Sunday, October 16, 2011

Kita ikut dia ...


Masih cerita dari Padang Sidempuan. Suatu hari saya melakukan perjalanan dengan mengendarai mobil (Malaysia: kereta) bersama beberapa orang teman. Yang membawa kendaraan ketika itu adalah akh Yunus, seorang pengusaha yang masih sangat muda usianya.

Ketika mobil yang kami kendarai melewati suatu jalan, salah seorang yang ada di kendaraan bertanya, ”Kita akan lewat jalan mana?”

“Kita akan ikut mobil yang depan itu,” jawab Yunus sambil tersenyum. Ia menunjuk sebuah mobil di depannya yang berwarna hitam.

Loh, memangnya itu mobil siapa? Saya yang duduk di sebelah Yunus sama sekali tidak mengerti. Dari tadi mobil itu sama sekali tidak bersama dengan mobil kami dan kami tidak mengenalnya.

”Tapi kalau dia berhenti, kita terus,” lanjut Yunus sambil tertawa ringan. Ia berbicara dengan logat Medannya yang khas. ”Kalau dia lurus, kita belok.”

Dan tak berapa lama kemudian, saat mobil yang di depan itu berjalan lurus, Yunus memang membelokkan kendaraan ke sebuah jalan di sebelah kiri.

Kami tersenyum disebabkan perkataan Yunus itu. Ah, rupanya ia hanya bercanda. Mobil yang tadi itu memang mobil orang lain yang tidak kami kenal. Kami sama sekali tidak sedang mengikutinya.

Tapi kemudian saya berpikir, jangan-jangan apa yang dikatakan Yunus itu berlaku juga dalam kehidupan kita. Kalau hanya senda gurau seperti di atas, mungkin tidak ada masalah. Tapi kalau ia berlaku dalam hal yang prinsip dan sangat serius, bagaimana?

Boleh jadi kita ditanya, ”Siapa yang kamu ikuti?”

Dan jawabannya adalah, ”Nabi Muhammad! Tapi kalau beliau pergi ke sana, saya tidak akan ikut. Kalau beliau mengajak kepada ini dan itu, saya akan memilih yang lain.”

Atau mungkin kita ditanya, ”Apa agama yang kamu ikuti?”

Dan kita menjawab dengan cepat, ”Islam! Tapi kalau ia bergerak lurus, saya akan belok ke jalan yang lain.”

Kata-kata yang awal dan diberi tanda seru merupakan jawaban kita saat ditanya, dan kalimat yang berikutnya mungkin tidak kita katakan secara terus terang, tetapi kita lakukan dalam tindakan kita sehari-hari.

Kalau demikian, lalu apalah makna dari mengikuti (ittiba’) jika tidak diikuti dengan ketaatan serta perilaku yang sesuai sebagai pengikut? Apa artinya kita mengikuti sesuatu yang kita anggap sangat penting dalam hidup ini jika kemudian kita tidak benar-benar mengikutinya? Mudah-mudahan kita terhindar dari hal semacam ini.

Alwi Alatas
Kuala Lumpur
17 Dzulqaidah 1432/ 15 Oktober 2011

3 comments:

Anonymous said...

Itulah yang saya gak suka dalam hubungan sosial dengan orang2, klo manis ngikut, giliran pahit ogah, maunya tinggal dapet enaknya, terima bersih aj.

Rata2 orang kurang mau berusaha keras demi mencapai tujuan, padahal tujuannya baik.

Ahhkkk.. saya jd ngomong yg enggak2.
Lagi kuesssel saya, pny temen gda yg beres.

Alwi Alatas said...

Mudah-mudahan setelah ini dapat teman yang baik, jadi gak dibikin kesal. :)

Zaenab Na'imah Alatas said...

*Intropeksi*

Banyak sekali arah2 yg tak sejalan dengan yg saya ikuti :(

Semoga Allah selalu memberi petunjuk agar kembali mengikuti jalan yg sama..