Tuesday, January 17, 2012
Tidak Mengeluh, Tidak Menyerah
“Melayang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah.” Kalimat itu menjadi sebuah trademark yang menggambarkan gaya bertinju Muhammad Ali. Petinju (boxer) legendaris yang terkenal dengan julukan ‘The Greatest’ itu – terbesar di antara para petinju dan olahragawan tentunya – kini telah berusia tujuh puluh tahun. Balutan usia dan deraan penyakit Parkinson seolah tak mampu memudarkan namanya. Banyak orang masih melihatnya sebagai sosok olahragawan terbesar. Ia merupakan satu-satunya petinju yang pernah merebut gelar juara kelas berat sebanyak tiga kali. Beberapa pertandingannya dianggap legendaris dan terus diingat dalam sejarah tinju kelas berat. Ali memulai karir profesionalnya pada tahun 1960 dan pensiun pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1984, tak lama setelah berhenti dari dunia tinju professional, Ali dinyatakan menderita Parkinson. Walaupun didera penyakit, ia tetap menjalani banyak aktivitas sosial dan kemanusiaan hingga sekarang ini.
Ali masuk Islam dan bergabung dengan Nation of Islam pimpinan Elijah Muhammad pada tahun 1964. Ia mengganti namanya dari Cassius Clay menjadi Muhammad Ali. Tentang nama barunya ini ia mengatakan, "Cassius Clay is a slave name. I didn't choose it and I don't want it. I am Muhammad Ali, a free name - it means beloved of God, and I insist people use it when people speak to me and of me" (http://www.mirror.co.uk/news/editors-picks/2012/01/17/muhammad-ali-at-70-magic-moments-from-the-louisville-lip-115875-23703770/). Sebelas tahun kemudian ia keluar dari Nation of Islam dan menjadi seorang Muslim Sunni. Belakangan ini ia mendalami tasawuf.
Seperti dikatakan salah seorang putrinya, Maryum, Muhammad Ali bukanlah seorang yang sempurna (bukankah kita semua juga seperti itu?). Hal itu akan tampak saat seseorang memperhatikan pernikahan dan kehidupan rumah tangganya, terutama pada tahun 60-an hingga 80-an. Beberapa artikel menyebutkan bahwa ia merupakan seorang Muslim yang saleh. Lebih dari itu, kita tidak mengetahui kehidupan pribadi dan keislamannya secara mendalam. Hanya saja ada sesuatu yang mengesankan saat membaca sebuah berita pendek tentang Ali di umurnya yang ketujuh puluh tahun. Walaupun sudah lama meninggalkan kebesarannya di ring tinju dan lebih dari seperempat abad didera penyakit Parkinson, ia digambarkan tak pernah mengeluh ataupun meratapi nasibnya. Ia mendapatkan kedamaian dalam keislamannya dan menerima semua takdir yang dialaminya, termasuk penyakitnya. Menjalani penyakit Parkinson selama dua puluh tujuh tahun tentu merupakan sebuah penderitaan yang panjang dan menyiksa. Tapi apa yang dikatakannya tentang itu semua? “He would always say,” jelas Maryum, anaknya, “I’d rather suffer now than in the hereafter” (Star, Tuesday 17 January 2012).
Sebagaimana ia tak pernah mau menyerah dalam menghadapi lawan di ring tinju, ia pun tak mau mengeluh dan menyerah karena penyakitnya. Walaupun penyakit itu membuatnya sulit bergerak dan berbicara, ia tetap berusaha memberikan yang terbaik kepada sesama Manusia. Tidak mengeluh dan tidak menyerah merupakan implementasi dan konsekuensi yang indah dari kesabaran.
Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi besar hanya karena pandai memukuli lawan dan menjatuhkannya di dalam berbagai pertandingan. Yang membuatnya besar adalah sikap yang dimilikinya. Dan itulah yang membuat Muhammad Ali menjadi seorang legenda.
Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
23 Safar 1433/ 17 Januari 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
“I’d rather suffer now than in the hereafter”
:)
Post a Comment