Tuesday, April 6, 2010

Lima Miliarder Dunia yang Hidup Sederhana

Lima Miliarder Dunia yang Hidup Sederhana
Mereka tidak suka menghambur-hamburkan uangnya.
Selasa, 6 April 2010,

VIVAnews - Setidaknya satu kali dalam hidup, pernahkah Anda berfantasi menjadi orang yang bergelimang harta? Lantas, apa yang akan Anda lakukan dengan uang miliaran atau triliunan di tangan Anda?

Memang tidak sedikit jumlah orang kaya di planet ini. Namun percaya atau tidak, masih ada di antara orang-orang kaya dunia tersebut yang hidup relatif normal, dalam arti hidup seperti orang kebanyakan.

Rahasia "kotor" dari orang-orang kaya bersahaja ini adalah bahwa mereka tidak bertingkah laku seperti orang kaya. Mereka sibuk berhemat dan berinvestasi demi masa depan, daripada menghambur-hamburkan uang hanya untuk kepentingan sesaat.

Coba simak beberapa orang kaya bersahaja di dunia berikut ini, seperti dikutip dari laman San Francisco Chronicle, Kamis 1 April 2010.

1. Warren Buffett
Buffett adalah seorang investor sukses, pebisnis, sekaligus filantropis, dan pemilik Berkshire Hathaway. Namun, rahasia sebenarnya dari kekayaan pribadi Buffett mungkin adalah kegemarannya untuk berhemat. Pemilik harta kekayaan senilai US$47 miliar ini menjauhi rumah dan benda-benda mewah. Bersama istrinya, pria 79 tahun ini masih tinggal di rumah sederhana mereka di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat yang mereka beli dengan harga US$31.500, lebih dari 50 tahun lalu. Meski Buffett sering menikmati hidangan di restoran terbaik di berbagai belahan dunia, bila disodori pilihan, Buffett akan lebih memilih burger dan kentang goreng beserta Coke cherry dingin. Saat ditanya mengapa dia tidak memiliki sebuah kapal pesir, Buffett menjawab: "Kebanyakan mainan cuma menimbulkan rasa nyeri di leher."

2. Carlos Slim
Nama Carlos Slim belum terlalu dikenal orang bila dibandingkan dengan nama-nama besar macam Bill Gates. Namun, pria warga Meksiko ini baru saja dikukuhkan sebagai orang paling kaya sejagat, mengalahkan pendiri Microsoft tersebut. Kekayaan Slim bernilai lebih dari US$53 miliar. Meski dia bisa membeli berbagai barang mewah duniawi, Slim hampir tidak pernah memanfaatkan kesempatan itu. Seperti Buffett, Slim tidak memiliki kapal pesiar atau pesawat, dan tetap menghuni rumah yang sama sejak 40 tahun lalu.

3. Ingvar Kamprad
Kamprad, pendiri ritel furnitur terkemuka asal Swedia, Ikea. Bagi Kamprad, mencari cara untuk menghemat uang bukan hanya persoalan konsumennya, tetapi juga menjadi nilai berharga bagi dirinya sendiri. Kamprad pernah berujar, "Orang-orang Ikea tidak mengendarai mobil mencolok atau tinggal di hotel-hotel mewah." Aturan tersebut berlaku juga bagi dirinya, pendiri perusahaan ritel Ikea. Dia sering menggunakan kereta untuk mengurus bisnisnya yang tersebar di mana-mana. Untuk urusan di dalam kota, Kampard cukup memanfaatkan bus kota atau mengendarai mobilnya yang telah berumur 15 tahun, sebuah Volvo 240 GL.

4. Chuck Feeney
Feeney tumbuh besar sebagai seorang keturunan Amerika-Irlandia saat terjadi Depresi Besar di Amerika Serikat. Faktor itu bisa jadi mempengaruhi gaya hidup hemat pria kelahiran 23 April 1931 ini. Dengan motto pribadi "Saya ditakdirkan untuk bekerja keras, bukan untuk menjadi orang kaya," salah seorang pendiri Duty Free Shoppers ini diam-diam menjadi seorang miliuner dunia.

Namun, hal lain yang juga dilakukan diam-diam adalah bahwa Feeney memberikan nyaris semua kekayaannya ke yayasan kemanusiaan, Atlantic Philanthropies. Selain memberikan lebih dari US$600 miliar ke almamater Cornell University, dia juga menyumbangkan miliaran dolar ke berbagai sekolah, rumah sakit, dan badan penelitian. Feeney bahkan mengalahkan Buffett dan Kamprad dalam "kategori donasi".

Pemakai rutin fasilitas transportasi umum ini juga selalu terbang menggunakan kelas ekonomi, membeli pakaian dari toko ritel, dan tidak menghamburkan uang hanya untuk membeli rak sepatu besar. "Kita hanya bisa mengenakan satu pasang sepatu dalam satu kali kesempatan," katanya. Dia juga membesarkan anak-anaknya dengan cara normal, yakni dengan meminta mereka bekerja paruh waktu saat musim panas seperti yang dilakukan anak-anak remaja di Amerika.

5. Frederik Meijer
Toko-toko kelontong Meijer banyak tersebar di Midwest, Amerika Serikat. Nilai kekayaan Meijer mencapai lebih dari US$5 miliar, dan hampir separuh dari kekayaan itu justru ditimbun saat pendapatan bersih bisnis Meijer anjlok pada 2009.

Seperti Buffett, Meijer membeli mobil dengan harga logis dan mengendarai mobil-mobil itu sampai tidak bisa digunakan lagi. Seperti Kamprad, Meijer memilih motel-motel biasa saat bepergian untuk urusan bisnis. Dan seperti Chuck Feeney, Meijer fokus pada sesuatu yang bisa diberikan pada masyarakat, dan bukan memboroskan uang untuk kepentingan pribadi.

http://dunia.vivanews.com/news/read/141712-lima_miliarder_dunia_yang_hidup_sederhana

Monday, April 5, 2010

Persaudaraan Ekonomi


Persaudaraan Ekonomi
Alwi Alatas

Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke sebuah bengkel untuk mengganti oli mobil dan memeriksa kendaraan kalau-kalau ada bagian yang perlu diperbaiki. Ada sebuah bengkel di dekat rumah, pengelolanya orang Cina. Maklum, seperti itulah kalau tinggal di lingkungan orang-orang Cina, susah juga mendapatkan bengkel mobil yang dikelola orang Melayu di dekat tempat tinggal. Tapi tak apalah, pengelola bengkel itu masih muda dan sangat ramah. Bukan hanya ramah, ia juga tidak keberatan menjawab berbagai pertanyaan soal mobil yang ditanyakan oleh pelanggan tak berpengalaman seperti saya.

Selain mengganti oli, pekerja yang menangani mobil saya juga melakukan pemeriksaan bagian-bagian mobil lainnya. Ia mengisi air karburator, memeriksa tekanan angin pada ban dan memompa ban yang agak kempes. Saat memeriksa filter angin yang sudah kotor, ia membawanya ke dalam untuk menanyakan pada bosnya apakah filter tersebut sudah waktunya diganti. ”Bersihkan saja,” ujar bosnya setelah memperhatikan keadaan filter tersebut. Maka anak buahnya tadi segera membersihkan filter tersebut dengan menggunakan penyemprot angin. Keadaannya tentu saja masih agak kotor dan berwarna keruh, walaupun kondisinya sudah lebih baik.

Saya berdiri memperhatikan pegawai itu bekerja. Seorang pelanggan lain, seorang Cina juga, ikut berdiri di samping saya. Sambil memperhatikan mobil saya, ia mulai berbincang dengan saya. Ia bercerita kalau ia selalu memeriksa kendaraannya secara rutin di tempat itu.

“Technician kedai ini ok … dia paham dan boleh baiki semua problem kereta …,” ia berkata penuh semangat.

Lalu ia melihat filter angin mobil saya yang kotor dan sedang dipasang kembali di tempatnya. “Itu sudah kotor sekali … very dirty lah,” katanya sambil menunjuk filter tersebut. “Lebih baik kalau diganti ….”

“Perlu diganti …?” saya ragu-ragu. Jujur saja, saya belum lama memiliki mobil dan pengetahuan saya tentang mesin mobil setingkat pelajar taman kanak-kanak. Terlebih lagi, uang di kantong saya tidak begitu banyak.

”Setiap kali service saya selalu ganti baru semua yang perlu ... minyak hitam, filter angin, minyak brake ...,” ujarnya menerangkan. ”Yang penting jalan kereta kita jadi ok. We feel comfortable.”

Saya mulai terpancing kata-katanya. ”Berapa harga filter angin? Biasanya berapa lama filter itu perlu diganti?”

Pekerja yang sedang mengurus mobil saya menjawab pertanyaan saya dan menyebut harganya. Saya mulai mempertimbangkan untuk membelinya. Kebetulan uang di kantong masih cukup.

”You tak akan menyesal lah,” pelanggan di samping saya tadi. ”Semua itu akan bikin kereta jadi lebih baik ....”

Ketika bos bengkel datang menghampiri, saya tanyakan apakah filternya memang perlu diganti. ”Memang filter itu sudah kotor, dan lebih baik diganti. Tapi terpulang pada awak apakah nak tukar filter dengan yang baru atau tak.”

”Saya kira begitu lebih baik,” pelanggan yang di sebelah saya masih memberi komentar.

”Baiklah kalau begitu,” ujar saya mantap.” Saya nak tukar filter itu dengan yang baru.” Saya terpengaruh juga dengan omongan pelanggan di sebelah saya. Usianya jauh lebih tua dari saya, jadi saya tak merasa ia telah menggurui saya.

Bagaimanapun, saya merasa juga kalau si pelanggan ini sebetulnya sedang mendukung bos bengkel mobil ini. Ia terlihat sangat akrab dengan bos bengkel tersebut. Dengan menyarankan saya membeli filter baru berarti pemasukan untuk bengkel itu bertambah. Tapi pada saat yang sama saya juga tidak yakin kalau ia sedang berusaha menipu saya. Filter tersebut memang sangat kotor dan dan beberapa bagian mobil saya memang sudah perlu diganti.

Setelah selesai memperbaiki mobil, saya pun kembali ke rumah. Selama beberapa waktu berikutnya saya mengingat-ingat kejadian itu. Saya merasa kagum dengan sikap orang-orang keturunan Cina yang saling mendukung dalam berekonomi. Bahkan di antara sesama pedagang Cina biasanya juga cenderung saling mendukung. Mereka membentuk semacam persaudaraan ekonomi untuk menguatkan posisi perekonomian mereka. Tentu saja di antara mereka juga sering terjadi persaingan dan permusuhan. Tapi saat menghadapi orang lain, mereka biasanya bersatu dan saling mendukung.

Bagaimana dengan kaum Muslimin? Apakah kaum Muslimin dan para pedagang Muslim juga terbiasa melakukan hal yang sama? Barangkali sebagian pelaku ekonomi Muslim juga memiliki kecenderungan yang sama. Namun kami khawatir sikap kebalikannya yang lebih sering muncul. Saya jadi teringat dengan apa yang saya baca di buku Anne Booth, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century. Dengan mengutip dari Clifford Geertz saat menjelaskan tentang para pedagang pribumi di Kudus, ia menulis bahwa ‘sikap individualisme mereka yang berlebihan membawa pada kecemburuan ekonomi dan pertengkaran di antara sesama mereka sendiri, daripada membangun jaringan dan memberi dukungan yang saling menguntungkan yang menjadi ciri khas kaum imigran Cina.’

Saya tidak begitu paham dengan sikap individualisme yang berlebihan. Tapi rasa-rasanya masalah kecemburuan ekonomi dan konflik internal cukup mudah dipahami dan dicari contohnya. Apa yang disebutkan Geertz atau Booth di atas terjadi beberapa dekade yang lalu. Apakah hal semacam itu masih berlaku sampai sekarang ini? Wallahu a’lam. Semoga saja tidak.

Kuala Lumpur, 3 Desember 2009