Saturday, October 22, 2011
Berulang kali mencuri
Aneh sekali orang-orang di jaman modern ini. Banyak yang mengenakan atribut Islami, tapi sama sekali tidak merasa takut dan malu kepada Allah.
“Saya pening dengan kejadian ini,” seorang direktur sebuah rumah sakit (hospital) di Riau bercerita tentang masalah yang dihadapi lembaga yang dipimpinnya itu. “Ini sudah terjadi berulang kali.”
Direktur rumah sakit ini bercerita tentang pencurian yang dilakukan oleh beberapa orang yang bekerja di bagian farmasi di rumah sakit tersebut. Ia baru saja memberhentikan beberapa orang dari pekerjaannya disebabkan oleh kejadian itu.
“Para pelakunya tidak melakukan hal ini secara sendiri-sendiri. Mereka melakukannya secara berjamaah dan saling bersekongkol untuk menutupi perbuatan tersebut. Hal ini berlangsung untuk waktu yang cukup lama,” ia melanjutkan ceritanya. “Mereka melakukan pencurian dan penipuan melalui pembelian obat rumah sakit. Kalau dihitung-hitung, kerugian yang ditanggung oleh rumah sakit ini mungkin lebih dari lima ratus juta rupiah (sekitar RM 175,000).”
“Itu jumlah yang sangat banyak,” saya berkata pada direktur tersebut. ”Bagaimana mereka bisa melakukan semua itu tanpa diketahui oleh rumah sakit?”
“Ada banyak yang terlibat di dalamnya, hingga mencapai dua puluh orang,” terang direktur rumah sakit itu. “Tapi ada satu orang yang rupanya memimpin dan mengatur semuanya. Uang hasil curian dibagi-bagikan kepada semua yang terlibat, sehingga kejadian itu tetap tidak diketahui untuk waktu yang lama. Sistem pembelian obat telah diatur dengan cara yang baik, tapi mereka rupanya menemukan celah untuk melakukan korupsi dari pembelian obat itu.”
“Mungkin salah saya karena terlalu mempercayai mereka,” lanjut direktur tersebut. ”Saya betul-betul tidak mengerti mengapa mereka bisa melakukannya. Kami selalu membuat pengajian rutin di rumah sakit ini dan mewajibkan mereka semua untuk menghadirinya. Kepada mereka telah dijelaskan tentang mengenal Allah, kebersamaan dengan Allah. Semua pegawai itu juga mengenakan jilbab rapih. Orang yang memimpin pencurian ini termasuk yang paling rajin mengikuti pengajian, selalu duduk di depan, dan sering bertanya kepada ustadz yang memberikan pengajian. Lalu mengapa dia masih berani mencuri?”
Saya pun merasa heran saat mendengar cerita itu. Sejauh yang saya perhatikan, rumah sakit itu termasuk yang sangat memelihara nilai-nilai keislaman. Semua pegawai perempuan mengenakan jilbab, para pegawai yang laki-laki juga sangat menjaga adab. Pengajian rutin merupakan salah satu program yang mesti dihadiri oleh para pegawai. Rasanya sulit dipercaya hal semacam ini bisa terjadi di tempat itu.
”Apakah ada cara penyampaian yang salah sehingga mereka tidak juga faham tentang haramnya mencuri? Atau jangan-jangan mereka telah terbiasa memakan makanan yang haram di rumahnya, sehingga mereka tidak lagi perduli dari mana dan dengan cara bagaimana mereka mendapatkan uang?"
Saya agak ngeri memikirkan kemungkinan itu. Kalau pegawai-pegawai yang berbusana Islami yang bekerja di tempat yang Islami telah terekspos (exposed) dengan hal-hal yang haram, bagaimana lagi dengan orang-orang selain mereka?
”Ketika kami akhirnya mengetahui kejahatan itu, kami terpaksa memberhentikan semua pegawai yang terlibat,” direktur itu kembali menjelaskan. ”Beberapa waktu setelah itu, orang yang memimpin pencurian itu mengirimkan sms kepada saya, meminta maaf, dan memohon agar diperkenankan kembali bekerja di rumah sakit. Karena selama ini saya cukup dekat dengannya dan selalu mempercayainya (walaupun kemudian ia mengkhianati kepercayaan itu), maka saya pun memaafkannya dan menerimanya kembali bekerja. Tapi ....”
”Apakah hal itu kembali terjadi?” saya bertanya penasaran.
”Kejadian itu memang terjadi lagi. Benar-benar tak dapat dimengerti. Baru saja dimaafkan dan diterima bekerja kembali, begitu melihat kesempatan untuk melakukan kejahatan, ia segera mencoba untuk melakukannya lagi. Tapi kali ini perbuatannya segera diketahui.”
”Saya memanggilnya ke ruangan saya,” direktur itu meneruskan ceritanya. ”Saya mengingatkan dia tentang semua yang telah difahaminya, tentang haramnya mencuri, tentang iman pada Allah, dan banyak hal lainnya.”
”Apakah ia menyesali perbuatannya?” tanya saya.
”Dia hanya diam saja,” direktur ini menjawab dengan nada kesal, seolah pegawai itu masih ada di ruangan itu juga. ”Tidak ada ekspresi di wajahnya. Tidak ada rasa takut pada Allah. Tidak ada perasaan malu karena telah melakukan perbuatan itu. Seolah-olah hatinya telah membeku. Saya benar-benar tak bisa memahami hal itu.”
”Saya tak bisa membiarkan hal ini lebih jauh,” sambung direktur itu lagi. ”Sebelum ini saya tidak mau melaporkan pencurian ini kepada polisi. Tapi sekarang saya terpaksa melaporkannya. Dan ketika saya menyebutkan tentang polisi di depannya, wajah pegawai itu langsung berubah. Ia mulai merasa khawatir dan ketakutan. Ah, rupanya dia tidak takut kepada Allah. Dia hanya takut kepada polisi. Ya sudahlah, biar ia menyelesaikan urusannya dengan polisi dan menikmati hari-harinya di penjara.”
Saya lama merenungkan cerita itu. Sudah separah inikah perilaku mencuri dan korupsi di negeri ini? Kalau kepada Allah seorang sudah tak lagi takut, maka tak banyak hal yang dapat menahan seseorang dari melakukan keburukan. Kita berlindung kepada Allah dari hal semacam ini.
Alwi Alatas
Kuala Lumpur,
11 Dzulqaidah 1432/ 9 Oktober 2011
Labels:
Allah,
hospital,
korupsi,
mencuri,
pegawai,
rumah sakit,
takut pada Alah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
tulisan yang bagus dan sekaligus membuat hati kita tersentak, betapa sudah tidak ada lagi rasa takut pada Allah ketika melakukan dosa dizaman sekarang ini
Memang sudah terlalu banyak kasus pencurian dan korupsi yang menyentak kita, sampai banyak dari kita pada hari ini yang mungkin mulai kehilangan 'sense' dan lupa untuk tersentak saat membaca berita-berita tentang korupsi.
Post a Comment