Wednesday, October 28, 2009

Kisah Penjual Gado-gado

Kisah Penjual Gado-Gado
Alwi Alatas

Sudah hampir setahun lamanya saya tidak pulang ke Jakarta. Selama belajar di Malaysia, biasanya saya kembali ke Jakarta setiap empat bulan sekali. Tapi sejak bulan November 2006 lalu, saya tidak pernah pulang sampai sepuluh hari menjelang Iedul Fitri bulan Oktober 2007 lalu. Maklum, dalam setahun terakhir ini saya mengajak istri ikut ke Kuala Lumpur.

Hidup di negeri orang tentunya harus banyak menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, termasuk dalam hal makanan. Untungnya lidah kami berdua cocok dengan lidah orang-orang di sini yang sehari-hari biasa makan roti canai dan nasi lemak serta minum teh tarik atau Milo suam. Walaupun begitu, rasa rindu terhadap makanan dan jajanan Indonesia tentunya juga muncul, apalagi setelah sekian lama tinggal di Kuala Lumpur.

Alhasil, ketika pulang ke Jakarta pada awal Oktober lalu, kami sama-sama “ngidam” jajanan Ibukota. Istri saya berkali-kali minta dibelikan siomay dan beberapa kali mencegat – dengan bantuan keponakannya tentunya – tukang bakmi yang biasa lewat di depan rumah. Saya sendiri tidak punya target khusus, tapi selama beberapa hari di Jakarta, alhamdulillah berbagai macam jajanan berhasil saya jajal. Dengan begitu, kerinduan yang sekian lama tertahan bisa terpuaskan. Tetapi, di antara jajanan-jajanan yang ada, masih ada satu yang sejauh itu belum juga berhasil saya dapatkan … gado-gado. Entah kenapa, berbagai kesempatan untuk membeli dan mencicipi gado-gado sepenuhnya terlewatkan. Dan karenanya, selama beberapa minggu, obsesi makan gado-gado belum juga terpenuhi.

Kira-kira dua minggu setelah lebaran, saya dan keluarga (istri saya ketika itu tidak ikut) pergi bersilaturahim ke rumah seorang famili di Bogor. Agak lama juga kami berada di sana. Ketika akan pulang ke Jakarta, waktu shalat Ashar sudah masuk. Berhubung saya tidak menjamak shalat, saya turun di sebuah masjid kecil untuk shalat sementara kakak saya pergi mengambil barang yang tertinggal di rumah yang kami kunjungi sebelumnya. Selesai shalat, mobil sudah parkir lagi di depan masjid. Saya masuk ke dalam mobil, sementara kakak saya gantian masuk ke dalam masjid untuk shalat Ashar.

Belum lama duduk di dalam mobil, seorang bapak tua berjalan tertatih-tatih menuju mobil tempat saya menunggu. Dengan suara lemah ia menawarkan makanan yang ia jual sambil menunjuk ke arah gerobak kusamnya yang diparkir tak jauh dari mobil kami. Karena memang tidak berniat jajan, serta merta saya menolak tawaran itu dengan halus. Saya bahkan sudah berniat menolaknya sebelum bapak tua itu menawarkan barang dagangannya.

Bapak itu masih belum menyerah. Ia sekali lagi menawarkan dagangannya kepada saya, tidak dengan sifat agresif atau sikap memelas yang dibuat-buat, tapi dengan permohonan yang nyaris tak mengeluarkan suara, diiringi dengan rasa putus asa. Lagi-lagi, tanpa menunggu bapak itu selesai bicara, saya kembali menolaknya secara halus. Saya hanya meliriknya sedikit, khawatir tatapan saya ke arah penampilannya yang memelas akan membuat saya terenyuh dan akhirnya mendorong saya untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak saya perlukan.

Merasa tidak berhasil menawarkan dagangannya kepada kami, bapak tua itu berjalan tertatih meninggalkan mobil. Saya pikir ia akan langsung kembali duduk di samping gerobaknya untuk menunggu calon pembeli yang mestinya – saya pikir – bakal datang cepat atau lambat. Tapi ternyata tidak! Bapak tua itu berjalan dengan langkah-langkah yang rapuh memasuki pekarangan masjid. Ia mendekati seorang tukang bangunan yang sedang merapikan kayu-kayu untuk bahan renovasi masjid dan menawarkan makanan jajaannya kepada si tukang tadi. Tukang itu pun menggeleng halus. Dan ia kembali menggeleng ketika bapak tua itu masih berusaha membujuknya, membuat si bapak berdiri gamang di tempatnya untuk beberapa saat.

Mungkin karena posisi yang agak jauh dan tidak merasa terganggu oleh bujukan si bapak tadi, saya merasa lebih bebas untuk memperhatikan gerak langkah dan keresahannya. Di bawah naungan senja yang mulai meremang, orang tua itu masih berada di jalan dengan langkah lunglai dan ekspresi tak berdaya. Pada momen-momen yang singkat itu, beberapa pertanyaan mulai terlintas di benak saya. Apa yang dijual bapak ini? Berapa umurnya? Apakah dagangannya ada yang membeli? Mengapa ia terlihat begitu sedih dan putus asa? Bapak ini adalah kepala keluarga dari istri dan anak-anak yang mungkin sedang menanti sang ayah datang dengan membawa rizki tak seberapa yang berhasil diraihnya pada hari itu. Apakah yang seberapa pada hari itu benar-benar mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga si bapak?

Gerimis rasa haru mulai turun rintik-rintik di pelataran hati saya. Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu saya yang ikut mengamati dari jendela pintu depan. Kasihan Bapak ini, begitu Ibu saya bergumam. Saya pun mulai merasa kasihan, tetapi rasa kasihan itu masih dalam bentuk gerimis yang belum cukup kuat untuk membuat seorang segera bertindak, tetapi ia lumayan memadai untuk membuatnya sadar akan adanya sesuatu yang membutuhkan respon. Hati saya tergerak untuk membeli dagangan si Bapak, walaupun mungkin nantinya tidak akan saya makan. Saya tidak begitu yakin dengan enak tidaknya makanan yang ia jual, mengingat penampilan gerobaknya yang begitu sederhana.

Mata saya mengawasi bapak itu ketika ia berjalan melewati mobil. Bapak itu masih menaruh harapan saya mau membeli makanannya, dan kali ini harapannya tercapai. Saya membuka pintu mobil sedikit dan tersenyum ke arahnya. Ia berjalan mendekat, masih tertatih-tatih.

“Beli Pak ….” pintanya samar sambil menunjuk lemah ke arah gerobak tuanya.

“Bapak jualan apa?” saya bertanya pada bapak itu sembari bertekad untuk membeli apa pun yang ia jual.

“Saya jual gado-gado dan rujak …,” jawabnya dengan suara yang dalam dan lemah, seolah ada sisa-sisa kelelahan yang panjang di dalam dirinya.

Hmmm, gado-gado? Saya merasa kurang yakin. Gado-gado seperti apa yang ia jual. Terus terang saya ragu kalau saya bakal menyukai gado-gado yang dibuat bapak ini. Tapi itu tidak penting, karena tujuan utama saya adalah membantu si Bapak.

“Berapa harga gado-gadonya, Pak?” saya mengajukan pertanyaan yang biasa diajukan oleh setiap calon pembeli. Tiga ribu rupiah, empat ribu rupiah? Saya menduga-duga berapa harga seporsi gado-gado si bapak. Gerobaknya yang kusam malah membuat saya berpikir jangan-jangan harga seporsi gado-gadonya cuma dua ribu atau dua ribu limaratus.

“Berapa saja Pak, terserah …, saya senang ada yang beli,” jawabnya dengan suara bergetar. Jawaban itu betul-betul membuat saya tersentuh. Bapak ini benar-benar sudah menyerah dan mengabaikan posisi tawarnya. Ia sedang menginformasikan dengan halus bahwa ia tidak sedang dalam posisi jual-beli. Ia sedang membutuhkan pertolongan.

Secara spontan tangan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan memberikannya kepada si bapak.
“Saya beli lima ribu, Pak,” ucap saya dengan lintasan pemikiran bahwa uang segitu sudah lebih dari harga standar seporsi gado-gadonya. Si bapak menerima uang itu dengan rasa syukur. Ia berjalan kembali ke gerobaknya dengan tubuh gemetar. Saya memperhatikan orang tua itu berjalan dan seketika saya merasa telah melakukan sebuah dosa karena hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepadanya.

Baru saja akan mulai membuat gado-gado, si Bapak teringat sesuatu dan berjalan kembali dengan tertatih-tatih ke arah mobil. Saya merasa tidak tega dan segera turun dari mobil untuk mencegah supaya si Bapak jangan berjalan mondar-mandir ke mobil hanya karena ingin menanyakan sesuatu.

“Pakai ketupat?” tanya si bapak.

“Boleh Pak. Gado-gadonya dibungkus saja, kerupuknya kalau bisa dipisah,” pesan saya sambil mendekat.

Orang tua itu mengangguk dan berbalik kembali ke gerobaknya. Ada sepercik etos melayani pada gerak-gerik si bapak. Etos untuk memberikan yang terbaik bagi seorang konsumen. Namun etos itu terlihat rapuh tergerusi beban hidup yang begitu panjang serta ketidakpastian yang menghadang di hadapan.

Saya berjalan menuju gerobak tua itu dan ikut berdiri menemani di samping si bapak. Saya memperhatikan bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat gado-gado. Bahan-bahan itu tidak banyak jumlahnya dan komposisinya terlihat begitu aneh untuk standar pembuatan gado-gado yang pernah saya cicipi selama ini. Kacang-kacang goreng yang ia gunakan bahkan masih bulat utuh, lengkap dengan kulit-kulitnya yang berwarna coklat gelap, membuat tampilan gado-gado itu menjadi semakin tidak memikat. Saya membayangkan betapa para juru masak di kota-kota besar memiliki perlengkapan yang begitu mewah serta bahan-bahan masakan yang sangat lezat dan menarik, sehingga konsumen-konsumen mereka sanggup mengantri sekian lama untuk bisa mencicipi makanan-makanan yang harganya cukup mahal itu. Tanpa mengabaikan rasa iba, sisi professional saya mengatakan bahwa makanan si bapak ini benar-benar tidak layak jual. Siapa yang mau beli gado-gado semacam ini? Saya berkata dalam hati dengan perasaan tidak tega.

“Bagaimana jualannya, Pak?” saya bertanya perlahan dan hati-hati.

“Dari pagi baru ada dua orang yang beli, Pak,” jawabnya dengan suara parau. Tangannya yang gemetar masih terus mengulek kacang.

Dagangannya memang tidak laku, gumam saya dalam hati, dugaan saya ternyata memang benar. Tapi pada saat yang sama saya juga menyadari bahwa ada kebenaran lain yang sangat menyakitkan. Orang tua ini – yang seharusnya bisa beristirahat di rumah dengan tenang dengan mendapat tanggungan dari anggota keluarganya atau jaminan sosial dari pemerintah – ternyata masih berkeliling untuk mencari nafkah. Baginya itu tentu bukan sebuah pilihan. Itu merupakan tuntutan hidup yang tak mampu ditolaknya. Ia yang sudah renta dan layu masih harus berkeliling mendorong-dorong gerobak tuanya menjajakan gado-gado dan rujak ke berbagai tempat. Dan pada hari ini, ketika matahari sudah menjelang terbenam, ia masih belum mendapatkan pembeli kecuali dua orang.

Ia mulai menaburi bumbu kacangnya dengan potongan tahu, mentimun dan beberapa bahan lainnya. “Modalnya saja masih belum dapat,” ia melanjutkan dengan suara pelan. Suaranya bagai angin yang bergesekan lemah dengan dedaunan kering di di musim kemarau. “Saya sendiri sebenarnya sedang sakit ….”

Saya sulit membayangkan itu semua. Lantas bagaimana dengan makan dan kebutuhan keluarganya pada hari itu? Bagaimana dengan dagangannya untuk esok hari? Kini saya yang merasa tak berdaya. Saya yang tinggal di kota, dari keluarga yang berkecukupan, apa yang bisa saya lakukan untuk orang tua ini? Hanya menyampaikan rasa simpati? Menepuk-nepuk bahunya dan menganjurkannya untuk bersabar (padahal ia lebih mengetahui arti kesabaran daripada saya)? Atau saya merasa cukup hanya dengan mendoakannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya hanya bisa mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah yang ada di kantong saya dan menghadiahkannya kepada si bapak ketika orang tua itu hampir selesai dengan pekerjaannya. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Di kantong saya hampir tidak ada uang lagi. Saya memang tidak membawa uang yang cukup pada hari itu. Si bapak mengucapkan terima kasih dengan sisa-sisa suaranya.

Bapak itu membungkus gado-gado dengan kertas coklat. Perlengkapan dagang si bapak begitu terbatasnya. Ia bahkan tidak mempunyai kantong plastik untuk menjinjing bungkus gado-gado saya. Ia terlihat kerepotan mencari jalan untuk membungkus kerupuk. Sebelumnya sempat saya katakan supaya kerupuknya dicampur saja dengan gado-gado, tidak perlu dipisah, tapi ia tetap bertekad untuk membungkus kerupuknya secara terpisah. Lantas diambilnya kertas coklat untuk digunakan sebagai pembungkus kerupuk. Saya memohon lagi kepadanya supaya ia tidak perlu bersusah payah seperti itu, biarkan saja saya membawa gado-gadonya tanpa disertai kerupuk. Tapi ia seperti tidak perduli. Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membungkus kerupuk-kerupuk itu dengan kertas pembungkus.

Setelah semuanya siap, saya hendak mengambil kedua bungkusan itu untuk saya bawa ke mobil. Tapi ia menolak dan memaksa untuk ikut membawakannya sampai ke mobil. Saya betul-betul tak berdaya dan merasa iba sekaligus kagum melihatnya berjalan tertatih seperti itu. Ia sedang sakit. Guratan kepayahan yang bercampur dengan rasa syukur terlihat jelas di wajahnya. Ketika sudah sampai di mobil, kakak saya yang sudah duduk di kursi pengemudi mengulurkan tangannya untuk memberikan uang kepada si bapak. Saya tidak tahu berapa besar uang yang diberikan. Saya pun masuk dan mobil segera bergerak meninggalkan tempat itu diiringi tatapan sendu dan lambaian tangan si bapak.

Saya meletakkan bungkusan gado-gado itu di dalam sebuah plastik yang ada di dalam mobil. Saya tidak bisa memakannya, karena tidak ada sendok di dalam mobil dan rasanya tidak nyaman kalau harus makan dengan tangan sementara kendaraan terus bergerak. Saya tahu gado-gado itu akan benyek pada saat nanti tiba Jakarta dan kalau sudah begitu rasanya tentu jadi semakin tidak enak. Saya tahu gado-gado itu akan berubah rasa saat tiba di Jakarta nanti, tapi saya bertekad untuk memakannya, walaupun hanya sedikit. Kami terus berjalan sampai akhirnya tiba di Jakarta Selatan menjelang Maghrib.

Ketika tiba di rumah, saya langsung menghampiri istri saya dan menunjukkan bungkusan gado-gado yang ada di tangan saya. “Lihat!” saya tersenyum kepadanya, “Akhirnya saya mendapatkannya setelah hampir satu tahun tidak makan gado-gado.” Ya. Ini memang gado-gado pertama yang saya temui dalam satu tahun terakhir!

Istri saya tersenyum. “Jadi akhirnya berhasil juga dapat gado-gado? Beli di mana?”

Maka saya pun menceritakan seluruh kejadiannya sambil mempersiapkan gado-gado itu di atas piring. Gado-gado itu sangat banyak sampai-sampai porsi saya masih lebih dari cukup walaupun saya sudah membagi sebagian gado-gado itu untuk istri dan ibu mertua saya.

“Apa …?” istri saya langsung protes ketika saya sudah selesai bercerita, “Kanda cuma memberikan dua puluh ribu untuk bapak tua yang sedang kesusahan itu? Kenapa tidak memberikan lima puluh ribu atau lebih lagi?”

“Saya tadi sedang tidak bawa uang Sayang,” saya mengelak, “Lagi pula, yang saya berikan itu sudah hampir mewakili seluruh isi kantong saya.”

“Tapi kan bisa pinjam uang dulu dari Umi (maksudnya Ibu saya),” ia masih memprotes.

“Iya sih, tapi entahlah tadi saya sama sekali tidak terpikir ke arah sana,” lagi-lagi saya membela diri.

Istri saya masih menyesali apa yang telah terjadi untuk beberapa waktu lamanya. Dan saya tahu ia benar. Mungkin itu adalah salah satu hal yang paling saya sesali dalam hidup saya.

Saya terus terbayang-bayang wajah sendu si Bapak tua ketika saya memakan gado-gado di piring saya. Saya memakan gado-gado itu, dan terus memakannya dengan lahap. Saya terus memakan gado-gado itu sampai dasar-dasar piring saya mulai terlihat. Wajah bapak tua itu terus membayang. Senyumannya yang nyaris tak tampak sudah cukup memadai untuk menyibak perlahan kerut-kerut di wajahnya sebagai pembuka jalan bagi sinar matahari sore memantul lepas menjajakan keceriaan serta kebahagiaan bagi alam di sekitarnya. Bayang-bayang tangannya yang gemetar tapi ikhlas telah menyadarkan saya bahwa energi ketulusannya telah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa bagi makanan yang dibuatnya.

Saya terus makan sampai gado-gado di piring saya ludes tak tersisa. Saya tertegun untuk beberapa saat sambil menatap piring saya yang sudah kosong. Kini saya sadar sepenuhnya. Saya betul-betul tidak mampu untuk menolak sebuah kebenaran yang lain … itu adalah gado-gado paling lezat yang pernah saya makan seumur hidup saya!

Kuala Lumpur, 14 November 2007
Ditulis sebagai kenangan untuk Bapak penjual gado-gado di Bogor
Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan hingga akhir hayatnya

1 comment:

Cisca Zarmansyah said...

Pembeli dan penjual gado-gado itu sama-sama menyeimbangkan kehidupan ini dengan keikhlasan mereka masing-masing.