Monday, October 31, 2011

Tegurlah tapi jangan menyakiti


Tegurlah orang yang melakukan kesalahan dengan cara yang tidak membuatnya merasa malu atau sakit hati

Menegur kesalahan orang lain memerlukan seni tersendiri. Jika kita menegurnya terlalu keras boleh jadi ia akan merasa sakit hati. Kalau kita menegurnya di depan orang banyak tentu ia akan merasa malu. Akibatnya, apa yang diharapkan dari teguran itu boleh jadi tidak terwujud. Atau mungkin saja teguran itu diterima tapi memberikan bekas menyakitkan yang lama di hati orang yang mendapat teguran.

Ketika masih belajar di SMA (senior high school), saya baru mulai mendalami Islam dan menjadi sangat bersemangat untuk menjalankannya. Usia masih sangat muda ketika itu. Sehingga semangat yang sangat tinggi belum diimbangi dengan cara berpikir dan sikap yang lebih bijaksana.

Pada suatu hari, ketika sedang duduk di mushala (surau) sekolah, ada seorang teman yang sedang shalat dzuhur. Ia terlambat melakukannya sehingga kemudian melakukan shalat sendirian.

Tiba-tiba masuk seorang kawannya yang terkenal usil dan suka bercanda. Saat masuk ke dalam mushala dan melihat kawannya sedang sujud, sikap usilnya muncul. Ia segera menghampiri kawannya itu dan menarik kakinya ke belakang, sehingga posisi kawan yang sebelumnya sujud berubah menjadi terlungkup atau tengkurap.

Ya Allah, pelajar ini sedang shalat dan sujud menghadap Tuhannya, tapi posisinya kini menjadi seperti orang yang sedang tidur dengan wajah menghadap ke bawah. Sementara pelajar yang melakukannya tertawa senang karena berhasil mengerjai kawannya itu.

Saya sangat terkejut melihat itu dan melompat spontan dari tempat duduk. Saya menarik pelajar itu dan menjauhkannya dari kawan yang sedang shalat tadi. ”Mengapa kamu melakukan hal itu?” saya menegurnya. ”Jangan bergurau dalam perkara ibadah dan shalat!”

”Oh ...,” pelajar tadi merasa terkejut dan berhenti tertawa, ”maaf.” Wajahnya langsung berubah dan ia segera pergi meninggalkan mushala.

Untunglah ia menerima teguran dan tidak menentangnya. Tapi saya tak dapat melupakan ekspresi wajahnya ketika itu. Teguran itu tampaknya terlalu mengejutkan dan membuatnya merasa sangat malu. Saya jadi menyesal karena terlalu bersemangat melakukannya. Sebenarnya saya boleh menariknya perlahan dan menjelaskan dengan lembut bahwa hal itu tidak baik. Tentu ia tidak akan merasa terkejut atau malu karenanya.

Apa yang dilakukannya memang keterlaluan, sangat keterlaluan. Tapi itu disebabkan ia belum paham. Walaupun perbuatan itu keterlaluan, tapi menegurnya tetap perlu dengan kelembutan. Perbuatan yang terlalu itu sama sekali tidak memberi alasan bagi kita untuk menegur secara keras dan berlebihan, kecuali mungkin jika ia dengan sengaja melecehkan kebenaran.

Bukankah tindakan kencing di dalam masjid itu merupakan tindakan yang keterlaluan? Seorang mukmin tentu akan sangat marah jika melihat ada orang yang sengaja kencing di dalam masjid. Ini juga dulu pernah terjadi di jaman Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan hal itu membuat marah para sahabat. Tapi Nabi menahan kemarahan mereka dan beliau menegur orang Arab Badui yang melakukan perbuatan itu dengan cara yang baik, sehingga orang ini akhirnya memutuskan masuk Islam.

Maka tetaplah bersemangat dalam beragama, dan bersemangatlah dalam meluruskan yang salah, tapi gunakan kata-kata yang lembut dan tidak menyakitkan. Kecuali jika yang melakukan perbuatan buruk itu memang orang yang sangat memusuhi kebaikan dan sengaja menghalang-halangi orang dari jalan Allah. That’s a different thing.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
19 Dzulqaidah 1432/ 17 Oktober 2011

3 comments:

Andri Faisal said...

Kadang memang kalau kita ditegur dengan keras juga merasa tersakiti

Alwi Alatas said...

Sebaik-baik orang yang menegur adalah yang lemah lembut dalam tegurannya. Dan sebaik-baik orang yang menrima teguran adalah yang cukup ditegur secara lemah lembut, dan tidak perlu ditegur secara keras sebelum mau berubah. :)

ningratih said...

*nunduk

memang msh harus bnyak belajar...