Monday, May 13, 2013

Takdir: Antara sikap fatalistik dan free will

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Takdir merupakan salah satu hal yang tidak mudah untuk dipahami. Banyak manusia yang tergelincir dan jatuh ke dalam kesalahan karena salah dalam memahami takdir. Ada yang memandang bahwa manusia tidak memiliki ikhtiar (pilihan), yaitu tidak dapat berusaha dalam hidupnya karena segala sesuatunya telah ditentukan. Ia hanya seperti wayang (puppet) di tangan seorang dalang. Karena itu, maka tidak ada yang perlu dilakukan dalam hidup. Pasrah saja. Kalau kemudian ia jadi orang jahat maka takdir-lah yang salah, karena ia tidak mampu memilih dalam hidupnya. Takdir-lah yang membuatnya jadi seperti itu. Ini merupakan sikap fatalistik.

Sebaliknya, ada yang menganggap manusia memiliki kehendak mutlak (free will). Ia dapat memilih dan berusaha apa pun, dan tak ada yang dapat menghalanginya, termasuk takdir. Ia percaya bahwa ia sendirilah yang menentukan takdirnya, bukan Tuhan. Jadi berhasil atau tidaknya seorang dalam usahanya mencapai sesuatu ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh selainnya.



Namun para ulama telah menjelaskan bahwa pendapat yang tepat adalah yang pertengahan di antara dua pendapat yang ekstrim ini. Ini seperti yang dijelaskan oleh al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Membuka Rahasia Ilahi:

Sesungguhnya yang berpendapat bahwa seorang hamba tidak mempunyai ikhtiar dan kemampuan atas segala sesuatu, dan perbuatan ikhtiarnya seperti pemaksaan, maka mereka adalah kaum bid’ah yang dinamakan Jabari. Pendapat yang sesat ini telah dibantah dan dibatalkan dengan dalil manfaat pengutusan seorang rasul dan diturunkannya kitab suci.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemandirian mutlak pada kehendak dan kemampuannya dalam berikhtiar, mereka juga kaum bid’ah yang dinamakan mu’tazilah.

Yang lain berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan dan ikhtiar yang dengannya dapat melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kemampuan dan ikhtiar itu tidak mandiri secara mutlak. Manusia juga tidak menciptakan kemampuan dan ikhtiarnya. Kelompok terakhir inilah yang telah selamat dari bid’ah dan dinamakan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Masalah ini memerlukan penjelasan yang panjang dan berkelok-kelok yang mungkin membuat seseorang tersesat di dalamnya. Di dalamnya terdapat rahasia ketetapan Allah yang banyak membingungkan akal manusia. Sayyid Al-Mursalin Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang manusia untuk terlalu menyelami dalam membicarakan masalah ini.


Jadi yang pertengahan inilah yang tepat dan indah. Manusia memiliki kemampuan dan ikhtiar. Ia memiliki kemampuan untuk memilih tindakannya dan untuk berusaha dalam hidupnya. Tetapi kemampuannya itu tidak mutlak. Kemampuan itu juga berasal dari Allah. Hasil dari usahanya juga tidak mutlak, kerana bukan ia yang menjadi penentu akhirnya.

Bagi orang yang pasrah berlebihan dalam hidupnya dan tidak mau berusaha dengan alasan takdir, maka sebaiknya ia mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

1. Allah telah mengutus Rasul dan menurunkan Kitab Suci

Ini seperti yang telah disebutkan oleh Habib Abdullah bin Alwi di atas. Diutusnya Rasul dan diturunkannya Kitab Suci tentu memiliki manfaat. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkin Allah mengadakan kedua hal ini. Kalau manusia tidak memiliki sebarang daya untuk memilih, maka tidak ada gunanya diutus seorang Rasul. Justru dengan diutusnya Rasul itu, maka sebagian manusia memilih untuk mengikutinya dan sebagian yang lainnya memutuskan untuk menentangnya. Dan masing-masing akan menerima ganjaran berdasarkan pilihannya sendiri.

Makhluk selain manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Hewan-hewan tidak memiliki ikhtiar seperti yang dimiliki manusia. Karena itu kita tidak pernah mendengar ada Nabi atau kitab petunjuk tertentu yang diturunkan ke tengah-tengah hewan. Hewan-hewan itu tidak dihadapkan pada pilihan untuk taat atau ingkar pada Tuhannya. Mereka semua hidup dengan tunduk pada Tuhannya dan selalu mengikuti fitrahnya.

Namun manusia berbeda. Dia diberi kemampuan untuk memilih. Maka kepadanya diutus seorang Rasul dan ia diperintahkan untuk menyambut seruannya berdasarkan kemampuan memilih yang ia miliki. Dengan ikhtiar ini, sebagian manusia memilih untuk menerima petunjuk Allah, sementara sebagian yang lain menolaknya.

2. Kita diarahkan untuk berusaha dan berdoa

Kita diberi kemampuan untuk berusaha. Kita juga diperintah untuk berdoa, meminta apa pun yang baik pada Allah. Sudah tentu usaha dan doa ini memiliki manfaat. Kalau tidak, maka tidak ada gunanya kita berusaha ataupun berdoa. Kalau usaha dan doa memiliki manfaat, berarti manusia memiliki kemampuan untuk mencapai hal-hal tertentu dalam hidupnya dan untuk mencapai kedudukan tertentu di akhirat. Ini tidak seperti yang dikatakan orang yang pasrah secara mutlak dan menganggap dirinya dipaksa oleh takdir.

Manusia memang memiliki kemampuan, tetapi kemampuannya ini tidak mutlak seperti yang dipercayai oleh segolongan manusia. Manusia tidak memiliki kehendak mutlak (free will). Ia memang memiliki kehendak dan kemampuan, tetapi kehendak dan kemampuannya itu ada batasnya.



Dalam satu kesempatan, saya pernah membahas persoalan ini sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Ketika Allah Menguji Kita (Malaysia: Bila Allah Menduga Kita). Saat tanya jawab, ada seorang peserta yang rupanya kurang setuju dengan penjelasan saya. Ia mengatakan pada saya bahwa menurut yang ia pahami, manusia memiliki kehendak mutlak (free will) untuk menentukan apa pun dalam hidupnya. Untuk menjawabnya, saya berikan kepadanya argumen seperti di bawah ini:

1. Kepastian hasil

Saya bertanya kepadanya, “Ketika manusia menghendaki sesuatu, apakah ia dapat memastikan hasilnya secara mutlak? Apakah ia dapat memastikan bahwa semua kehendaknya pasti terwujud sesuai dengan apa yang direncanakannya?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Kalau ia tak dapat memastikan hasilnya secara mutlak, maka siapa yang sesungguhnya menentukan hasil itu? Kalau manusia tidak bisa memastikan kehendaknya pasti terwujud sesuai yang ia rencanakan, maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa ia memiki kehendak mutlak (free will)? Bahwa ia memiliki kehendak itu betul, tapi dimana letak kemutlakannya?

Manusia memang tak dapat memastikan hasil usahanya secara mutlak. Karena penentu akhirnya adalah Allah. Manusia memang memiliki pilihan dan kehendak, tapi hal ini dibatasi oleh kehendak Allah. Allah-lah yang menentukan hasil akhirnya, dan insya Allah Dia memilihkan yang paling tepat dan paling baik bagi hamba-Nya.

Kepada pembaca tulisan ini, saya menambahkan satu argumen lagi.

2. Ucapan insya Allah

Ketika kita menghendaki sesuatu, apakah kita mengatakan, “Hal itu akan terwujud dengan izin saya,” atau kita akan mengatakan, “Hal itu akan terwujud dengan izin/ kehendak Allah.” Kita tentu akan mengatakan kalimat yang kedua. Kita biasanya mengucapkan in sya Allah ‘jika Allah menghendaki.’ Ini pun menunjukkan terbatasnya kehendak dan kemampuan kita.

Kalau ada yang memilih perkataan yang pertama bahwa hal itu akan terwujud dengan izinnya sendiri, maka sejak kapan ia memiliki kemampuan untuk mengizinkan terjadi atau tidaknya sesuatu? Kalau ada yang merasa bahwa hal semacam ini mungkin saja dimiliki manusia dalam hidupnya, maka mengapa manusia masih mengenal yang namanya kegagalan? Kalau ini benar, orang-orang yang memiliki pemahaman ini tentu tidak akan pernah gagal dalam hidupnya. Tapi coba tanyakan pada mereka, apakah mereka tak pernah gagal dalam hidup? Apakah semua yang mereka rencanakan pasti terwujud? Kenyataannya tidak. Para pakar berpikir positif yang paling optimis sekalipun, jika ia jujur, tentu akan mengakui bahwa kehendak yang dimiliki seorang manusia, walaupun kehendak itu dianggap powerful, tidak dapat dipastikan keberhasilannya secara mutlak.

Jadi ambillah pendapat yang pertengahan. Gunakan pilihan dan kehendak dengan sebaik mungkin, tapi jangan lupa untuk selalu menyandarkan diri pada Yang Maha Menentukan segala sesuatu.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
4 Rajab 1434/ 14 May 2013

No comments: