Thursday, September 27, 2012

Kegagalan boleh menjadi manis

Beberapa hari lepas ada seorang yang mengirim pesan pada saya bahawa ia baru saja membeli buku Mudahkan Jangan Susahkan. Beliau sedang bersedih kerana bisnisnya mengalami kerugian dan pening kerana tak bisa mengembalikan uang pinjaman. Saya doakan semoga beliau diberi kemudahan. Saya ceritakan bahawa di dalam buku Mudahkan Jangan Susahkan ada kisah seorang kawan yang juga gagal dalam bisnis. Perusahaannya bangkrut. Hutangnya mencapai 7 miliar rupiah, atau setara dengan 2.3 juta ringgit. Ia sempat didatangi debt collector, dilaporkan kepada polisi. Walaupun sangat tertekan, ia menghadapi semua itu. Ia tidak lari dari masalah. Kini ia memulai bisnis lagi dari bawah. Dan beberapa bulan lepas saya perhatikan secara perlahan ia sudah mulai bangkit kembali.


Gagal dalam berusaha memang biasa terjadi. Walaupun hal itu menimbulkan kesusahan yang besar, janganlah sampai berputus asa. Yang penting kita bisa belajar dari kegagalan yang dialami. Jangan sudah gagal tak belajar apa-apa pula. Rugi dua kali jadinya.

Kegagalan itu memang pahit. Tetapi ia dapat membantu menciptakan rasa manis. Bukankah selepas mengecap rasa pahit, hal-hal lainnya akan terasa lebih manis?

Semoga buku Mudahkan Jangan Susahkan dapat menghibur beliau yang sedang menghadapi kesusahan dan kegagalan bisnis. Semoga selepas ini beliau bisa bangkit semula dan berjaya.

Dokter dan Pasien


Seorang pasien mengeluh pada dokter, “Saya menderita sakit putus asa setiap kali terjangkit musibah.”

Dokter menuliskan resep untuknya: “Sabar – langsung telan pada menit pertama terkena jangkitan musibah!”

Pasien berikutnya masuk. “Saya merasa sangat tidak sehat, tapi semua dokter mengatakan kesehatan saya baik-baik saja.”

Dokter memberikan resep untuknya: “Syukur – tiga kali sehari. Konsumsi perlahan dan biarkan meresap dalam tubuh dan pikiran.”

Tersembunyi, tetapi ada dan sangat penting

Alwi Alatas

Kita semua pernah mendengar perkataan ruh atau roh. Tetapi mungkin tidak banyak mengetahui tentangnya, karena kita memang tak diberi pengetahuan yang mendalam tentang hal ini. Seperti yang dikatakan di dalam al-Qur’an: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (QS 17: 85). Walaupun sedikit yang diketahui tentangnya, bukan berarti ia tidak penting.

Saat berkunjung ke Pekanbaru, Riau, di bulan Ramadhan lalu, saya mendengar sebuah ceramah yang sangat bagus tentang ruh dari Dr. Mustafa Umar, seorang ulama muda yang biasa mengisi taklim di Pekanbaru dan juga di Malaysia. Beliau menjelaskan bahwa setiap kata dalam bahasa Arab yang terdiri dari huruf ra’, waw, dan ha mengandung makna ‘yang tak nampak’, ‘tersembunyi’, tetapi ‘ada dan keberadaannya sangat penting dan menentukan’.

Kata riih (angin), misalnya, terdiri dari ketiga huruf ini: ra’, waw, dan ha. Angin merupakan sesuatu yang tak nampak, tetapi ia ada dan keberadaannya penting. Ia membantu kehidupan manusia dalam banyak hal, walaupun kadang-kadang juga dapat menimbulkan kerusakan. Ia tak kelihatan, tetapi keberadaannya menentukan. Demikian juga dengan kata ruh yang juga terdiri dari ketiga huruf tersebut. Ruh tak nampak, tersembunyi, tetapi ada dan sangat penting. Manusia tak boleh hidup tanpa ruh. Posisi ruh bagi manusia bahkan lebih penting daripada jasad.

Selain itu masih ada lagi contoh yang lain. Jika mendapat musibah, kita dilarang berputus asa dari rahmat Allah, karena “sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" (QS 12: 87). Nah, kata ‘rahmat’ pada ayat di atas (rawhillah) ternyata juga menggunakan ketiga huruf ini: ra’, waw, dan ha. Berarti ia tak nampak; ia tersembunyi. Walaupun begitu, ia ada dan keberadaannya sangat penting.


Ketika kita mendapat musibah dan kesusahan, serta hampir berputus asa karena tidak melihat jalan keluar, kita perlu ingat dengan makna ini. Jalan keluar itu memang tak nampak, rahmat dan pertolongan Allah itu memang tersembunyi dari pandangan, sehingga membuat sebagian manusia cenderung berputus asa. Tetapi sebenarnya ia ada. Bukan hanya ada, keberadaannya juga sangat penting dan menentukan. Ia akan muncul pada waktunya dan memberi keselamatan. Kalau kita tidak melihatnya pada saat ini, bukan berarti ia tak ada. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk berputus asa jika kita benar-benar beriman.

Ini adalah sebuah makna yang indah. Bukankah begitu? Hal ini juga mengisyaratkan bahwa semua masalah tentu ada jalan keluarnya. Jalan keluar itu tersembunyi, tetapi ia ada dan akan menjadi faktor penting yang dapat mengubah keadaan kita dari kesusahan kepada kemudahan dan keberhasilan. Insya Allah.

Kuala Lumpur,
26 Syawal 1433 H/ 13 September 2012

http://www.facebook.com/pages/Senyumlah-Apa-pun-masalahmu-Ia-pasti-akan-berlalu/116783405069645

http://www.facebook.com/MudahkanJanganSusahkan

Tuesday, January 17, 2012

Tidak Mengeluh, Tidak Menyerah


“Melayang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah.” Kalimat itu menjadi sebuah trademark yang menggambarkan gaya bertinju Muhammad Ali. Petinju (boxer) legendaris yang terkenal dengan julukan ‘The Greatest’ itu – terbesar di antara para petinju dan olahragawan tentunya – kini telah berusia tujuh puluh tahun. Balutan usia dan deraan penyakit Parkinson seolah tak mampu memudarkan namanya. Banyak orang masih melihatnya sebagai sosok olahragawan terbesar. Ia merupakan satu-satunya petinju yang pernah merebut gelar juara kelas berat sebanyak tiga kali. Beberapa pertandingannya dianggap legendaris dan terus diingat dalam sejarah tinju kelas berat. Ali memulai karir profesionalnya pada tahun 1960 dan pensiun pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1984, tak lama setelah berhenti dari dunia tinju professional, Ali dinyatakan menderita Parkinson. Walaupun didera penyakit, ia tetap menjalani banyak aktivitas sosial dan kemanusiaan hingga sekarang ini.

Ali masuk Islam dan bergabung dengan Nation of Islam pimpinan Elijah Muhammad pada tahun 1964. Ia mengganti namanya dari Cassius Clay menjadi Muhammad Ali. Tentang nama barunya ini ia mengatakan, "Cassius Clay is a slave name. I didn't choose it and I don't want it. I am Muhammad Ali, a free name - it means beloved of God, and I insist people use it when people speak to me and of me" (http://www.mirror.co.uk/news/editors-picks/2012/01/17/muhammad-ali-at-70-magic-moments-from-the-louisville-lip-115875-23703770/). Sebelas tahun kemudian ia keluar dari Nation of Islam dan menjadi seorang Muslim Sunni. Belakangan ini ia mendalami tasawuf.

Seperti dikatakan salah seorang putrinya, Maryum, Muhammad Ali bukanlah seorang yang sempurna (bukankah kita semua juga seperti itu?). Hal itu akan tampak saat seseorang memperhatikan pernikahan dan kehidupan rumah tangganya, terutama pada tahun 60-an hingga 80-an. Beberapa artikel menyebutkan bahwa ia merupakan seorang Muslim yang saleh. Lebih dari itu, kita tidak mengetahui kehidupan pribadi dan keislamannya secara mendalam. Hanya saja ada sesuatu yang mengesankan saat membaca sebuah berita pendek tentang Ali di umurnya yang ketujuh puluh tahun. Walaupun sudah lama meninggalkan kebesarannya di ring tinju dan lebih dari seperempat abad didera penyakit Parkinson, ia digambarkan tak pernah mengeluh ataupun meratapi nasibnya. Ia mendapatkan kedamaian dalam keislamannya dan menerima semua takdir yang dialaminya, termasuk penyakitnya. Menjalani penyakit Parkinson selama dua puluh tujuh tahun tentu merupakan sebuah penderitaan yang panjang dan menyiksa. Tapi apa yang dikatakannya tentang itu semua? “He would always say,” jelas Maryum, anaknya, “I’d rather suffer now than in the hereafter” (Star, Tuesday 17 January 2012).

Sebagaimana ia tak pernah mau menyerah dalam menghadapi lawan di ring tinju, ia pun tak mau mengeluh dan menyerah karena penyakitnya. Walaupun penyakit itu membuatnya sulit bergerak dan berbicara, ia tetap berusaha memberikan yang terbaik kepada sesama Manusia. Tidak mengeluh dan tidak menyerah merupakan implementasi dan konsekuensi yang indah dari kesabaran.

Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi besar hanya karena pandai memukuli lawan dan menjatuhkannya di dalam berbagai pertandingan. Yang membuatnya besar adalah sikap yang dimilikinya. Dan itulah yang membuat Muhammad Ali menjadi seorang legenda.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
23 Safar 1433/ 17 Januari 2012