Tanpa obat sama sekali, tanpa ada keluhan yang muncul. Mata Umi bertahan tanpa obat selama dua bulan terakhir ini, tanpa ada rasa sakit seperti sebelumnya. Dan Umi masih terus membaca al-Qur’an, bahkan kini menjadi semakin bersemangat menyelami huruf demi hurufnya yang begitu indah.”

“Apakah kesembuhan Umi ini disebabkan niat Umi …, maksud saya niat Umi untuk membaca al-Qur’an selama mata Umi masih bisa melihat?” saya bertanya penasaran.

“Boleh jadi memang seperti itu,” beliau tersenyum. Ekspresi wajahnya memancarkan kebahagiaan dan rasa takjub yang belum hilang. “Lagi pula, bukankah dokter dan obat hanyalah perantara …. Allah-lah Yang Maha Menyembuhkan.”

Jiwa saya bergetar mendengar kisah itu. Tentu saja saya mengetahui kalau Tuhan Maha Menyembuhkan. Tentu saja kejadian semacam ini bukan perkara yang sulit bagi Allah. Tapi tetap saja cerita ini menyentuh hati dengan cara yang begitu berkesan. Rasanya seperti melihat sebuah mukjizat ditampakkan di depan mata.

Ketika obat-obatan tak mampu memberi kesembuhan, Ayat-Ayat Suci hadir sebagai penawar. Ketika dokter-dokter tak mampu mengobati, Yang Maha Menyembuhkan meneteskan rahmat-Nya. Jurang kebutaan pun membentangkan sebuah jembatan, memberi jalan pada cahaya.
Alwi Alatas
8/11/2008

Saturday, November 1, 2008

Tanyakan Saja

Ketika Randy bersama ayahnya dan anaknya Dylan hendak menaiki monorel, Dylan ingin duduk di sebelah jurumesin di muncung monorel iaitu di koc paling depan. Ayah Randy berandaian bahawa hal itu tidak mungkin dilakukan.

“Sayang sekali mereka tidak mengizinkan orang biasa duduk di situ,” kata beliau.

“Hmm,” kata Randy. “Sebenarnya, ayah, sebagai seorang pengimaginasi, saya tahu bahawa ada trik untuk boleh duduk di depan. Mahu lihat?”

Ayah Randy menjawab tentu sahaja.

Maka Randy menghampiri petugas monorel yang penuh senyum dan berkata, “Maaf, apakah kami bertiga boleh duduk di koc paling depan?”

“Tentu, tuan,” kata petugas itu. Dia membukakan pintu dan kami duduk di sebelah jurumesin. Itulah salah satu daripada segelintir saat dalam hidup Randy ketika dia melihat ayahnya benar-benar terpana.

“Tadi saya sudah katakan ada triknya,” kata Randy sambil monorel meluncur laju menuju Magic Kingdom. “Saya tidak katakan trik itu susah.”

(Diambil daripada Randy Pausch, The Last Lecture.)

Syed Alwi Alatas
Kuala Lumpur, 1 Desember 2008