Friday, October 14, 2011
Klakson (Horn)
Saat mengendarai mobil (Malaysia: kereta) atau motor di jalan raya, terkadang kita mendengar orang di kendaraan lain membunyikan klakson (horn) ke arah kita. Apa yang kita rasakan saat mendengar suara klakson (horn) seperti itu? Merasa gembira dan tersanjung karena mendapat perhatian orang lain? Atau kita akan merasa kesal dan marah karenanya? Agaknya yang terakhir inilah yang lebih sering dirasakan, terlebih jika kita hidup di kota-kota besar. Sebabnya sederhana saja. Klakson-klakson itu biasanya dibunyikan untuk tujuan menegur atau komplain (complaint).
Ambillah contoh di dua buah kota, Kuala Lumpur dan Jakarta. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa membunyikan klakson di jalan-jalan Kuala Lumpur merupakan hal yang agak sensitif. Orang jarang menekan klakson, dan jika mereka membunyikannya kemungkinan besar mereka merasa kesal karena tidak suka dengan cara kita mengendarai kendaraan.
Di Jakarta orang lebih murah hati dalam menekan klakson. Di jalan-jalan raya, setiap berapa menit akan terdengar suara klakson dari mobil ataupun motor. Orang-orang begitu bersemangat dan menggebu-gebu dalam membunyikan klakson kendaraan mereka. Maklum, banyak jalan di kota ini sangat macet sehingga para pengendara menjadi sangat tidak sabaran.
Walaupun bunyinya hampir sama, tapi suara klakson itu dapat mewakili beberapa maksud. ”Cepat jalan, lampu sudah hijau!” ”Kalau jalan yang betul, punya mata nggak sih!” ”Kalau belok pakai lampu sen dong, dasar nggak punya otak!” Yah, kurang lebih begitulah bunyi lengkapnya kalau klakson itu bisa bersuara seperti manusia. Jadi wajar kalau orang lain akhirnya juga membalas bunyi-bunyi klakson itu dengan perasaan kesal dan marah.
Tapi saya punya pengalaman lain yang menarik saat saya pergi ke Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Tentu saja Padang Sidempuan bukan kota besar seperti Jakarta atau Kuala Lumpur. Lalu lintas (traffic) di kota itu sangat tidak beraturan. Lampu lalu lintas (traffic light) jarang ditaati oleh para pengendara. Saat lampu berwarna hijau, mereka jalan terus. Dan ketika lampu berwarna merah, mereka juga jalan terus.
”Jadi apa artinya dibuatkan lampu lalu lintas, kalau tidak ditaati?” saya bertanya pada kawan yang membawa kendaraan.
”Tidak ada artinya,” kata kawan saya dengan logat Batak yang cukup kental. ”Lampu dan peraturan lalu lintas ada untuk dilanggar.” Ia menjelaskan sambil tertawa ringan.
”Orang-orang kadang berhenti juga pada saat lampu merah kalau mereka mau atau kalau ada polisi di dekat situ,” Kata kawan yang lain. ”Karena orang-orang biasa melanggar peraturan lalu lintas, mereka yang ingin mentaati peraturan merasa kesulitan sehingga akhirnya terpengaruh oleh orang banyak dan terpaksa ikut melanggar juga.”
Bukan hanya melanggar lampu lalu lintas, kebanyakan pengendara motor di daerah itu juga tidak mengenakan helm (helmet). Kaca-kaca spion (wing mirror atau side mirror) juga dilepaskan dari motor-motor yang ada. Motor-motor yang digunakan kaum perempuan biasanya hanya menggunakan satu kaca spion, sementara yang laki-laki melepaskan kedua-dua kaca spion. Laki-laki yang menggunakan motor dengan kaca spion dianggap banci (Malaysia: pondan).
Terlepas dari hal itu, orang-orang di sana punya kebiasaan menarik terkait dengan klakson (horn). Saat saya diajak melakukan perjalanan bersama kawan-kawan di sana, mereka sering sekali membunyikan klakson. Saat melewati jalan yang agak sepi dan saat berpapasan dengan kendaraan lain, atau bahkan saat berpapasan dengan orang yang sedang berjalan atau duduk di tepi jalan, teman saya sering membunyikan klakson. Hal ini membuat saya merasa heran. Apakah orang-orang yang mendengarnya tidak merasa terganggu dan kesal.
”Mengapa sering membunyikan klakson seperti itu?” saya bertanya.
”Oh, itu kebiasaan kami di sini,” jawab kawan saya. ”Itu cara kami bertegur sapa dengan orang-orang.”
Wow, saya terkesan mendengarnya. Dan memang selama beberapa hari saya mengikuti perjalanan, saya hampir tidak mendapati mereka menekan klakson dengan nada marah. Sebagian besar bunyi klakson itu ditujukan untuk bertegur sapa. Jadi kalau klakson itu bisa bersuara seperti manusia, bunyinya kurang lebih seperti ini: ”Hai.” ”Halo” ”Assalamu’alaikum.” ”Bagaimana kabarnya?” ”Senang berjumpa dengan Anda.” ”Nanti kita jumpa lagi ya.” Dan orang-orang akan membalasnya dengan bunyi klakson yang juga ramah. Mungkin hal semacam ini tidak hanya berlaku di Padang Sidempuan, tetapi juga di beberapa daerah lain di luar kota-kota besar.
Ah, indah sekali jika orang-orang membunyikan klakson kendaraan mereka dengan tujuan yang baik dan ramah seperti ini. Cara pandang saya terhadap bunyi klakson berubah selama saya berada di Padang Sidempuan ...., setidaknya sampai saya berangkat lagi ke Kuala Lumpur dan Jakarta.
Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
17 Dzulqaidah 1432/ 15 Oktober 2011
Labels:
horn,
jakarta,
kereta,
klakson,
komunikasi,
kuala lumpur,
lalu lintas,
mobil,
motor,
padang sidempuan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment