Wednesday, April 10, 2013

Nilai sebuah kejujuran

Alwi Alatas

Ada sebuah kisah tentang seorang kaisar di sebuah negeri. Usia kaisar ini sudah semakin tua dan ia merasa sudah waktunya untuk menunjuk seorang pengganti. Namun, ia tak mau menunjuk salah satu anak atau orang kepercayaannya sebagai penggantinya. Ia memilih cara yang berbeda.

Pada suatu hari, ia mengumpulkan anak-anak remaja di negerinya. Ia kemudian mengumumkan, “Sudah dekat waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri dan memilih seorang kaisar yang baru. Saya telah memutuskan untuk menunjuk salah seorang di antara kalian untuk menjadi kaisar yang baru.”

Remaja-remaja itu terkejut mendengarnya. Mereka memperhatikan dengan baik apa yang akan dikatakan Kaisar setelah itu. “Pada hari ini, saya akan memberikan kepada setiap orang yang ada di sini sebutir benih. Sebutir benih yang sangat istimewa. Saya meminta masing-masing kalian menanam benih itu di dalam sebuah pot. Sirami benih itu setiap hari. Kemudian kembalilah kalian ke sini pada hari yang sama, tahun depan, dengan membawa apa yang berhasil kalian tumbuhkan dari benih itu. Saya akan menilai secara langsung tanaman yang kalian bawa. Saya akan memilih salah satunya. Yang terpilih akan menjadi kaisar menggantikan saya.”

Setelah itu, masing-masing kembali ke tempat tinggal mereka dengan membawa sebutir benih.

Ada seorang anak remaja bernama Ling yang hadir dan menerima benih pada hari itu. Ia pulang ke rumah dan menceritakan kata-kata kaisar kepada ibunya dengan perasaan excited. Dengan dibantu oleh ibunya, ia pun segera menanam benih itu pada sebuah pot. Ia telah meletakkan tanah dan pupuk yang baik di dalam pot itu sebelumnya. Setiap pagi dan petang hari, ia tak pernah lupa menyirami benih di dalam pot tadi. Ia mengamati pertumbuhan benih itu. Namun setelah beberapa minggu, tak ada apa-apa yang keluar dari dalamnya. Benih itu tak kunjung tumbuh juga.

Setelah tiga minggu, anak-anak remaja lainnya saling bertukar cerita tentang pertumbuhan benih yang mereka tanam. Sementara benih Ling sama sekali tidak tumbuh. Minggu demi minggu berlalu, benih milik Ling tetap tidak tumbuh juga. Sementara anak-anak remaja lainnya semakin antusias bercerita tentang tanaman mereka yang semakin membesar.



Ling merasa sedih. Sudah enam bulan berlalu dan benihnya tidak tumbuh menjadi tanaman. Ia telah gagal. Tak ada lagi hal yang dapat dilakukannya. Ia hanya dapat mendengarkan kisah keberhasilan teman-temannya dengan perasaan kecewa.

Satu tahun yang ditetapkan akhirnya mencapai masa akhirnya. Tepat pada hari yang sama, setahun sejak mereka dikumpulkan, remaja-remaja ini dikumpulkan kembali di istana. Setiap remaja membawa pot dan tanaman mereka. Tanaman yang mereka bawa beraneka ragam dan sangat indah. Semua pot yang dibawa anak-anak remaja itu berisi tanaman. Hanya satu orang saja yang potnya kosong tak berisi tanaman: Ling!

Semua orang tertawa bahagia dan saling bertukar cerita tentang usaha mereka menumbuhkan benih itu. Satu dua anak remaja melirik pot Ling yang kosong dan berkata kepadanya, “Setidaknya kamu sudah mencoba.” Setelah itu mereka tertawa-tawa dan berbincang dengan anak-anak lainnya.

Kaisar akhirnya hadir di tengah mereka. Ia pun berkeliling dan memperhatikan setiap tanaman dan memberi pujian sekedarnya. Ling hanya tertunduk malu, karena potnya sama sekali tidak berisi tanaman.

Kaisar kemudian berdiri di depan mereka semua. “Hari ini saya akan mengumumkan kaisar baru yang akan menggantikan saya.” Semua berdiri dengan perasaan tegang. Mereka berharap dirinyalah yang akan dipilih.

Tiba-tiba mata Kaisar tertuju pada pot milik Ling. Ia menunjuk ke arah pot itu dan memerintahkan para pengawal untuk membawanya ke depan, berikut dengan pemiliknya juga. Ling merasa sangat terkejut. Kaisar mengetahui saya telah gagal, saya tentu akan mendapatkan hukuman berat, begitu yang terlintas di pikiran Ling.

Ling dan potnya yang kosong dibawa ke depan oleh para pengawal. Kaisar kemudian menanyakan namanya. “Nama saya Ling,” jawab remaja itu dengan perasaan khawatir. Semua anak remaja yang ada di tempat itu tertawa. Mereka menertawakan pot Ling yang kosong.

Kaisar kemudian meminta semua orang untuk diam. Ia menatap Ling dalam-dalam dan kemudian membuat pengumuman di hadapan semua orang yang hadir. “Saya telah memutuskan kaisar yang baru, dan namanya adalah Ling. Beri penghormatan kepada Ling!”

Semua orang merasa terkejut mendengarnya, termasuk Ling. Tetapi mereka tak dapat berkata apa-apa. Mereka mengikuti perintah Kaisar dan memberikan penghormatan kepada kaisar yang baru saja ditunjuk, yaitu Ling.

Bagaimana ceritanya Ling bisa menjadi orang yang dipilih sebagai kaisar, padahal ia satu-satunya yang gagal menanam benih sebagaimana yang diminta oleh Kaisar?

Kaisar kemudian menerangkan, “Satu tahun yang lalu, saya berikan setiap orang yang hadir di sini sebutir benih. Saya minta masing-masing kalian menanamnya dan menyiraminya setiap hari. Sebenarnya benih yang saya berikan pada hari itu adalah benih yang sudah mati. Benih itu telah direbus sebelumnya. Benih itu tidak bisa tumbuh. Pada hari ini, kalian semua datang dengan membawa pot berisi tanaman, kecuali Ling. Kalian telah berbuat tidak jujur. Saat kalian mengetahui bahwa benih itu tidak tumbuh, kalian menggantinya dengan benih lain sehingga tumbuh menjadi tanaman dan kemudian kalian bawa ke sini. Ling satu-satunya anak remaja yang berani datang ke sini dengan segenap kejujurannya. Ia membawa pot yang tidak berisi tanaman. Karena itu, dialah yang saya pilih sebagai kaisar yang baru (sumber: http://www.islamcan.com/islamic-stories/the-emperor-and-the-seed.shtml)

Saat membaca kembali kisah ini, saya berpikir bahwa sebenarnya kerajaan ini memiliki masalah yang sangat besar. Dari semua anak remaja yang dikumpulkan dan diberi tugas, tidak ada yang jujur kecuali satu orang saja. Dari sekian banyak anak, semuanya berbohong, dan hanya ada satu anak yang jujur. Ini adalah masalah yang sangat serius. Walaupun begitu, kejujuran telah diapresiasi dengan setinggi-tingginya di kerajaan itu. Kejujuran telah diberi penghargaan yang paling tinggi.

Kerajaan itu masih memiliki harapan yang besar karena sikap yang diambil oleh sang Kaisar.



Tiba-tiba saya teringat tentang sebuah negeri yang lain. Sebuah negeri yang nyata, tidak seperti kerajaan khayalan pada kisah di atas. Di negeri itu, jumlah orang yang jujur bukan hanya sedikit, tetapi juga sangat tidak dihargai. Kejujuran bukan hanya tidak dihargai, anak-anak bahkan dididik oleh ’kerajaan’ itu untuk menjadi orang yang tidak jujur. Tentu saja pengelola negeri itu tidak akan mengakuinya dengan jujur. Kejujuran sudah menjadi terlalu mahal ... dan terlalu menakutkan untuk dibicarakan.

Saya ingin menangis setiap kali ingat bahwa negeri kedua yang saya sebutkan itu adalah negeri saya sendiri. Masihkah ia memiliki harapan?

Kuala Lumpur
10 April 2013

* Refleksi atas ketidakjujuran yang dirancang dengan sengaja dan bersama-sama oleh sekolah-sekolah di Indonesia untuk meluluskan siswa-siswanya pada Ujian Nasional (UN) … dan berbagai praktek ketidakjujuran lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.

No comments: