Thursday, May 30, 2013

Bakat dan Keprihatinan Iqbal al-Assaad

Tidak semua orang yang berbakat memiliki cita-cita tinggi, sehingga bakatnya itu dapat memberinya manfaat yang besar. Tak semua yang bercita-cita tinggi memiliki bakat yang ideal untuk mencapai keinginannya. Tapi kalau cita-citanya cukup kuat, ia tentu dapat juga mencapai cita-citanya itu. Kalau bakat yang besar bertemu dengan cita-cita yang tinggi, maka hasilnya tentu akan menakjubkan, seperti yang dapat kita lihat pada seorang perempuan Muslimah bernama Iqbal al-Assaad.

Iqbal adalah seorang gadis Lebanon keturunan Palestina yang berjilbab rapi. Umurnya baru dua puluh tahun, tapi ia sudah menjadi seorang dokter medis. Ia adalah lulusan termuda di Weill Cornell Medical College, sebuah sekolah kedokteran bergengsi di Qatar. Sebenarnya, ia termasuk pelajar paling muda di dunia yang pernah lulus dari sekolah kedokteran.

Bakatnya memang telah terlihat sejak masih kecil. Saat masih kanak-kanak, ia mulai belajar Aljabar dengan memperhatikan saudara-saudaranya yang lebih tua belajar. Ia adalah anak paling kecil dari empat bersaudara di keluarga yang sangat menghargai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada umur dua setengah tahun ia belajar sendiri menghitung satu hingga sepuluh dalam bahasa Arab dan Inggris. Pada umur lima tahun ia sudah masuk sekolah bersama dengan anak-anak yang umurnya dua tahun lebih tua darinya. Pada usia sedini ini, yang menjadi hobinya dalam mengisi waktu luang adalah membaca buku dan memecahkan persoalan Matematika.



Pada umur sembilan tahun, ia lulus ujian kenaikan tingkat kelas sembilan (di Indonesia mungkin setara dengan kelas tiga SMP) yang biasanya diikuti oleh anak berumur empat belas tahun. Ia melompati tingkatan demi tingkatan kelas di sekolahnya seolah hal itu semudah melompat pada permainan yang biasa dilakukan oleh anak-anak.

Keluarga Iqbal memang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka semua menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi dan dalam usia yang relatif muda. Tetapi di antara semuanya, Iqbal memang memiliki bakat yang paling menonjol. Karena itu ayahnya mempersiapkan pendidikan anaknya yang satu ini dengan sebaik mungkin.

Selain keluarganya, Iqbal juga mendapat dukungan dari kementerian pendidikan Lebanon yang mengetahui bakat dan potensinya. Iqbal dapat mengikuti ujian kelulusan di kelas sembilan atas rekomendasi dari lembaga ini. Saat mengetahui anak yang berbakat ini ingin menjadi dokter, kementerian pendidikan Lebanon meminta bantuan kepada Sheikha Mozah, first lady Qatar, yang kemudian memberi Iqbal full scholarship di Weill Cornell Medical College serta membantu Iqbal dan ibunya pindah ke Qatar. Umur Iqbal ketika itu baru dua belas tahun.

Walaupun masih sangat muda, Iqbal tidak merasa canggung berada di lingkungan mahasiswa yang kebanyakan usianya sepuluh tahun lebih tua dari dirinya. “Saya tidak merasa saya lebih muda dari para pelajar lainnya – sejak berumur lima tahun saya sudah biasa (belajar) bersama para pelajar yang umurnya lebih tua dari saya,” katanya. Teman-teman kuliahnya juga tidak memperlakukannya berbeda. Iqbal bukan hanya cerdas, ia juga matang dan dewasa. Hal ini diakui oleh salah satu profesor yang mengajarnya di kampus itu. “Hanya dengan mengamati ia berinteraksi dengan para pelajar yang lain, kamu tidak akan mengetahui bahwa ia berusia lebih muda,” kata Prof. Marco Ameduri. “Sebenarnya,” katanya lagi, “saya melihatnya sebagai seorang pemimpin pelajar, menghimpun para pelajar bersama-sama, membentuk kelompok studi, dan hal-hal semacamnya.”

“Sungguh sangat mengesankan memilikinya di dalam kelas,” Profesor Ameduri melanjutkan, “seorang pelajar yang begitu muda dan pada saat yang sama begitu matang dan mampu mengatasi kurikulum yang sangat menantang.” Dan kini ia telah menyelesaikan kuliah kedokterannya dalam usia yang sangat belia.

Banyak orang yang memiliki cita-cita yang tinggi, tapi kadang cita-cita itu bersifat egois, hanya untuk kepentingan diri sendiri saja. Mengapa ingin jadi dokter? Karena dokter adalah profesi yang sangat menjanjikan. Kehidupan seorang dokter dapat dikatakan sangat terjamin. Dengan kata lain, itu adalah profesi yang cepat mendatangkan uang. Tapi tentu tidak semua calon dokter berpikiran seperti ini. Tidak semua orang bersifat egois dalam mengejar cita-citanya. Dan Iqbal termasuk yang seperti ini.

Apa yang mendorong Iqbal untuk menjadi seorang dokter? Motivasi awalnya adalah karena rasa prihatin yang dirasakannya terhadap orang-orang Palestina yang berada di pengungsian. Dalam wawancara dengan Nature Middle East, Iqbal bercerita, “Saya memutuskan untuk menjadi dokter ketika saya berusia dua belas tahun. Tumbuh sebagai seorang Palestina dan tinggal di Lebanon, saya menyaksikan banyak penderitaan di tengah masyarakat saya, karena orang-orang Palestina di Lebanon tidak memiliki asuransi kesehatan. Saya dan keluarga mengunjungi kemah-kemah (pengungsian) dan melihat betapa buruknya kondisi di sana. Saya menyaksikan banyak orang tua yang melihat anak-anak mereka menderita, tetapi mereka tidak mampu menolong karena mereka tidak memiliki uang untuk itu. Kunjungan ke kemah-kemah pengungsian ini membuat saya merasa bahwa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk belajar kedokteran dan berusaha menolong orang-orang ini. Kebanyakan mereka bahkan tidak mampu mengupayakan pengobatan yang mereka perlukan.”

Muda, berbakat, serta bercita-cita tinggi dan mulia, Iqbal al-Assaad menunjukkan kepada kita apa yang perlu dimiliki dan diusahakan oleh seorang Muslim. Mudah-mudahan ia dapat mewujudkan keinginannya yang mulia itu serta menebar kebaikan pada ummat.

Kebanyakan kita tidak memiliki bakat seperti yang dimiliki Iqbal. Bahkan kebanyakan kita mungkin merasa bahwa dirinya tidak memiliki bakat tertentu. Jangan terlalu pesimis dalam hidup ini. Jangan mengeluh atas keadaan. Bakat bukanlah segala-galanya. Kalau cita-cita kita cukup besar dan mulia, dan jika Allah berkehendak, insya Allah kita akan sampai pada apa yang dicita-citakan. Mungkin tidak secepat Iqbal al-Assaad, tapi belum tentu lebih sedikit kontribusinya bagi orang banyak.

Jadi jangan mengeluh. Syukuri apa yang ada dan gunakan dengan sebaik mungkin. Bersabarlah dalam mengejar cita-cita yang baik. Dan serahkan selebihnya pada Allah.

Alwi Alatas,
Kuala Lumpur
21 Rajab 1434/ 31 Mei 2013

Thursday, May 16, 2013

Belajar dari Kesalahan

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, sehebat apa pun manusia itu. Manusia itu selalu berbuat salah dan lupa. Tentu saja manusia harus berusaha untuk menghindari kesalahan. Walaupun begitu, tetap saja ia akan berbuat salah juga, terlebih lagi dalam hal yang ia belum memiliki pengalaman. Orang yang sudah berpengalaman saja masih bisa berbuat salah, apalagi yang masih baru dan belum ada pengalaman.

Sikap manusia terhadap kesalahan bermacam-macam. Tidak sedikit manusia yang tidak bisa menerima adanya kesalahan, baik yang ia lakukan sendiri ataupun yang dilakukan orang lain. Ada sebagian orang yang menyesal berlebihan dan berputus asa ketika dirinya melakukan suatu kesalahan yang serius. Ia akan terus menerus menyalahkan dirinya serta memutuskan untuk mundur dan tidak mau mencoba lagi.



Begitu juga terhadap kesalahan orang lain, tidak sedikit yang menyikapinya dengan marah dan sikap tidak dapat menerima. Kita menjumpai hal semacam ini di banyak tempat: di rumah, di sekolah, di kantor (office), atau di tempat-tempat lainnya. Di sekolah kita menjumpai guru-guru yang tak dapat menerima kesalahan yang dilakukan oleh muridnya. Mereka akan terus marah-marah atau memberikan hukuman pada para pelajar yang berbuat salah. Tentu saja tidak ada yang menginginkan atau membenarkan adanya kesalahan. Tetapi apakah kemarahan dan hukuman yang berlebihan lantas membuat para pelajar itu berubah?

Di kantor kita juga menjumpai atasan yang sering marah-marah. Ia tak mau mendengar adanya suatu kesalahan walaupun kecil. Padahal ini mustahil. Para pekerja memang harus berusaha bekerja dengan sempurna. Tetapi bekerja tanpa kesalahan sama sekali sepanjang tahun jelas tidak mungkin. Ditegur karena kesalahan memang sudah sepatutnya. Tapi yang terpenting adalah, apakah ada proses pembelajaran dari kesalahan itu.

Ada kalimat menarik dalam buku The Monk Who Sold His Ferrari. Biksu dalam cerita itu mendapat nasihat dari gurunya: “There are no mistakes in life, only lessons. There is no such thing as a negative experience, only opportunities to grow.” Tidak ada kesalahan dalam hidup, yang ada hanya pelajaran. Tidak ada yang namanya pengalaman negatif, yang ada hanya peluang untuk berkembang.

Kalimat ini berlebihan. Kesalahan dalam hidup tentu saja ada. Salah adalah salah dan benar adalah benar. Tetapi kesalahan akan menjadi sesuatu yang berharga dan bermanfaat ketika disadari, diperbaiki, dan diambil sebagai pelajaran. Demikian juga dengan pengalaman negatif. Ketika pengalaman yang buruk ini dijadikan sebagai guru, maka ia akan membantu seseorang untuk berkembang. Tapi kesalahan yang tidak disadari dan tidak diperbaiki, maka ia akan membawa pada kejatuhan seseorang.

Kesalahan terbesar itu adalah ketika seseorang melakukan kesalahan dan ia tidak belajar apa-apa darinya.

Kesalahan dalam hidup memiliki fungsi yang penting, yaitu fungsi pembelajaran. Ia bukannya sesuatu yang sia-sia. Demikian juga dengan pengalaman yang buruk. Ia berfungsi untuk membantu seorang tumbuh dan menjadi kuat. Seorang tidak mungkin belajar dalam hidup ini melainkan ia akan mengalami kesalahan. Kesalahan itulah yang akan membuat seseorang semakin matang dan mampu melakukan sesuatu semakin baik dan semakin sempurna. Beda orang yang sukses dengan orang yang gagal adalah orang sukses menjadikan kesalahan dan pengalaman buruk sebagai gurunya, sementara orang yang gagal tidak.



Pentingnya hal ini mengingatkan kita pada dialog antara seseorang dengan seorang pengusaha yang sangat berhasil.

“Apa yang membuat anda sangat berhasil?” orang itu bertanya pada si pengusaha.

“Dua kata,” jawab si pengusaha.

“Apa itu?”

“Keputusan yang tepat.”

“Apa yang membuat anda mampu membuat keputusan yang tepat?” tanya orang itu lagi.

“Satu kata,” jawab si pengusaha.

“Apa itu?”

“Pengalaman.”

“Bagaimana caranya untuk memiliki pengalaman semacam itu?” tanyanya lagi.

“Dua kata,” jawab si pengusaha.

“Apakah itu?”

“Keputusan yang salah.”

Jadi itulah awalnya: kesalahan. Semua bermula dari ketidaktahuan, kesalahan, dan minimnya pengalaman. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan belajarnya seseorang dari kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya, maka ia pun muncul sebagai pribadi yang hebat dan tangguh.

Jadi silahkan menyesali kesalahan yang telah dibuat, silahkan juga menasihati orang lain yang telah melakukan kesalahan, tapi jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan terbesar yang disediakan oleh kesalahan, yaitu kesempatan untuk mengambil pelajaran darinya.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur
7 Shafar 1434/ 17 Mei 2013

Monday, May 13, 2013

Takdir: Antara sikap fatalistik dan free will

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Takdir merupakan salah satu hal yang tidak mudah untuk dipahami. Banyak manusia yang tergelincir dan jatuh ke dalam kesalahan karena salah dalam memahami takdir. Ada yang memandang bahwa manusia tidak memiliki ikhtiar (pilihan), yaitu tidak dapat berusaha dalam hidupnya karena segala sesuatunya telah ditentukan. Ia hanya seperti wayang (puppet) di tangan seorang dalang. Karena itu, maka tidak ada yang perlu dilakukan dalam hidup. Pasrah saja. Kalau kemudian ia jadi orang jahat maka takdir-lah yang salah, karena ia tidak mampu memilih dalam hidupnya. Takdir-lah yang membuatnya jadi seperti itu. Ini merupakan sikap fatalistik.

Sebaliknya, ada yang menganggap manusia memiliki kehendak mutlak (free will). Ia dapat memilih dan berusaha apa pun, dan tak ada yang dapat menghalanginya, termasuk takdir. Ia percaya bahwa ia sendirilah yang menentukan takdirnya, bukan Tuhan. Jadi berhasil atau tidaknya seorang dalam usahanya mencapai sesuatu ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh selainnya.



Namun para ulama telah menjelaskan bahwa pendapat yang tepat adalah yang pertengahan di antara dua pendapat yang ekstrim ini. Ini seperti yang dijelaskan oleh al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Membuka Rahasia Ilahi:

Sesungguhnya yang berpendapat bahwa seorang hamba tidak mempunyai ikhtiar dan kemampuan atas segala sesuatu, dan perbuatan ikhtiarnya seperti pemaksaan, maka mereka adalah kaum bid’ah yang dinamakan Jabari. Pendapat yang sesat ini telah dibantah dan dibatalkan dengan dalil manfaat pengutusan seorang rasul dan diturunkannya kitab suci.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemandirian mutlak pada kehendak dan kemampuannya dalam berikhtiar, mereka juga kaum bid’ah yang dinamakan mu’tazilah.

Yang lain berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan dan ikhtiar yang dengannya dapat melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kemampuan dan ikhtiar itu tidak mandiri secara mutlak. Manusia juga tidak menciptakan kemampuan dan ikhtiarnya. Kelompok terakhir inilah yang telah selamat dari bid’ah dan dinamakan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Masalah ini memerlukan penjelasan yang panjang dan berkelok-kelok yang mungkin membuat seseorang tersesat di dalamnya. Di dalamnya terdapat rahasia ketetapan Allah yang banyak membingungkan akal manusia. Sayyid Al-Mursalin Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang manusia untuk terlalu menyelami dalam membicarakan masalah ini.


Jadi yang pertengahan inilah yang tepat dan indah. Manusia memiliki kemampuan dan ikhtiar. Ia memiliki kemampuan untuk memilih tindakannya dan untuk berusaha dalam hidupnya. Tetapi kemampuannya itu tidak mutlak. Kemampuan itu juga berasal dari Allah. Hasil dari usahanya juga tidak mutlak, kerana bukan ia yang menjadi penentu akhirnya.

Bagi orang yang pasrah berlebihan dalam hidupnya dan tidak mau berusaha dengan alasan takdir, maka sebaiknya ia mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

1. Allah telah mengutus Rasul dan menurunkan Kitab Suci

Ini seperti yang telah disebutkan oleh Habib Abdullah bin Alwi di atas. Diutusnya Rasul dan diturunkannya Kitab Suci tentu memiliki manfaat. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkin Allah mengadakan kedua hal ini. Kalau manusia tidak memiliki sebarang daya untuk memilih, maka tidak ada gunanya diutus seorang Rasul. Justru dengan diutusnya Rasul itu, maka sebagian manusia memilih untuk mengikutinya dan sebagian yang lainnya memutuskan untuk menentangnya. Dan masing-masing akan menerima ganjaran berdasarkan pilihannya sendiri.

Makhluk selain manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Hewan-hewan tidak memiliki ikhtiar seperti yang dimiliki manusia. Karena itu kita tidak pernah mendengar ada Nabi atau kitab petunjuk tertentu yang diturunkan ke tengah-tengah hewan. Hewan-hewan itu tidak dihadapkan pada pilihan untuk taat atau ingkar pada Tuhannya. Mereka semua hidup dengan tunduk pada Tuhannya dan selalu mengikuti fitrahnya.

Namun manusia berbeda. Dia diberi kemampuan untuk memilih. Maka kepadanya diutus seorang Rasul dan ia diperintahkan untuk menyambut seruannya berdasarkan kemampuan memilih yang ia miliki. Dengan ikhtiar ini, sebagian manusia memilih untuk menerima petunjuk Allah, sementara sebagian yang lain menolaknya.

2. Kita diarahkan untuk berusaha dan berdoa

Kita diberi kemampuan untuk berusaha. Kita juga diperintah untuk berdoa, meminta apa pun yang baik pada Allah. Sudah tentu usaha dan doa ini memiliki manfaat. Kalau tidak, maka tidak ada gunanya kita berusaha ataupun berdoa. Kalau usaha dan doa memiliki manfaat, berarti manusia memiliki kemampuan untuk mencapai hal-hal tertentu dalam hidupnya dan untuk mencapai kedudukan tertentu di akhirat. Ini tidak seperti yang dikatakan orang yang pasrah secara mutlak dan menganggap dirinya dipaksa oleh takdir.

Manusia memang memiliki kemampuan, tetapi kemampuannya ini tidak mutlak seperti yang dipercayai oleh segolongan manusia. Manusia tidak memiliki kehendak mutlak (free will). Ia memang memiliki kehendak dan kemampuan, tetapi kehendak dan kemampuannya itu ada batasnya.



Dalam satu kesempatan, saya pernah membahas persoalan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Ketika Allah Menguji Kita (Malaysia: Bila Allah Menduga Kita). Saat tanya jawab, ada seorang peserta yang rupanya kurang setuju dengan penjelasan saya. Ia mengatakan pada saya bahwa menurut yang ia pahami, manusia memiliki kehendak mutlak (free will) untuk menentukan apa pun dalam hidupnya. Untuk menjawabnya, saya berikan kepadanya argumen seperti di bawah ini:

1. Kepastian hasil

Saya bertanya kepadanya, “Ketika manusia menghendaki sesuatu, apakah ia dapat memastikan hasilnya secara mutlak? Apakah ia dapat memastikan bahwa semua kehendaknya pasti terwujud sesuai dengan apa yang direncanakannya?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Kalau ia tak dapat memastikan hasilnya secara mutlak, maka siapa yang sesungguhnya menentukan hasil itu? Kalau manusia tidak bisa memastikan kehendaknya pasti terwujud sesuai yang ia rencanakan, maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa ia memiki kehendak mutlak (free will)? Bahwa ia memiliki kehendak itu betul, tapi dimana letak kemutlakannya?

Manusia memang tak dapat memastikan hasil usahanya secara mutlak. Karena penentu akhirnya adalah Allah. Manusia memang memiliki pilihan dan kehendak, tapi hal ini dibatasi oleh kehendak Allah. Allah-lah yang menentukan hasil akhirnya, dan insya Allah Dia memilihkan yang paling tepat dan paling baik bagi hamba-Nya.

Kepada pembaca tulisan ini, saya menambahkan satu argumen lagi.

2. Ucapan insya Allah

Ketika kita menghendaki sesuatu, apakah kita mengatakan, “Hal itu akan terwujud dengan izin saya,” atau kita akan mengatakan, “Hal itu akan terwujud dengan izin/ kehendak Allah.” Kita tentu akan mengatakan kalimat yang kedua. Kita biasanya mengucapkan in sya Allah ‘jika Allah menghendaki.’ Ini pun menunjukkan terbatasnya kehendak dan kemampuan kita.

Kalau ada yang memilih perkataan yang pertama bahwa hal itu akan terwujud dengan izinnya sendiri, maka sejak kapan ia memiliki kemampuan untuk mengizinkan terjadi atau tidaknya sesuatu? Kalau ada yang merasa bahwa hal semacam ini mungkin saja dimiliki manusia dalam hidupnya, maka mengapa manusia masih mengenal yang namanya kegagalan? Kalau ini benar, orang-orang yang memiliki pemahaman ini tentu tidak akan pernah gagal dalam hidupnya. Tapi coba tanyakan pada mereka, apakah mereka tak pernah gagal dalam hidup? Apakah semua yang mereka rencanakan pasti terwujud? Kenyataannya tidak. Para pakar berpikir positif yang paling optimis sekalipun, jika ia jujur, tentu akan mengakui bahwa kehendak yang dimiliki seorang manusia, walaupun kehendak itu dianggap powerful, tidak dapat dipastikan keberhasilannya secara mutlak.

Jadi ambillah pendapat yang pertengahan. Gunakan pilihan dan kehendak dengan sebaik mungkin, tapi jangan lupa untuk selalu menyandarkan diri pada Yang Maha Menentukan segala sesuatu.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
4 Rajab 1434/ 14 May 2013

Sunday, May 12, 2013

Diam’s

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Ada seorang penyanyi rap di Perancis. Ia seorang perempuan kelahiran tahun 1980 dan bernama Melanie Georgiades atau lebih terkenal dengan sebutan Diam’s. Ia memulai karirnya sebagai penyanyi rap pada tahun 1998, ketika usianya masih 19 tahun. Pada tahun 2003, lagunya masuk ke dalam senarai top 10. Ia semakin mengukuhkan karirnya pada tahun-tahun selepas itu.

Beberapa lagunya menempati urutan teratas daftar lagu terpopuler di Perancis dan ada yang terjual sebanyak 50,000 copy pada minggu pertama dikeluarkan. Albumnya yang bertajuk Dans Ma Bulle menjadi album dengan jualan terbaik di Perancis pada tahun 2006 dan mencapai status diamond kerana terjual lebih dari satu juta copy. Diam’s juga menerima penghargaan Best French Act dari MTV Europe pada tahun yang sama.



Namun bersama dengan datangnya kesuksesan dan popularitas, masalah muncul. Diam’s mengalami depresi yang hebat dalam hidupnya. Ia juga mengkonsumsi obat-obatan dan sering mengalami halusinasi. Tekanan yang besar ini membuatnya terpaksa dirawat di rumah sakit (hospital).

Sejak tahun 2009, Diam’s menghilang dari dunia musik. Dan pada akhir tahun itu, atau pada awal tahun berikutnya, orang-orang dikejutkan oleh berita yang menyebutkan bahwa Diam’s telah masuk Islam. Ia kemudian mengenakan jilbab dan rajin pergi ke masjid. Kehidupannya berubah total. Ia tak lagi menjalani kehidupan yang glamour yang justru telah menimbulkan banyak masalah dalam hidupnya.

Apa yang menyebabkan Diam’s masuk Islam? Dalam satu kesempatan, ia menerangkan pada pers Perancis, “Obat tak mampu mengobati jiwa saya, maka saya pun pergi pada agama.” Ia juga menerangkan bahwa, “Konversinya kepada Islam merupakan hasil daripada keyakinan pribadinya, setelah memahami agama ini dan membaca al-Qur’an.”

Bagaimana kisahnya sehingga ia akhirnya berinteraksi dengan Islam dan berkomitmen sebagai pemeluknya? Diam’s bercerita, “Saya sangat terkenal dan saya memiliki apa yang diinginkan oleh setiap orang terkenal. Tapi saya selalu menangis keras saat sendirian di rumah, dan hal ini tidak dirasakan oleh seorang pun penggemar saya. Saya menjadi pecandu kuat narkoba (drugs), menggunakan narkotika yang menimbulkan halusinasi, dan (akhirnya) masuk ke pusat rawatan mental (asylum) untuk penyembuhan.”

Diam’s mempunyai beberapa teman Muslim. Perkenalannya dengan Islam bukan melalui diskusi atau mendengarkan ceramah tentang Islam, tetapi saat melihat temannya solat. Ia mendapat hidayah disebabkan keinginan spontan yang muncul dari dalam dirinya untuk ikut melakukan solat.

“… saya mendengar salah seorang kawan Muslim saya berkata, ‘Saya akan solat sebentar dan akan kembali selepas itu,’ maka saya katakan kepadanya bahwa saya ingin ikut solat bersamanya,’ Diam’s bercerita. Pengalaman itu menjadi sesuatu yang sangat berkesan dan menimbulkan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Itu adalah saat pertama saya menyentuh lantai dengan kepala saya, dan saya mendapatkan kesan yang kuat yang belum pernah saya rasakan sebelumnya,” lanjutnya. “Saya kemudian meyakini bahawa bersujud dalam solat tidak boleh ditujukan kepada siapa pun kecuali Allah.”



Diam’s menemukan kedamaian dalam Islam. Maka ia pun mempelajari agama ini dan memutuskan untuk masuk Islam dan menjalankan ajarannya, termasuk mengenakan hijab. Ia meninggalkan kehidupan masa lalunya dan merasakan keselesaan di dalam Islam. “Hal ini (masuk Islam) menghangatkan hati saya,” kata Diam’s, “karena kini saya mengetahui tujuan keberadaan saya, dan mengapa saya berada di dunia ini.”

Kita perlu belajar dari Diam’s. Ia telah mencapai kesuksesan duniawi, tetapi ia tak menemukan kedamaian dan kebahagiaan hidup di dalamnya. Ia menemukannya di dalam Islam. Perkenalannya dengan Islam adalah melalui solat dan pengalamannya saat melakukan solat telah menyentuh jiwanya.

Bagaimana dengan kita yang Muslim? Mengapa ada sebagian kita yang justru meninggalkan solat dan tak mau mengerjakannya? Apakah kita berlomba-lomba mengejar dunia yang telah ditinggalkan oleh Diam’s? Apakah kita berlomba-lomba memuja selebriti dan artis-artis, gelar dan profesi yang telah menimbulkan masalah mental bagi Diam’s sehingga akhirnya ia tinggalkan?

Apa yang sebenarnya kita cari di dunia? Kemana arah tujuan hidup kita? Ingatlah bahawa kita semua pada akhirnya akan meninggal dunia. Kita akan meninggalkan alam fana menuju ke negeri yang baqa. Maka tegakkanlah solat dan carilah cinta dan ridha-Nya. Inilah jalannya orang-orang yang bahagia.

Alwi Alatas

Kuala Lumpur,
3 Rajab 1434/ 13 Mei 2013

Thursday, May 9, 2013

Nasihat Tok Guru Nik Aziz tentang Kematian

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Saat menulis buku Mencari Husnul Khatimah (buku dalam perencanaan untuk terbit di Malaysia oleh Galeri Ilmu), saya menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Tok Guru Nik Aziz (Nik Abdul Aziz Nik Mat), yaitu Mati Satu Peringatan. Sebuah buku yang sudah agak lama diterbitkan dan tidak tebal, tetapi mengandungi banyak nasihat dan pelajaran di dalamnya. Dalam buku itu, Tok Guru Nik Aziz memberikan nasihatnya kepada kita semua tentang kematian, negeri akhirat, dan perlunya persiapan kita untuk menghadapinya. Beliau menulis:

“… kehidupan selepas mati ibarat satu perjalanan jauh yang memakan masa yang lama. Menyedari hakikat itu, setiap insan perlu membuat persiapan yang mencukupi dan sempurna. Namun orang yang lalai tidak pernah memikirkan persiapan menghadapi mati. Bayangkan jika secara tiba-tiba seseorang itu mendapati dirinya terlantar di padang pasir yang tandus. Apabila dahaga mencekik kerongkongnya barulah dia sedar dia tidak membawa bekalan air sedikit pun.”



Apa yang beliau katakan memang benar, dan kita sering melupakannya, kerana kesibukan kita dengan berbagai urusan dunia. Dunia ini hanya sekejap mata jika dibandingkan dengan kehidupan selepas mati. Akhirat merupakan kehidupan yang panjang dan abadi. Kita semua pada akhirnya akan mati, keluar dari kehidupan yang fana ini dan masuk ke dalam kehidupan yang selanjutnya. Jika waktu itu sudah tiba, tidak ada kesempatan untuk berbalik ke belakang untuk memperbaiki keadaan. Sudahkah kita membuat persiapan untuk menghadapi itu semua?

Kita perlu belajar dari Tok Guru Nik Aziz, bukan hanya dari kata-kata dan tulisannya, tetapi juga dari apa yang telah beliau lakukan. Beliau telah memerintah negara bagian Kelantan, Malaysia, selama kurang lebih 23 tahun, dan pemerintahannya dikenal sebagai pemerintahan yang bersih. Penduduk negeri itu, juga di negeri-negeri lainnya, mendukung dan menyintai beliau. Bukan hanya yang Muslim, orang-orang selain Melayu yang tidak beragama Islam pun menaruh rasa hormat yang tinggi dan menyayangi beliau.

Beliau memerintah begitu lama, tetapi kehidupannya tetap sederhana. Beliau tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri. Karena beliau beramal dan berperilaku seperti apa yang telah beliau tuliskan, bahwa setiap insan perlu membuat persiapan yang mencukupi dan sempurna untuk menghadapi kehidupan selepas mati; bahwa dunia ini bukan tujuan, negeri akhirat itulah tempat tinggal yang sebenarnya.

Beberapa hari yang lalu, beliau mengumumkan pengunduran diri sebagai Menteri Besar (kurang lebih sama dengan kedudukan gubernur di Indonesia) Kelantan. Beliau mengundurkan diri karena alasan kesehatan serta usia yang sudah mencapai 82 tahun (beliau lahir pada tahun 1931). Posisi beliau digantikan oleh penerusnya.

Beliau telah beramal dan memberi contoh kepada kita semua tentang kecilnya nilai dunia serta kemana sesungguhnya akhir perjalanan kita. Semoga kita yang yang lebih muda dapat mengambil apa-apa yang baik yang telah beliau sampaikan dan lakukan sebagai bekal dalam melanjutkan perjalanan … menuju ke negeri yang berikutnya.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
30 Jumadil Akhir 1434/ 10 Mei 2013



Thursday, May 2, 2013

Mencari nikmat yang hilang

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Secara bahasa, ni’mah bermakna kemudahan, kehidupan yang baik, kemakmuran, kenyamanan, kebahagiaan, anugerah, dan kesenangan. Kata-kata yang asalnya dari bahasa Arab ini sudah diserap dalam bahasa Indonesia/ Melayu menjadi kata nikmat yang maknanya pun kurang lebih sama.

Nikmat merupakan hal yang kita sukai dan kita harapkan. Tidak ada orang yang membenci nikmat dan mengharapkan sesuatu yang berlawanan darinya, yaitu musibah. Kekayaan itu nikmat dan kebanyakan manusia menyukainya. Terhindar dari musibah itu nikmat, dan kita menyukainya. Tercapainya cita-cita itu nikmat, dan kita mengharapkannya.

Kita menyukai nikmat dan berusaha untuk mendapatkannya. Namun, dalam usaha untuk meraihnya, kita sering melakukan dua kesalahan. Dua kesalahan ini menyebabkan kita justru menjadi semakin jauh dari nikmat. Apa saja kesalahan itu:

1. Menangisi yang tiada sambil melupakan yang ada

Yang tiada ini ada dua bentuknya. Ia bisa dalam bentuk nikmat yang diharapkan tetapi belum berhasil didapatkan. Yang kedua, ia bisa juga dalam bentuk nikmat yang sudah ada tetapi kemudian hilang dan lepas dari tangan kita.

Kedua hal inilah yang sering ditangisi manusia dan membuat mereka merasa putus asa. Ketika keinginannya tidak tercapai, ia merasa kesal dan kecewa. Ketika ada miliknya yang hilang, ia pun marah dan putus asa.

Sebetulnya tidak ada masalah dengan cita-cita dan keinginan, selama tidak berlebihan. Tidak masalah juga merasa sedih ketika kehilangan sesuatu, asalkan tidak sampai berputus asa atau melakukan hal-hal yang dilarang agama. Yang menjadi masalah adalah ketika kita terlalu sibuk memikirkan hal yang hilang atau yang belum berhasil didapat, dan pada saat yang sama melupakan apa-apa yang sudah dimiliki.

Keinginan yang belum berhasil diraih mungkin banyak, tetapi nikmat yang sudah ada di tangan sebenarnya jauh lebih banyak. Barang yang hilang mungkin cukup besar, tetapi nikmat yang tidak hilang dan masih bersama kita sebenarnya jauh lebih besar. Kalau begitu mengapa sibuk dengan yang tidak ada dan melupakan yang ada? Mengapa sedih berlebihan terhadap yang tiada dan lupa dengan apa yang ada?

Ini seperti seorang yang duduk termenung dalam kesedihan untuk waktu yang lama. Kemudian ia ditanya, “Apa yang menyebabkanmu sedih?”

“Saya baru saja kehilangan uang Rp. 10 juta,” jawabnya.

“Mudah-mudahan Allah mengganti yang hilang dan menghapuskan kesedihanmu,” kata orang yang bertanya. “Apakah semua uangmu hilang?” ia bertanya lagi.

“Tak juga,” jawab orang itu. “Saya masih memiliki Rp. 50 juta dalam tabungan saya”

“Kalau begitu mengapa sedih berlama-lama? Jangan hanya mengingat-ingat yang hilang, musibah sudah berlalu. Lihatlah yang masih ada. Nikmat yang ada itu masih banyak.”

Benarlah nasihat ini. Jangan hanya melihat yang hilang atau yang belum tercapai. Lihat jugalah nikmat-nikmat yang ada di tangan kita. Terlalu memikirkan yang tidak ada hanya akan menyebabkan kita semakin banyak kehilangan nikmat. Ya, nikmat yang masih ada pun akhirnya ‘hilang’ juga, tenggelam dalam lamunan kesedihan kita yang berpanjangan. Maka jangan biarkan nikmat yang ada itu ‘hilang’. Sadari keberadaannya dan raihlah manfaat darinya.



2. Mengejar nikmat, tapi lupa bersyukur

Keseharian manusia selalu penuh dengan aktivitas mengejar nikmat. Ia bangun di pagi hari untuk menyambut nikmat kehidupan. Ia mandi untuk mendapatkan nikmat kebersihan dan kesegaran tubuh. Ia makan dan minum untuk mendapatkan nikmat kesehatan dan terhindar dari rasa lapar. Ia pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu yang merupakan satu nikmat yang besar. Atau ia pergi bekerja untuk mendapatkan nikmat harta. Dan masih banyak lagi, terlalu banyak untuk disebutkan semuanya.

Berbagai aktivitas itu serta outputnya adalah nikmat. Namun sayangnya semua itu sering berlalu begitu saja. Ia tidak melihatnya atau merasakannya sebagai nikmat. Sebaliknya, yang ada di pikirannya adalah keinginan untuk mengejar nikmat-nikmat yang belum ada.

Ia bekerja keras, menghabiskan waktu seharian, kadang-kadang terpaksa melakukan hal yang tidak baik bahkan haram, semua itu ia lakukan untuk apa? Untuk mendapatkan lebih banyak nikmat.

Orang-orang sibuk mengejar nikmat, tetapi pada saat yang sama tidak sedikit juga yang lupa untuk bersyukur. Mereka lupa mensyukuri yang ada. Padahal syukur ini memberi jaminan bagi datangnya lebih banyak nikmat. Ini telah disebutkan di dalam al-Qur’an:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS 14: 7)

Syukur inilah yang menjamin datangnya nikmat. Sementara sikap yang sebaliknya justru akan mendatangkan azab.
Kejarlah nikmat, tapi jangan lupa bersyukur. Jangan sibuk saja mengejar berbagai keinginan, padahal yang sudah ada pun belum disyukuri. Kalau kita lupa bersyukur, boleh jadi apa yang kita kejar itu tidak pernah kita capai, malah yang sudah ada pun menjadi lenyap. Atau mungkin juga kita berhasil menambah dan mengumpulkan nikmat, tetapi di balik nikmat itu menunggu azab yang besar yang akan melumatkan kita. Naudzubillah mindzalik.

Alwi Alatas

Kuala Lumpur,
23 Jumadil Akhir 1434/ 3 Mei 2013