Thursday, November 26, 2009

Iedul Adha di Kolong Tol

Suharyah: Saya Sudah Tak Tahan Tinggal di Kolong Tol

Jumat, 27 November 2009 | 13:27 WIB

JAKARTA,KOMPAS.com - Suasana Idul Adha tidak pernah terasa meriah bagi Suharyah (48). Bahkan, Idul Adha tahun ini pun suasananya terasa lebih memprihatinkan bagi warga Kampung Baru, Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara ini.

Pada Setember lalu sekitar sepekan setelah hari raya Idul Fitri, rumahnya ludes dilalap api saat kebakaran hebat melanda dua RW di Kelurahan Penjaringan. Tak satu pun perabotan maupun barang berharga yang mampu diselamatkannya kala peristiwa itu.
Satu-satunya barang yang bisa dibawanya hanyalah baju yang melekat di badannya. Beruntung tak satu pun angggota keluarganya yang menjadi korban. Suhardi (58), suaminya dan kelima anaknya, sedang tak berada di rumah saat itu. Tak lagi memiliki tempat berteduh, mereka pun terpaksa tinggal di kolong tol Rawa Bebek akses menuju Bandara Soekarno-Hatta bersama ratusan warga korban lainnya.

Hampir tiga bulan sejak kebakaran tersebut, Suharyah bersama keluarganya hingga kini masih bertahan di kolong tol. Tak punya biaya membangun rumah menjadi persoalan mendasar yang membuatnya bertahan di penampungan yang sudah tidak layak itu.
"Kalau ingat sekarang lagi Lebaran Haji, saya malah jadi ingat kebakaran kemarin pas beberapa hari sehabis Lebaran juga," ujar Suharyah kepada Kompas.com, Jumat (27/11).

Siang ini terasa begitu terik di lokasi penampungan di kolong tol. Suharyah masih memasak di bawah sebuah meja biliard bekas yang jika malam hari menjadi tempatnya merebahkan diri. Bukannya memasak daging sebagaimana lazimnya perayaan Idul Adha, justru sayur asem yang dimasaknya untuk anak-anaknya.
"Saya enggak dapat daging. Sudah enggak ada lagi yang motong kurban kayaknya di sini sekarang," ujarnya.

Mushala Nurul Huda yang letaknya tak jauh dari "rumah" Suharyah memang sepi dari aktivitas hari raya. Tahun ini tak ada pemotongan hewan kurban di mushala itu. "Saya juga tadi pagi enggak sempat shalat. Saya lagi enggak enak badan," ujarnya.
Suharyah juga mengaku tak medapatkan bantuan zakat dari pemerintah dan para dermawan meski kesulitan ekonomi betul-betul mengimpitnya.

Idul Adha kali ini hanya berlangsung begitu saja tanpa terasa oleh Suharyah. Suhardi, suaminya pun tetap sibuk mencari dan mengumpulkan barang bekas untuk dijualnya sebagai penghidupan sehari-hari.
"Saya sudah enggak bisa ngapa-ngapain lagi. Ngebayangin bisa naik haji aja saya enggak berani," tuturnya.

Masih bisa bersyukur

Meski demikian, dengan kondisi memprihatinkan seperti itu, Suharyah mengaku masih bersyukur bisa bertahan hidup di Kota Metropolitan yang keras ini. Penyakit gula akut memang menderanya sejak lama.
Bahkan tahun lalu, Suharyah sempat dioperasi di RS Atma Jaya Pluit akibat penyakitnya. Jika ditotal, biaya pengobatan dan operasi yang harus ditanggungnya mencapai 16 juta. Beruntung dia mendapatkan bantuan pemerintah melalui surat keterangan tidak mampu. "Ya, alhamdulillah saya bisa operasi gratis," ungkapnya.

Hingga kini, setiap dua pekan sekali, Suharyah mesti bolak-balik ke rumah sakit untuk mengontrol penyakitnya itu. "Tapi obatnya jarang-jarang saya tebus. Soalnya sekarang yang gratis cuma periksanya saja. Obatnya tetap bayar," ujarnya.

Di hari Idul Adha ini wanita asli Betawi ini mengungkapkan harapannya agar bisa segera meninggalkan penampungan dan hidup layak di rumah tetap. Dia berharap pemerintah bisa mengucurkan bantuan agar dia bisa membangun kembali rumahnya yang kini rata dengan tanah.
"Saya enggak minta dipindahin. Saya cuma pengin bantuan supaya rumah saya bisa dibangun lagi. Saya sudah enggak tahan tinggal di kolong begini," ucapnya dengan mata menerawang.

http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/11/27/13271662/Suharyah.Saya.Sudah.Tak.Tahan.Tinggal.di.Kolong.Tol

Saturday, November 21, 2009

Pengorbanan ibu berbaloi anak cacat dapat 5A

Pengorbanan ibu berbaloi anak cacat dapat 5A

SITI Norfarah Hanim Azman yang memperolehi 5A didukung oleh ibunya, Norhaida Harun setelah pulang dari mengambil keputusan UPSR di Besut, semalam.
________________________________________

BESUT 19 Nov. - Ibu ini cekal mendukung anaknya yang cacat untuk ke sekolah sejak enam tahun lalu.

Hari ini pengorbanan Norhaida Harun, 38, berbaloi apabila Siti Norfarah Hanim Azman, 12, berjaya memperoleh keputusan 5A dalam Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) yang diumumkan hari ini.

Walaupun cacat kerana menghidap penyakit Osteogenesis Imperfecta, sejenis penyakit kerapuhan tulang tapi Siti Norfarah tidak mudah mengalah malah tetap gigih berusaha hingga akhirnya memperolehi kejayaan itu.

Dia adalah antara 40 murid Sekolah Kebangsan Tengku Mahmud II yang berjaya memperolehi 5A dalam UPSR tahun ini yang diraikan dalam satu majlis di sekolah itu hari ini.

Ketika nama diumumkan untuk ke pentas bagi mengambil slip keputusan UPSR, Siti Norfarah dan ibunya dilihat berlinangan air mata kegembiraan.
Bagi Norhaida, hanya pelajaran yang mampu diberikan kepada anaknya itu memandangkan dia sendiri tidak mampu untuk menyediakan harta yang banyak untuk kehidupan akan datang.

Semuanya adalah pengorbanan demi masa depan anaknya walaupun kadang kala terasa dirinya seakan terikat dengan rutin kehidupan sebegitu kerana terpaksa menghantar dan mengambil anaknya setiap hari.

Noraida juga akur dengan tugas suaminya Azman Mohamad, 40, yang hanya bekerja sebagai pembantu kesihatan juga tidak mampu meluangkan banyak masa untuk membantu menguruskan anaknya.

Hanya pada ketika tertentu sahaja Azman dapat menghantar Siti Norfarah ke sekolah manakala selebihnya, Norhaida yang banyak menghabiskan masa bersama anaknya itu di samping menjaga seorang lagi anaknya Siti Norfadila Husna, yang berusia 4 tahun.
Setiap pagi sebelum ke sekolah Norfarah akan dibekalkan dengan sedikit makanan kerana tidak mampu berjalan untuk ke kantin.

Dia bagaimanapun agak bernasib baik kerana ada seorang rakan sekelasnya, Nurul Alia Rosdi yang secara sukarela membantunya semasa di dalam kelas.
Nurul Alia banyak meringankan masalah anaknya sejak berada di tahun satu lagi dengan membantu jika anaknya itu ingin ke tandas pada masa yang diperlukan di samping menjadi rakan belajar," kata Norhaida.

Rakannya itu merasa tersentuh ketika pertama kali melihat kepayahan yang dihadapi Siti Norfarah lalu secara sukarela membantu rakannya sebagai menunaikan tanggungjawab sebagai seorang insan.

"Sesiapa sahaja yang memerlukan perlu dibantu dan saya tidak pernah merasa bosan dengan tugas sukarela ini malah merasa puas hati apabila dapat memberikan khidmat kepada mereka," ujar Nurul Alia.

http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=1120&pub=Utusan_Malaysia&sec=Dalam_Negeri&pg=dn_07.htm

Saturday, November 7, 2009

Rencana-Nya Selalu Sempurna

Rencana-NYA selalu SEMPURNA

Iwan Budhiarta

http://www.facebook.com/home.php?filter=app_2347471856#/note.php?note_id=168196169650


Di Surabaya, sebuah kota di Jawa Timur, hiduplah seorang ibu penjual tempe dengan seorang anaknya yang masih balita. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup dirinya dan anak semata wayangnya.

Tak ada pekerjaan lain sebagai penyambung hidup anak semata wayangnya.
Meski demikian, nyaris tak pernah lahir sebuah keluhan pun dari bibirnya. Ia selalu menjalani hidupnya dengan riang gembira. "Jika tempe ini yang nanti akan mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya...",...demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu Jumat pagi, setelah shalat subuh, dia pun segera berkemas dan mengambil keranjang bambu tempat tempe, lalu dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas satu-satunya meja panjang di rumahnya. Akan tetapi (deg!...dadanya bergemuruh...) tempe yang akan dia jual di pasar, ternyata belum jadi. Semuanya masih berupa kacang kedelai, dan sebagian berderai, belum disatukan oleh ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi tempe sempurna. Tubuhnya mendadak jadi lemas. Dia bayangkan, hari ini dia pasti tidak akan mendapatkan uang, untuk makan anaknya, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi.
Di tengah rasa putus asa, terbersit secercah harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah SWT, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, segera ditengadahkan kepalanya, dia angkat tangannya, dan dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, ubahlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan kehangatan yang
menjalari daun itu. Proses peragian memang sedang berlangsung. Dadanya masih bergemuruh. Dengan pelan-pelan, dia buka daun pembungkus tempe itu. Dan akhirnya... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semuanya menyatu oleh kapas-kapas ragi putih.

Tetapi, dengan memaksa senyum, dia segera berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku
lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah tempe ini. Bantulah aku, kabulkan doaku..."

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju ke pasar, dia buka daun pembungkus tempe itu sekali lagi.
Tempeku pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari sela-sela pembungkus daun itu, dan... belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, bahwa Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia mulai letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, airmata mulai menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Allah begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang telah dia sediakan.
Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang telah dia sediakan. Tangannya mulai lemas, tak yakin akan ada orang yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa sendirian. Allah telah meninggalkan aku, batinnya.

Tangisnya kian menjadi-jadi.
Airmatanya kian mengalir deras. Terbayang di benaknya bahwa esok dia tak akan dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan, begitu pula dengan buah hati tersayangnya. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas karena sudah menjelang sore. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah habis terjual. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya kembali, dia tak pernah mengalami kejadian ini. Tempenya tak pernah tak jadi. Tangisnya kian menjadi-jadi. Dia merasa cobaan hari itu terasa berat...

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan ramah mendarat di pundaknya. Dia memalingkan wajahnya seketika. Seorang perempuan cantik, paruh baya, tengah tersenyum, memandangnya.
"Maaf Ibu, apakah ibu punya tempe yang setengah jadi? Saya lelah sekali mencari-cari di pasar ini sejak pagi, dan tak ada seorang pedagang tempe yang menjualnya. Apakah Ibu punya tempe setengah jadi?"

Ibu penjual tempe itu segera termangu-mangu. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab
pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. "Ya Allah, pada saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi sempurna. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe..."

"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi.

Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan
jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?........ Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih
sama. Belum jadi! "Alhamdulillah!" pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.

Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok aneh ya, ibu mencari tempe kok yang belum jadi?"

Si ibu pembeli tempe itu menyahut "Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Muhammad, yang kuliah S2 di Swedia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, supaya bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sesampainya di sana masih layak dimakan. Oh ya, semua tempenya saya borong, bu. Dan jadi semua tempenya berapa, Bu?"

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hikmah:
Dalam kehidupan sehari-hari, kita acapkali berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa.

Padahal, Allah SWT paling tahu apa yang paling cocok dan baik untuk kita. Bahwa semua rencanaNYA adalah SEMPURNA.

Wassalam...

Monday, November 2, 2009

Hadiah Terbaik

Hadiah Terbaik

Tak ada hadiah yang lebih indah di mata orang tua dibandingkan apa yang terbaik bagi anak-anak mereka

Itu juga yang dirasakan oleh seorang Muslim Indonesia yang bersama keluarganya tinggal di Australia. Hidup di negeri yang budayanya liberal dan masyarakatnya berbeda agama tentu menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga Muslim yang hidup di negeri Kangguru. Bisa saja anak yang sudah dididik sebaik mungkin di rumah mendapat pengaruh negatif di luar rumah dan akhirnya mengabaikan nilai-nilai keluarga. Terlebih lagi jika keluarganya sendiri tidak memiliki nilai dan relijiusitas yang baik.

Orang yang kami ceritakan ini menjalani hari-harinya di Australia sebagaimana kebanyakan orang-orang Indonesia lainnya. Namun, selama tinggal dan bekerja di Australia itu ia justru makin banyak belajar tentang Islam, agamanya yang dianut sedari kecil. Makin lama perhatiannya terhadap agama menjadi semakin mendalam. Tentu saja ia berharap hal yang sama juga dirasakan oleh anggota keluarganya yang lain, oleh istri dan anak-anaknya.

Ia memiliki seorang anak perempuan yang sudah beranjak remaja. Betapa besar keinginannya agar sang anak mengenakan jilbab dan menutup auratnya. Keinginannya itu semata-mata karena menutup aurat merupakan tuntunan dari-Nya dan akan membawa banyak kebaikan bagi orang-orang yang menjalankannya.

“Kenakanlah jilbab wahai anakku,” anjurnya pada sang anak. Tapi setiap kali itu juga anaknya menggelengkan kepala.

”Aku belum siap, Papa,” ujarnya. ”Mungkin suatu saat nanti.”

Sang ayah tak ingin memaksakan kehendaknya, karena ia ingin anaknya menjalankan ajaran agamanya dengan tulus dan penuh kesadaran. Ia bersedia untuk menunggu, walaupun ia tak tahu untuk berapa lama. Ia memutuskan untuk bersabar sembari terus berdoa dan memberi bimbingan pada sang anak.

Pada salah satu liburan sekolah, anak gadisnya itu berlibur ke Bandung tanpa didampingi oleh orang tuanya. Ketika berada di kota kembang tersebut, sang anak menyempatkan diri menelpon ayahnya.

“Papa mau dibawakan apa dari Bandung?” tanyanya pada sang ayah.

“Ah … nggak usah,” jawab sang ayah apa adanya. “Nanti kalau mau pulang, kasih tahu saja tanggal dan waktunya.”

Maka pada tanggal kepulangan sang anak ke Australia, ayahnya menjemputnya di Sidney International Airport. Ia menanti anaknya dengan penuh rasa rindu. Tentu ada banyak cerita yang dibawanya dari tanah air. Tentu ia merasa senang selama berada di Indonesia.

Pesawat yang ditumpangi anaknya sudah mendarat sejak beberapa waktu yang lalu. Ia mencari-cari anaknya di antara para penumpang yang berjalan keluar dari pintu bandara. Sekian lama dipandanginya orang-orang yang bergerak dari dalam keluar. Belum juga didapatinya wajah anak yang dicintainya.

Tiba-tiba ia melihat wajah yang amat dikenalinya. Namun ada sesuatu yang berbeda pada wajah itu. Sang ayah sempat ragu saat memperhatikan wajah itu. Apakah ini memang anak gadisnya? Benarkah?

Ya, wajah itu kini dihiasi oleh jilbab nan anggun. Anak gadisnya itu, lengkap dengan busana muslimahnya, berjalan ke arah ayahnya dengan wajah tersenyum cerah. Sebuah senyum yang sangat indah, dari wajah yang teramat indah. Sang anak mengucapkan salam dan memeluk ayahnya.

”This is my best present for you ....”

Ayahnya mengangguk haru. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dialaminya saat itu.

Ya, ini adalah hadiah terindah bagi Ayah.

Sebagaimana dikisahkan oleh Ustadz Agus Setiawan
Dutulis oleh Alwi Alatas
26 Oktober 2009