Thursday, May 30, 2013

Bakat dan Keprihatinan Iqbal al-Assaad

Tidak semua orang yang berbakat memiliki cita-cita tinggi, sehingga bakatnya itu dapat memberinya manfaat yang besar. Tak semua yang bercita-cita tinggi memiliki bakat yang ideal untuk mencapai keinginannya. Tapi kalau cita-citanya cukup kuat, ia tentu dapat juga mencapai cita-citanya itu. Kalau bakat yang besar bertemu dengan cita-cita yang tinggi, maka hasilnya tentu akan menakjubkan, seperti yang dapat kita lihat pada seorang perempuan Muslimah bernama Iqbal al-Assaad.

Iqbal adalah seorang gadis Lebanon keturunan Palestina yang berjilbab rapi. Umurnya baru dua puluh tahun, tapi ia sudah menjadi seorang dokter medis. Ia adalah lulusan termuda di Weill Cornell Medical College, sebuah sekolah kedokteran bergengsi di Qatar. Sebenarnya, ia termasuk pelajar paling muda di dunia yang pernah lulus dari sekolah kedokteran.

Bakatnya memang telah terlihat sejak masih kecil. Saat masih kanak-kanak, ia mulai belajar Aljabar dengan memperhatikan saudara-saudaranya yang lebih tua belajar. Ia adalah anak paling kecil dari empat bersaudara di keluarga yang sangat menghargai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada umur dua setengah tahun ia belajar sendiri menghitung satu hingga sepuluh dalam bahasa Arab dan Inggris. Pada umur lima tahun ia sudah masuk sekolah bersama dengan anak-anak yang umurnya dua tahun lebih tua darinya. Pada usia sedini ini, yang menjadi hobinya dalam mengisi waktu luang adalah membaca buku dan memecahkan persoalan Matematika.



Pada umur sembilan tahun, ia lulus ujian kenaikan tingkat kelas sembilan (di Indonesia mungkin setara dengan kelas tiga SMP) yang biasanya diikuti oleh anak berumur empat belas tahun. Ia melompati tingkatan demi tingkatan kelas di sekolahnya seolah hal itu semudah melompat pada permainan yang biasa dilakukan oleh anak-anak.

Keluarga Iqbal memang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka semua menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi dan dalam usia yang relatif muda. Tetapi di antara semuanya, Iqbal memang memiliki bakat yang paling menonjol. Karena itu ayahnya mempersiapkan pendidikan anaknya yang satu ini dengan sebaik mungkin.

Selain keluarganya, Iqbal juga mendapat dukungan dari kementerian pendidikan Lebanon yang mengetahui bakat dan potensinya. Iqbal dapat mengikuti ujian kelulusan di kelas sembilan atas rekomendasi dari lembaga ini. Saat mengetahui anak yang berbakat ini ingin menjadi dokter, kementerian pendidikan Lebanon meminta bantuan kepada Sheikha Mozah, first lady Qatar, yang kemudian memberi Iqbal full scholarship di Weill Cornell Medical College serta membantu Iqbal dan ibunya pindah ke Qatar. Umur Iqbal ketika itu baru dua belas tahun.

Walaupun masih sangat muda, Iqbal tidak merasa canggung berada di lingkungan mahasiswa yang kebanyakan usianya sepuluh tahun lebih tua dari dirinya. “Saya tidak merasa saya lebih muda dari para pelajar lainnya – sejak berumur lima tahun saya sudah biasa (belajar) bersama para pelajar yang umurnya lebih tua dari saya,” katanya. Teman-teman kuliahnya juga tidak memperlakukannya berbeda. Iqbal bukan hanya cerdas, ia juga matang dan dewasa. Hal ini diakui oleh salah satu profesor yang mengajarnya di kampus itu. “Hanya dengan mengamati ia berinteraksi dengan para pelajar yang lain, kamu tidak akan mengetahui bahwa ia berusia lebih muda,” kata Prof. Marco Ameduri. “Sebenarnya,” katanya lagi, “saya melihatnya sebagai seorang pemimpin pelajar, menghimpun para pelajar bersama-sama, membentuk kelompok studi, dan hal-hal semacamnya.”

“Sungguh sangat mengesankan memilikinya di dalam kelas,” Profesor Ameduri melanjutkan, “seorang pelajar yang begitu muda dan pada saat yang sama begitu matang dan mampu mengatasi kurikulum yang sangat menantang.” Dan kini ia telah menyelesaikan kuliah kedokterannya dalam usia yang sangat belia.

Banyak orang yang memiliki cita-cita yang tinggi, tapi kadang cita-cita itu bersifat egois, hanya untuk kepentingan diri sendiri saja. Mengapa ingin jadi dokter? Karena dokter adalah profesi yang sangat menjanjikan. Kehidupan seorang dokter dapat dikatakan sangat terjamin. Dengan kata lain, itu adalah profesi yang cepat mendatangkan uang. Tapi tentu tidak semua calon dokter berpikiran seperti ini. Tidak semua orang bersifat egois dalam mengejar cita-citanya. Dan Iqbal termasuk yang seperti ini.

Apa yang mendorong Iqbal untuk menjadi seorang dokter? Motivasi awalnya adalah karena rasa prihatin yang dirasakannya terhadap orang-orang Palestina yang berada di pengungsian. Dalam wawancara dengan Nature Middle East, Iqbal bercerita, “Saya memutuskan untuk menjadi dokter ketika saya berusia dua belas tahun. Tumbuh sebagai seorang Palestina dan tinggal di Lebanon, saya menyaksikan banyak penderitaan di tengah masyarakat saya, karena orang-orang Palestina di Lebanon tidak memiliki asuransi kesehatan. Saya dan keluarga mengunjungi kemah-kemah (pengungsian) dan melihat betapa buruknya kondisi di sana. Saya menyaksikan banyak orang tua yang melihat anak-anak mereka menderita, tetapi mereka tidak mampu menolong karena mereka tidak memiliki uang untuk itu. Kunjungan ke kemah-kemah pengungsian ini membuat saya merasa bahwa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk belajar kedokteran dan berusaha menolong orang-orang ini. Kebanyakan mereka bahkan tidak mampu mengupayakan pengobatan yang mereka perlukan.”

Muda, berbakat, serta bercita-cita tinggi dan mulia, Iqbal al-Assaad menunjukkan kepada kita apa yang perlu dimiliki dan diusahakan oleh seorang Muslim. Mudah-mudahan ia dapat mewujudkan keinginannya yang mulia itu serta menebar kebaikan pada ummat.

Kebanyakan kita tidak memiliki bakat seperti yang dimiliki Iqbal. Bahkan kebanyakan kita mungkin merasa bahwa dirinya tidak memiliki bakat tertentu. Jangan terlalu pesimis dalam hidup ini. Jangan mengeluh atas keadaan. Bakat bukanlah segala-galanya. Kalau cita-cita kita cukup besar dan mulia, dan jika Allah berkehendak, insya Allah kita akan sampai pada apa yang dicita-citakan. Mungkin tidak secepat Iqbal al-Assaad, tapi belum tentu lebih sedikit kontribusinya bagi orang banyak.

Jadi jangan mengeluh. Syukuri apa yang ada dan gunakan dengan sebaik mungkin. Bersabarlah dalam mengejar cita-cita yang baik. Dan serahkan selebihnya pada Allah.

Alwi Alatas,
Kuala Lumpur
21 Rajab 1434/ 31 Mei 2013

No comments: