Tuesday, October 25, 2011
Sensitivitas terhadap sesuatu yang negatif
Al-Qur’an tidak berubah, al-Sunnah tidak berubah, yang berubah adalah respons kita terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah
(Abdulbary Yahya, al-Maghrib Institute)
Seorang anak yang belajar di sebuah pesantren, karena terpengaruh temannya, tiba-tiba melakukan kesalahan yang serius: mencuri. Ia mencuri uang temannya, uang abangnya, dan juga uang ibunya. Uang itu digunakan untuk membeli baju-baju baru, handphone, dan beberapa benda lainnya.
Sebenarnya ia merupakan seorang anak yang baik dan tidak pernah melakukan perilaku buruk semacam itu sebelumnya. Tapi rupanya ia mudah dipengaruhi oleh orang lain. Kami kemudian menasihatinya dan memindahkannya dari pesantren ke sebuah madrasah dengan harapan hal itu dapat membantunya untuk berubah.
Suatu hari saya diberitahu bahwa baju yang dulu dibelinya dengan uang curian masih digunakan secara bergantian oleh anak ini dan abangnya. Uang yang dicuri memang dikembalikan kepada pemiliknya secara berangsur (dibayarkan beberapa kali) dan santri yang dicuri uangnya sudah tidak mempermasalahkannya lagi. Tapi kenyataan ini membuat saya gelisah. Walaupun masalahnya sudah dianggap selesai dan baju itu telah menjadi halal, tapi baju itu sebelumnya didapat dengan cara mencuri. Bagaimana mungkin seorang anak dapat memahami dan merasakan besarnya kejahatan mencuri jika barang bekas curiannya masih tetap melekat di badannya?
Ketika saya berkesempatan berbincang dengan orang tuanya, saya sampaikan kegelisahan saya ini. Saya jelaskan bahwa baju itu memang sekarang sudah halal, tapi hal itu sama sekali tidak mendidiknya. Kalau yang melakukan hal semacam itu adalah anak saya sendiri, saya akan menasihatinya dan menyuruhnya untuk membakar baju-baju itu. Saya tidak ridha dia memakai sesuatu yang bersumber dari perbuatan buruknya. Ia harus menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan yang besar.
Orang tuanya merasa berat untuk membakar atau membuang pakaian-pakaian itu, tapi setuju untuk menjauhkannya dari rumah. Mereka memutuskan untuk memberikan baju-baju itu kepada orang lain. Tak apalah, pikir saya, yang penting ia tidak lagi memakai baju-baju itu.
Membakar atau membuang baju-baju itu bukanlah sesuatu yang berlebihan atau salah untuk dilakukan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pernah melakukan hal ini. Pernah suatu kali beliau mendapati seorang pria mengenakan sebuah cincin emas di jarinya. Beliau kemudian menghampiri orang itu, melepaskan cincin emas dari jarinya, dan membuangnya ke tanah. ” Salah seorang dari kalian dengan sengaja melihat bara api dari neraka dan menggunakannya di tangannya,” kata beliau saat membuang cincin emas itu. Beliau kemudian meninggalkan tempat itu.
Orang itu masih berdiri di sana selama beberapa saat. Seorang yang melihat kejadian itu kemudian berkata kepada si pemilik cincin, ”Ambil cincin itu dan manfaatkanlah.”
Apa yang dikatakan orang itu tidak salah. Cincin dan benda-benda emas lainnya hanya haram untuk dikenakan oleh pria. Tapi emas sama sekali tidak haram untuk disimpan dan dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
Tapi apa respons pemilik cincin itu? Apakah ia mengambil kembali cincin yang telah dibuang itu dan kemudian memanfaatkannya dengan cara yang halal? Ternyata tidak. ”Demi Allah, saya tidak akan mengambil cincin yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah membuangnya,” kata orang itu (Hadits riwayat Muslim ini kami ambil dari buku Shaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Bekal Bagi para Dai di dalam Dakwah).
Betapa indah dan efektifnya tarbiyah Rasulullah kepada orang-orang di sekitarnya. Betapa indahnya sikap dan respons para sahabat terhadap nasihat dan peringatan Nabinya. Mengapa kita tidak mau mengambil pelajaran yang indah ini untuk kehidupan kita sehari-hari? Banyak di antara kita pada hari ini yang tidak ingin anak dan anggota keluarganya melakukan perbuatan buruk. Tapi sayangnya mereka membiarkan bekas-bekas keburukan melekat pada tubuh mereka. Atau bahkan membiarkan terjadinya suatu kesalahan tanpa adanya usaha yang serius untuk mengubahnya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ustadz Abdulbary Yahya, salah seorang instruktur pada al-Maghrib Institute, saat memberikan khutbah Jum’at di Masjid International Islamic University Malaysia (IIUM), 14 Oktober 2011: The Qur’an is not changed, the Sunnah is not changed, what is changed is our response to the Qur’an dan the Sunnah.
Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
19 Dzulqaidah 1432/ 17 Oktober 2011
Labels:
al-Qur'an,
al-Sunnah,
baju,
change,
cincin emas,
mencuri,
pakaian,
penyesalan,
perubahan,
Rasulullah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment