Tuesday, October 11, 2011
Tangisan dan Kedewasaan
Tangisan itu bermacam-macam. Ada tangisan sedih dan marah karena apa yang dialami. Ada juga tangisan karena kekuatan cinta dan kelembutan hati.
“Huuu … huuuu …,” suara tangisan itu terdengar menyayat hati.
Ah, saya tak pandai mengekspresikan tangisan dalam tulisan. Sebenarnya, saya hanya hendak menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu, saat hendak tidur, di tengah malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara tangisan di belakang rumah.
Ish …, ini bukan cerita hantu, jangan pikir macam-macam. Yang menangis ini memang manusia. Suaranya tak berapa jauh, hanya beberapa rumah saja dari tempat kami. Rasanya itu bukan suara tangisan anak kecil, tetapi tangisan seorang perempuan dewasa. Ia menangis sesenggukan dengan suara yang cukup kuat dan dalam waktu yang cukup lama. Makin lama suara tangisannya semakin keras. Ia menangis seperti menangisnya seorang anak kecil yang baru kena hukuman dari ibunya, atau baru berkelahi (bergaduh) dengan temannya.
Ketika itu saya baru saja masuk kamar dan bersiap untuk tidur. Suara tangisan itu memecah rasa kantuk saya untuk beberapa saat lamanya. Entah kapan terakhir kali saya mendengar seorang dewasa menangis cukup keras seperti itu. Sedih juga rasanya mengetahui ada orang lain yang sedang bersedih tanpa tahu apa yang dapat dilakukan untuk membantunya.
Suara tangisan itu akhirnya berkurang dan menghilang ... atau mungkin saja tangisan itu tenggelam bersama hilangnya kesadaran saya yang kemudian terlelap dalam tidur. Yang jelas, saya tidak mendengarnya lagi setelah malam itu.
Apakah Anda pernah menghadapi masalah serius dan kemudian menangis sesenggukan seperti seorang anak kecil? Mudah-mudahan tidak. Tentu kurang pantas bagi seorang dewasa menangis seperti itu, walaupun ia sedang menghadapi musibah yang sangat berat dalam hidupnya.
Saya jadi teringat kisah Nelson Mandela saat ia akan menjalani sebuah ritual penting di usia enam belas tahun. Itu merupakan ritual pengangkatan anak-anak seusianya menjadi pria dewasa. Pada puncaknya, Mandela dan rekan-rekannya menjalani upacara penyunatan. Mereka disunat dengan sebuah pisau yang sangat tajam, tanpa anastesi (anaesthetize) sama sekali. Dapatkah Anda membayangkannya, disunat tanpa dibius. Seperti apa rasanya? Tentu sangat menyakitkan.
Tapi justru di sanalah inti dari ritual tersebut. Sebelum menjalani prosesi yang menyakitkan itu, Mandela mendapat sebuah nasihat yang sangat bermakna dan juga heroik: anak-anak merespons rasa sakit dengan menangis, orang dewasa tidak! Mandela dan kawan-kawannya sama sekali tidak menangis saat kulit kemaluannya dipotong dan rasa sakitnya seketika menyerang syaraf-syaraf otak mereka. Mereka menahan rasa sakit dan menolak untuk menangis, karena mereka kini sudah menjadi manusia yang dewasa.
Hidup ini seringkali menyakitkan, bahkan lebih menyakitkan daripada disunat tanpa anastesi. Tapi setiap kali merasakan sakitnya kehidupan, tahanlah tangisan atau setidaknya menangislah yang wajar dan tidak berlebihan. Terimalah apa yang sudah terjadi. Ingatlah nasihat di atas: anak-anak merespons rasa sakit dengan menangis, orang dewasa tidak!
Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
8 Dzulqaidah 1432/ 6 Oktober 2011
Labels:
anastesi,
bius.,
dewasa,
disunat,
kedewasaan,
menangis,
Nelson Mandela,
sunat,
tangisan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Tapi kenapa begitu sulit menahan tangis?
apa karena saya blum dewasa?? :)
Belum tentu juga. Kadang menangis itu tanda kelembutan hati. Nabi pun pernah menangis saat sedih.
Post a Comment