Sudah Makan ...?
Alwi Alatas
Teman saya yang satu ini, anggap saja namanya Pak Hadi (bukan nama sebenarnya), sangat suka bersosialisasi dengan siapa saja. Walaupun ia sangat kaya dan penghasilannya sangat besar, tapi ia biasa bergaul dengan banyak orang. Kalau saya perhatikan, setiap kali pergi dan pulang dari mushala kecil di dekat rumahnya, hampir tak pernah ia mengabaikan kesempatan bertegur sapa dengan orang-orang yang dilewatinya. Bahkan terhadap orang yang tak dikenal pun ia akan berusaha menyapa dan ambil perhatian. Saya suka malu sendiri kalau ingat kelebihan kawan saya ini.
Beliau bukan hanya suka bertegur sapa, tapi juga suka membantu orang yang kesulitan ekonomi. Tidak jarang ia yang berinisiatif mencari tahu keadaan seseorang, kalau-kalau ia memerlukan bantuannya. Jika memang ada yang perlu dibantu, maka ia akan dengan senang hati menolongnya. Hal itu membuatnya dekat dengan banyak orang, mulai dari para ustadz yang kadang dibelikan motor hingga tukang pasang marmer yang akhirnya menjadi anak buahnya dalam bisnis marmer.
Walaupun kaya dan bergaji besar, beliau tidak sungkan keluar masuk tempat yang sangat sederhana atau berteman dengan orang dari kalangan yang sangat miskin sekalipun. Saya pernah diundang mengisi pengajian di rumahnya yang ternyata pesertanya adalah tukang batu, tukang sayur, tukang kaligrafi masjid, dan pekerja dengan profesi sejenis. Rasanya indah sekali menyaksikan orang-orang dengan latar belakang ekonomi yang jauh berbeda bisa duduk bersama-sama dalam suasana yang akrab.
Nah, Pak Hadi ini bercerita bahwa dulu ia pernah punya seorang tetangga. Tetangganya ini tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Ia cukup dekat dengan tetangganya ini dan biasa berinteraksi dengannya. Walaupun begitu, sebuah kejadian telah membuatnya tersentak. Ternyata masih ada hal-hal yang tidak diketahuinya tentang tetangganya ini.
Suatu hari ia memutuskan mampir ke rumah tetangganya ini untuk bersilaturahim. Walaupun agak malu dan merasa kurang enak dengan keadaan rumahnya yang sederhana, tetangganya ini menerima kehadiran Pak Hadi. Ia mempersilahkan kawan saya ini masuk ke dalam.
Pak Hadi bukan tipe orang yang jaim (jaga image). Kalau sudah dekat dengan seseorang ia tidak akan merasa sungkan dalam berinteraksi dengan orang itu. Begitu pula halnya ketika ia mampir ke rumah tetangganya ini.
”Ada siapa saja di rumah?” ia bertanya pada tetangganya saat masuk ke dalam rumah.
”Lagi nggak ada orang,” jawab tetangganya itu. ”Saya sendirian saja sekarang ini.”
”Sudah makan belum?” tanyanya lagi sambil melihat-lihat ke sekeliling rumah.
”Sudah Mas, alhamdulillah.”
”Masak? Di mana dapurnya? Boleh saya lihat?” tanya Pak Hadi santai.
“Wah, nggak enak, Mas. Dapurnya jelek,” jawab tetangganya itu malu.
“Ah, nggak apa kok, saya cuma mau tahu aja. Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa.”
“Boleh kok, Mas,” tetangganya mengalah dan menunjukkan dapurnya pada beliau.
Saat memasuki dapur, mata Pak Hadi tertumbuk pada sebuah penggorengan kecil yang terletak di atas penggorengan yang sangat sederhana.
“Hmmm, baru masak ya?” tanya Pak Hadi.
Yang ditanya diam saja.
“Masak apa sih? Saya kok nggak diajak makan,” ujar Pak Hadi sambil menyentuh tutup penggorengan.
Tetangganya itu terkejut dan seperti hendak menghalangi Pak Hadi. Tapi ia tak sampai melakukannya ... dan itu juga sudah terlambat. Tangan kawan saya ini sudah terlanjur mengangkat tutup penggorengan dan melihat makanan yang ada di dalam penggorengan itu. Apa yang dilihatnya membuat ia sangat terkejut. Di balik penggorengan itu ada daging-daging bekicot. Ya, bekicot yang bisa ditemukan di pojok-pojok luar rumah yang lembab. Itulah yang menjadi menu tuan rumah pada hari itu ... dan mungkin juga hari-hari lainnya.
Kawan saya ini tentu saja merasa tidak enak dengan kejadian itu, sekaligus juga merasa sedih karena ternyata tetangganya sendiri masih ada yang tak mampu membeli lauk sampai terpaksa mengumpulkan dan memasak keong yang ada di sekitar rumahnya. Ia juga merasa segan karena tetangganya ini menjaga diri dari meminta-minta, walaupun kondisi ekonominya sangat susah. Maka ia pun membantu tetangganya itu dan memintanya untuk terbuka padanya jika ia memerlukan sesuatu.
Kebanyakan pembaca tentu tidak pernah merasakan menu makanan seperti di atas. Karena itu, bersyukurlah atas makanan yang kita peroleh, sesederhana apa pun makanan itu. Jika kita sedang duduk di depan meja makan dan tidak menyukai hidangan di atas meja, bayangkanlah daging bekicot di dalam penggorengan. Barangkali itu membuat kita lebih menghargai makanan yang ada.
27 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment