Thursday, September 26, 2013

Money Changer Kehidupan

“Coba lihat itu,” saya berkata pada istri yang duduk di sebelah. Kami ketika itu sedang menunggu dipanggilnya nomor giliran di sebuah money changer yang cukup besar. Saya menunjuk ke arah dua orang perempuan, yang satu berusia sekitar 40 tahun, dan satunya lagi yang tampaknya adalah ibunya berusia lebih dari 60 tahun. Keduanya sedang berdiri menukar uang di depan pegawai money changer.

“Ada apa?” istri saya belum faham.

“Ibu yang tua itu jalannya sudah tertatih-tatih sehingga perlu dituntun oleh anaknya,” saya menerangkan.

Istri saya memperhatikan kedua perempuan itu. Tak lama kemudian, keduanya berjalan menuju ke deretan kursi untuk menunggu panggilan berikutnya. Perempuan yang tua berjalan dengan dibimbing oleh perempuan yang lebih muda. Ia berjalan dengan susah payah. Kakinya sulit digerakkan, sehingga jalannya sangat lambat. Kaca mata perempuan tua itu juga sangat tebal, mungkin ia sudah tidak bisa melihat dengan jelas.

“Betul juga,” kata istri saya saat melihat keduanya berjalan.

“Perempuan ini sudah tua, tapi dia masih saja sibuk mengurusi dunia,” ujar saya lagi kepada istri. “Bukankah lebih baik kalau dia menyibukkan diri untuk akhiratnya, terutama pada umurnya sekarang ini?”

Namun perempuan itu tampaknya keturunan Cina dan mungkin bukan Muslim. Cara berpikirnya tentu berbeda dengan cara berpikir kami.

“Tapi pada sisi lain, mungkin ada baiknya dia tetap melakukan aktivitas seperti ini,” kata saya lagi kepada istri. “Bukankah orang tua yang tidak banyak aktivitas dan tidak banyak bergerak akan cepat menjadi pikun.”

“Itu pun benar juga,” kata istri saya. “Orang tua perlu tetap beraktivitas agar jiwa dan pikirannya tetap sehat.”

Saya kemudian bebisik kepada istri saya sambil tersenyum, “Kalau begitu, kalau Allah anugerahkan kita umur panjang, kita akan tetap beraktivitas walaupun sudah berusia tua. Kita akan pergi ke bank dan money changer. Kita terus jalankan bisnis dan berinvestasi. Tapi kita melakukan itu semua sambil berzikir … subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar ….”

Istri saya tersenyum membayangkan hal itu.

Tentu saja kami tak tahu apakah akan melakukan semua itu pada usia tua atau tidak. Macam pengusaha hebat saja. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah dalam setiap aktivitas yang dilakukan jangan sampai lupa pada Allah.

Tetap menjalankan urusan duniawi yang halal hingga ke usia tua tidak masalah, tapi jangan lupakan kematian yang semakin dekat. Niatkan aktivitas duniawi itu untuk kepentingan akhirat, dan selalu basahi lisan berzikir mengingat-Nya. Dengan begitu, mudah-mudahan akhir perbuatan dan ucapan kita adalah sesuatu yang dicintai oleh-Nya, bukan yang dibenci-Nya.

Kita juga harus selalu ingat bahwa saat kita meninggal dunia, kita akan memasuki sebuah negeri yang baru, yaitu negeri akhirat. Di sana kita memerlukan ‘mata uang’ yang berbeda dengan yang ada di dunia. Orang yang hendak pergi ke negeri lain, perlu datang ke money changer untuk menukar uangnya dengan mata uang yang bisa diterima di negeri yang akan didatanginya. Seorang yang akan pergi ke negeri akhirat (kita semua akan pergi ke sana) juga perlu menukar terlebih dahulu apa yang dimilikinya di dunia dengan hal-hal yang dapat diterima di negeri yang baru itu.

Negeri akhirat tidak mengenal dollar, ringgit, ataupun rupiah, yang dikenalnya adalah buah dari amal soleh dan sedekah yang ikhlas karena-Nya. Negeri itu tak mengenal berbagai harta benda yang kita miliki sekarang, yang dikenalnya hanyalah hasil dari ketulusan menyembah-Nya. Negeri itu tak mengenal wajah yang tampan, fisik yang kuat, maupun ramainya kawan-kawan yang hebat, yang dikenalnya hanyalah lisan yang jujur dan banyak berzikir, sifat kasih sayang dan tolong menolong karena-Nya, serta hati dan jiwa yang bersih.

Negeri akhirat itulah negeri kita yang sebenarnya, bukan negeri yang sekarang ini. Kita akan pergi dan menetap seterusnya di sana. Masalahnya, kita tidak tahu kapan ‘flight’ kita akan berangkat ke sana. Mungkin beberapa puluh tahun lagi, tapi mungkin juga esok pagi. Maka tukarkan ‘uang’ yang kita miliki di dunia ini sebanyak-banyaknya untuk menyiapkan diri menuju ke negeri akhirat. Pergilah ke ‘money changer’. Kalau kita menemukan ada orang yang memerlukan pertolongan, maka itulah money changer-nya. Kalau kita memiliki waktu luang untuk beribadah, maka itulah money changer-nya. Setiap tempat dan bumi yang kita ada di atasnya atau sedang kita lalui, maka itu pun bisa menjadi money changer. Pada semua money changer itu, kita tukar harta duniawi serta berbagai aktivitas kita dengan keridhaan-Nya. Nilai tukarnya tidak akan pernah jatuh, selama keikhlasan tetap terjaga. Dengan begitu, kelak kita akan memasuki negeri akhirat dengan ‘uang’ yang mencukupi insya Allah.

Akhirnya, jangan menunggu sampai menjadi tua seperti si perempuan tua untuk pergi ke ‘money changer’. Ia berjalan dengan susah payah dan mesti dibantu orang lain. Bersiaplah sekarang juga, ‘flight’ kita mungkin akan lepas landas sebentar lagi. Wallahu a’lam.

Syed Alwi Alatas
Jakarta, 26 September 2013

Tuesday, September 24, 2013

Sebesar apa rumah kita?

Beberapa hari lalu saya bertakziah ke tempat seorang yang baru saja meninggal dunia. Orang yang wafat ini merupakan seorang pengusaha yang berhasil dan termasuk orang kaya. “Jalan masuk ke rumahnya hanya cukup untuk satu mobil,” begitu saya diberitahu, “tapi rumahnya besar sekali.”

Ketika tiba di rumahnya, saya tidak begitu memperhatikan keadaan tempat itu, karena perhatian tertuju pada orang-orang lainnya yang hadir di sana. Beberapa waktu kemudian, jenazah dibawa dengan sebuah mobil pengantar jenazah menuju ke masjid untuk disalatkan dan kemudian dibawa ke kubur. Saya sendiri tidak ikut menyalatkan di masjid dan mengantarkan ke kuburan. Saya menunggu ibu saya yang ikut bertakziah keluar dari dalam rumah untuk kemudian pulang ke rumah.

Orang-orang sudah mulai pergi meninggalkan tempat itu dan suasana menjadi lebih sepi. Ketika itu, sambil menunggu ibu, saya memperhatikan halaman serta rumah yang besar itu. Untuk sebuah rumah pribadi, tempat itu memang sangat besar. Ia memiliki bangunan tempat meletakkan mobil yang terpisah dari bangunan rumah utama. Halaman dan kebunnya juga sangat luas.

“Besar sekali rumah ini,” saya bertanya-tanya ingin tahu, “berapakah luasnya?”

“Saya dengar luasnya 1 hektar,” kata abang yang ada di sebelah saya.

Dapatkah anda membayangkan sebuah rumah pribadi, di tengah kota besar seperti Jakarta, yang luas tanahnya 1 hektar? Tentu saja Allahyarham bukan satu-satunya orang kaya yang memiliki rumah dan halaman seluas itu. Ada orang-orang kaya lainnya yang memiliki rumah pribadi dengan tanah yang luas. Tapi jumlah mereka tentu terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan kebanyakan orang yang rumahnya tidak sampai 100 atau 150 meter persegi. Masih banyak lagi yang tidak memiliki rumah sama sekali dan hanya mampu menyewa rumah.

Kalau pemilik rumah ini selalu bersyukur kepada Tuhannya atas nikmat itu, tentu ia termasuk orang yang beruntung. Ia memiliki rumah yang besar, memiliki kekayaan yang lebih dari cukup, memiliki kendaraan dan bangunan khusus untuk meletakkan kenderaannya, memiliki bisnis yang hebat, serta memiliki banyak hal lainnya. Tentu tiada alasan untuk tidak bersyukur. Tapi kita yang rumahnya kecil pun, atau belum punya rumah, jangan sampai tak bersyukur. Karena nikmat yang sedikit pun perlu disyukuri. Sekecil apa pun nikmat, di dalamnya ada tuntutan untuk bersyukur. Dan bagi orang yang bersyukur, nikmatnya akan dilipatgandakan.

Jadi begitulah, orang itu memiliki rumah yang sangat besar. Namun kini ia sudah meninggal dunia. Jenazahnya dibawa meninggalkan rumah itu, menuju ke tempat yang lain. Kemana jenazah itu dibawa? Ya, ia dibawa ke ‘rumah’ yang baru. Luas rumah yang baru itu hanya sekitar dua meter persegi, tidak lebih. Rumah barunya itu sama saja dengan rumah kita semua pada akhirnya. Orang yang tidak punya rumah selama hidupnya pun pada akhirnya akan menempati ‘rumah’ yang luasnya kurang lebih sama dengan yang ditempati si kaya.



Rumah di akhir kehidupan itu bernama kuburan. Kita semua akan masuk ke dalamnya. Kekayaan kita di dunia tidak membuat kubur itu lebih besar dan nyaman. Kekayaan amal-lah yang akan menjadikannya terang dan aman.

Jangan hanya sibuk membeli dan mengurus rumah duniawi. Kerana pada akhirnya rumah itu akan jadi milik orang lain. Persiapkan diri untuk rumah yang terakhir. Agar kelak kita tak merasa kecewa yang berpanjangan.

Syed Alwi Alatas
Jakarta, 23 September 2013

Sunday, September 22, 2013

Akhirnya ... bukan awalnya

Belum lama ini saya berjumpa dengan seorang kawan lama, sebut sahaja namanya Adi. Ia mengajak saya pergi dengan mengendarai mobilnya ke beberapa tempat di Jakarta, sambil berbincang tentang banyak hal. Kemudian kami berhenti di sebuah tempat untuk makan nasi goreng rawit.

Saat makan, ia sempat bercerita tentang dialog seorang anak dengan ayahnya. Si anak mengeluh tentang keadaan yang dihadapinya, bahwa ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia merasa tak bisa menjadi orang yang sukses dengan keadaannya itu. Ia merasa iri dengan pemuda-pemuda lain yang berasal dari keluarga kaya dan memiliki banyak hal dan kemudahan untuk sukses dalam hidup.

Ayahnya kemudian menasihati anak ini dengan sebuah kalimat, "It doesn't matter where you start. It's matter where you end."

Ini adalah sebuah kisah dan pelajaran yang sangat berharga. Kata-kata nasihat itu singkat saja, tetapi sangat dalam. Apa yang dikatakannya sangat tepat. Tidak penting di mana kamu memulai. Yang penting di mana kamu berakhir. Ramai orang yang sudah membuktikan ini. Awalnya tidak menentukan akhirnya. Orang yang awal hidupnya susah, tidak mesti akhir hidupnya juga susah. Orang yang awal hidupnya bahagia, belum tentu akhirnya juga bahagia. Ada beberapa kisah dalam buku Kalau Bisa Mudah, Mengapa Dibuat Susah? yang membuktikan kebenaran ini.


Kawan saya menyebutkan kisah itu berkenaan dengan usaha manusia dalam kehidupan di dunia. Namun, tiba-tiba saya berpikir bahwa kata-kata itu juga sebenarnya berkenaan dengan kematian. Bahkan hubungannya dengan kematian lebih penting lagi. "It doesn't matter where you start. It's matter where you end." Tidak penting di mana kamu memulai. Kita mungkin memulai kehidupan ini di keluarga miskin atau kaya. Kita mungkin memulainya di keluarga Muslim atau bukan Muslim. Kita mungkin memulainya dalam keadaan sehat atau cacat. Kita mungkin memulainya dalam keadaan bahagia atau menderita. Kita tidak memiliki kuasa atas bagian awalnya. Kita menerima takdir itu sepenuhnya. Ia bukan untuk dikeluhkan. Mengapa begitu? Karena tidak penting di mana kita memulai. Yang penting adalah di mana kita berakhir. Dan awal hidup ini tidak menentukan akhirnya. Banyak yang awal hidupnya baik, tetapi akhir hidupnya buruk, sebagaimana banyak pula orang yang awal hidupnya buruk tetapi akhirnya baik.

Awal hidup manusia ada dua saja, boleh jadi ia baik, boleh jadi ia buruk. Tapi itu tak penting. Akhir hidup manusia juga hanya dua, boleh jadi ia husnul khatimah, boleh jadi su'ul khatimah. Dan ini yang paling penting, kerana hal ini yang menjadi hasil akhirnya.

Jadi yang paling penting adalah akhirnya. Kita bertanggung jawab atas akhirnya. Dan akhir kehidupan ini adalah kematian. It's really matter how we end our life. Sehebat apa pun bagian awal dan perjalanan hidup kita, tapi jika akhirnya buruk (su'ul khatimah), maka sia-sialah semuanya.

Apa yang sudah kita lakukan untuk menghadapi akhir yang sangat penting ini? Mudah-mudahan akhir hidup kita ditutup dengan ucapan syahadat dan karenanya kita mendapat husnul khatimah. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

Rasulullah saw. bersabda, “Sesiapa yang akhir perkataannya adalah lailahaillallah, pasti dia masuk syurga.” (Riwayat al-Hakim dengan sanad hasan)

Thursday, September 19, 2013

Life may end at forty


Habib Munzir al-Musawa meninggal dunia beberapa hari lepas dalam usia lebih kurang 40 tahun.

Beberapa bulan lepas, Ustadz Jefri al-Buckhori meninggal dunia, juga dalam usia 40 tahun.

Keduanya merupakan ustadz dan pendakwah terkenal di Indonesia. Semoga Allah merahmati keduanya.

Dahulu orang mengatakan "life begins at forty". Sekarang mungkin orang berkata, "life may end at forty."

Usia saya pun sudah dekat 40. Sementara amal sangat sedikit dan dosa-dosa terlalu banyak.

Ya Allah, janganlah Engkau matikan kami melainkan dalam keadaan yang Engkau ridhai.

Wafatkanlah kami dalam husnul khatimah.

Wednesday, September 18, 2013

Syair yang menyentuh tentang kematian

Jika Tuhanku bertanya padaku
Tidak malukah kau bermaksiat pada-Ku?

Kau sembunyikan dosamu dari makhluk-Ku
Dan datang pada-Ku dengan penuh dosa

Bagaimana aku nak jawab duhai diriku yang malang?
… dan siapalah yang dapat menyelamatkan aku?

Aku terus menyogok jiwaku dengan impian
Dan harapan dari semasa ke semasa

Dan aku melupakan apa yang bakal dihadapi selepas mati
Dan apa yang akan berlaku selepas aku dikafankan

Seolah-olah aku ini telah dijamin untuk hidup selamanya
Seakan mati tidak akan menemuiku

Dan telah datang padaku sakaratul yang ngeri
Nah! Siapa sekarang yang mampu melindungiku?

Aku melihat pada wajah-wajah …
Apakah ada daripada mereka yang akan menebusku?

Aku akan disoal apa yang telah aku lakukan
Di dunia untuk menyelamatkan diri ini?

Maka bagaimana akan kujawab
Setelah aku mengabaikan urusan agamaku?

Celakanya aku! Apakah aku tak mendengar
Ayat-ayat Allah yang menyeruku?

Adakah aku tak dengar apa yang telah diberitakan
Di dalam surah Qaaf dan Yaasin?

Apakah aku tak dengar tentang hari dikumpulkan manusia
Hari perhimpunan dan hari al-Deen (Qiyamah)?

Adakah aku tak dengar panggilan ajal maut,
Menyeru dan menjemputku?

Maka Ya Rabb! Seorang hamba datang bertaubat,
Siapa yang dapat melindunginya?

Melainkan Tuhan yang Maha Luas pengampunan-Nya
Yang membimbingku pada kebenaran?

Aku telah datang pada-Mu maka kasihanilah daku
Dan beratkan timbangan (kebaikan) ku

Dan ringankan (percepatkan) hisabku
Kerana Engkaulah yang terbaik dalam penghisaban