Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar
Alwi Alatas
Kadang saya berpikir dalam hati, kalau ada orang yang bertanya apa hal yang paling tidak saya sukai, mungkin jawaban saya adalah menemani perempuan (istri atau ibu) belanja. Saya sering menemani istri belanja (itu pun karena terpaksa), dan saya sering heran betapa kuatnya dia bolak-balik dan melakukan tawar menawar selama berjam-jam hanya untuk membeli beberapa barang. Agaknya tidak salah juga kalau ada ungkapan yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ungkapan itu menyebutkan bahwa ’seorang pria akan membayar 2 dollar untuk barang seharga 1 dollar yang ia perlukan, dan seorang perempuan akan membayar 1 dollar untuk barang seharga 2 dollar yang tidak dia perlukan.’ ”Rasanya nggak afdhal kalau membeli tanpa tawar menawar semaksimal mungkin,” begitu istri saya pernah berkata.
Istri saya ini seorang negosiator yang alami (barangkali istri Anda juga seperti itu). Begitu asyiknya dia berlama-lama mebolak-balik dan menawar barang sampai saya sering merasa tidak tega dengan penjualnya. Seperti baru-baru ini kami berbelanja beberapa pakaian untuk kemudian dijual lagi (kalau untuk keperluan dagang tentu saja kami harus menawarnya sebaik mungkin). Istri saya melihat barang-barang itu satu demi satu, dikeluarkan dari tempatnya, diperhatikan setiap lekukan, lalu diletakkan kembali sambil melihat barang yang lain. Ketika membuka dan melihat barang yang baru, ia menemukan ada bagian yang kurang bagus, dan memutuskan untuk melihat yang lain lagi. Si penjual akan melipat kembali pakaian yang sudah dilihat, tapi kadang yang sudah dilihat ini terpaksa dibuka kembali karena istri saya ingin melihatnya kembali.
Saya jadi kasihan dengan si penjual. Dia pasti penat sekali menghadapi pembeli seperti kami, dan pada akhirnya mungkin akan menyerah juga dengan harga yang diusulkan istri saya. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga usaha.
Saya pernah membaca bahwa salah satu teknik negosiasi yang berhasil adalah dengan berlama-lama mencoba barang yang akan dibeli dan terus menerus melakukan tawar menawar. Si penjual pada akhirnya akan merasa letih dengan pelanggannya ini dan memutuskan untuk mengalah dan mengambil untung sedikit saja asalkan barangnya terjual. Kalau waktunya sudah habis untuk melayani pelanggan semacam ini dan akhirnya tidak dibeli, mungkin dia akan merasa kesal. Istri saya sama sekali tidak mengetahui teori negosiasi semacam ini. Ia hanya menikmati proses berbelanja dan tawar menawar serta berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin.
Ukuran keberhasilan dalam tawar menawar dan membeli barang tentu saja dengan mendapatkan barang sebagus mungkin dengan harga yang paling rendah. Namun, dalam hidup ini ada kalanya menawar barang untuk harga yang lebih rendah bukanlah hal terbaik yang bisa kita raih. Terlebih lagi jika ekonomi kita sangat berkecukupan dan kita membeli barang dari pedagang kecil. Ada sebagian orang yang menawar murah-murah barang yang dijajakan seorang pedagang kecil. Lalu setelah ia membeli barang tersebut ia mulai merasa menyesal mengapa harus menawar terlalu murah. Bukankah pedagang itu kehidupannya sangat susah. Kadang usianya juga sudah cukup tua. Ia harus memikul barang dagangannya di hari yang sangat panas dan hanya mendapat keuntungan tidak seberapa dari penjualannya. Bahkan jika semua barangnya laku tanpa ditawar sekalipun dia tetap tidak akan menjadi orang kaya.
Saya pernah mendengar tentang seorang tuan tanah kaya di Batavia pada jaman kolonial dulu. Namanya Abdullah bin Alwi al-Attas (w. 1929). Kalau membeli dari pedagang kecil dia sama sekali tidak mau menawar dan akan membayar sesuai dengan harga yang diajukan si pedagang (tentu saja para pedagang kecil ini juga tahu diri dan tidak menaikkan harga barang semaunya saja). Ia juga tidak suka melihat binatang yang dikurung. Kalau melihat ada pedagang burung yang lewat, maka ia akan memanggilnya dan membeli semua burung yang ada, lalu melepaskannya begitu saja.
Ketika ada pedagang kecil lainnya datang untuk menjajakan barangnya, maka ia akan membeli sebagian besar barang yang dijual oleh pedagang itu. Ia membeli tanpa menawar lagi. Jika ditanyakan mengapa ia melakukan hal itu, maka ia akan menjawab bahwa Allah sudah menganugerahkan rizki yang banyak baginya, maka bagaimana mungkin dia akan menawar barang dari pedagang yang keadaannya susah. Ia menganggap hal itu ’haram’ baginya.
Kini kembali pada diri kita. Mungkin kita tidak mampu melakukan seperti Sayyid Abdullah di atas. Kita masih perlu melakukan tawar menawar dalam membeli barang, karena keadaan ekonomi yang sulit belakangan ini dan karena harga-harga barang terus naik. Itu tidak masalah. Tapi kita toh sesekali tetap bisa membantu para pedagang kecil dengan membeli barang mereka tanpa harus menawar terlalu banyak. Nilai belanja kita memang jadi sedikit lebih mahal. Namun senyum bahagia si pedagang kecil akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kita. ’Kebahagiaan itu tidak bisa diraih dengan memiliki, tapi dengan memberi,’ begitu kata pepatah. Bukankah ini indah? Kita membayar sedikit lebih mahal, dan kita mendapatkan kebahagiaan sebagai gantinya.
Barangkali kita juga bukan orang kaya. Dan kalaupun kaya mungkin kekayaannya tidak sama dengah tuan tanah yang diceritakan di atas. Namun boleh jadi kita memiliki kekayaan hati, kekayaan yang membolehkan kita membantu orang-orang yang tengah berusaha di sekitar kita. Kekayaan jiwa semacam ini akan membawa kita pada kekayaan yang sesungguhnya.
Kini perhatikanlah orang-orang kecil yang tengah berusaha di sekitar tempat tinggal kita. Sesekali, datanglah dengan tersenyum pada mereka. Lalu belilah barang mereka tanpa menawar lagi. Mudah-mudahan senyum mereka menjadi doa buat kita.
Jakarta, 30 Oktober 2009
1 comment:
apabila urusan dipermudahkan , insyaAllah barang yang dibeli akan ada keberkahan..
Post a Comment