Rem putus saat kecepatan tinggi
Alwi Alatas
Kita belum betul-betul memahami resiko sebuah bahaya sampai kita berhadapan sendiri dengan maut
Saya teringat ada seorang ustadz di Yogyakarta yang sangat perhatian terhadap kendaraan rekan-rekannya yang aktif berdakwah, terutama terhadap mereka yang mengendarai motor. Setiap kali ia melihat ban motor rekannya sudah tipis atau gundul, atau ada kekurangan lainnya pada sepeda motor tersebut, ia akan menasehatinya. “Kamu ini da’i, kamu juga punya anak istri. Jangan anggap remeh ban yang sudah gundul ini. Kalau sampai terjadi kecelakaan, keluarga kamu akan kehilangan, umat juga akan kehilangan.
”Ini merupakan sebuah kebenaran yang sering kita abaikan. Kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Banyak yang akan merasa kehilangan kalau kita sampai mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Seperti banyak orang lainnya, saya dulunya juga sering meremehkan perkara-perkara yang kelihatannya kecil. Pernah rem tangan sepeda motor saya tak berfungsi. Saya tak segera memperbaikinya. Sibuk, begitu alasan yang membuat saya menunda pergi ke bengkel. Hari demi hari berlalu dan rem itu saya biarkan tak berfungsi. Toh masih ada rem kaki, demikian pikir saya.
Lalu pada suatu pagi, saya mengendarai sepeda motor dari daerah Gombak menuju ke tempat mengajar di wilayah Ampang, Kuala Lumpur. Motor saya arahkan melewati jalan besar yang biasa disebut MRR2. Jam menunjukkan waktu antara pukul 9-10 pagi, waktu yang sangat sibuk. Jalan penuh dengan mobil-mobil yang meluncur cepat ke tempat tujuan masing-masing.
Saya memacu motor dengan kecepatan yang cukup tinggi supaya bisa sampai di tempat mengajar tepat waktu.Jalur MRR2 merupakan sebuah jalur utama lalu lintas yang tidak dihalangi oleh lampu lalu lintas, kecuali ketika kendaraan bergerak keluar untuk memasuki jalur lain. Jalan turun melalui under pass atau naik lewat way over setiap kali bertemu dengan jalur yang melintanginya. Jalan yang besar-besar dan jarang dihalangi oleh kemacetan membuat mobil-mobil dan motor di Kuala Lumpur kebanyakan melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Motor bergerak cepat seolah berpacu dengan mobil-mobil di sekitarnya. Menjelang Zoo Negara (kebun binatang), jalan naik ke atas. Motor saya menanjak ke atas dan siap meluncur turun kembali. Saya tekan rem kaki untuk mengurangi kecepatan. Kecepatan tidak berubah, justru bertambah karena jalan yang mulai menurun. Saya kembali menginjak rem, tapi tak ada perubahan. Saya injak rem berkali-kali dengan perasaan takut.
Jantung saya seolah melompat keluar dari rongga dada. Rem kaki saya tiba-tiba putus dan tidak berfungsi.Motor meluncur semakin cepat di samping mobil-mobil yang juga melaju kencang. Jalan memanjang dan menurun di depan sana, motor bergerak semakin laju, dan tidak ada rem sama sekali. Entah apa yang akan terjadi berikutnya. Rasanya maut mengintai dari jarak yang dekat sekali.
Saya teringat istri dan anak-anak saya. Saya teringat murid-murid saya, orang-orang yang mengikuti pengajian saya.Saya tidak hidup sendirian. Bagaimana dengan orang-orang yang saya cintai kalau maut betul-betul menjemput?
Motor meluncur turun dengan kecepatan yang terus bertambah. Jalan menurun yang panjang. Tidak ada yang bisa menghentikan motor itu, kecuali setelah ia mencapai jalan mendatar jauh di depan sana ... atau ada sebuah mobil yang akan membenturnya dan membuatnya jatuh dengan keras.
Saya menurunkan kaki dan menekan sepatu saya ke aspal sebisa saya. Usaha itu nyaris sia-sia. Motor tetap melaju kencang. Rasanya tidak ada lagi yang bisa saya lakukan selain pasrah. Kengerian menyelimuti perasaan. Lisan saya mengucapkan berbagai doa yang terlintas di dalam kepala.
Tak jauh di depan ada jalan masuk menuju Zoo Negara. Namun jalur menurun yang saya lalui bertemu dengan jalur kendaraan masuk dari sebelah kiri. Sewaktu-waktu motor saya bisa dihantam dengan keras oleh mobil-mobil yang melaju dari bagian kiri jalan. Saya sama sekali tidak bisa menahan kecepatan motor saya jika tiba-tiba ada kendaraan lain yang tidak mau mengalah di samping saya. Saya cuma bisa berdoa supaya bisa selamat dalam menepikan motor ke pinggir jalan. Untungnya tidak ada mobil yang menyalip dari sebelah kiri.
Motor berhasil diarahkan ke Zoo Negara. Tapi jalan di situ ternyata juga menurun. Saya kembali menekan sepatu ke aspal sambil tak henti berdoa. Perlahan-lahan, motor mulai berhenti. Setelah beberapa saat, kendaraan roda dua itu akhirnya berhenti sama sekali. Saya segera memarkir kendaraan itu dan turun.
Saya duduk di pinggir jalan dan diam untuk beberapa saat. Jantung saya masih berdebar kencang Pengalaman itu seolah melumpuhkan seluruh syaraf saya. Selama beberapa saat lamanya, seluruh kehidupan saya seperti tersedot ke dalam pengalaman menakutkan yang baru saja saya alami.
Setelah perasaan mencekam itu mulai hilang, saya mengeluarkan handphone untuk menelpon atau meng-sms teman. Tapi ternyata pulsa saya habis. Saya juga tidak membawa cukup uang untuk mengendarai taksi. Seorang bapak yang mengamati apa yang terjadi pada saya sebelumnya berjalan mendekat dan menanyakan keadaan saya. Saya menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada bapak itu. Ketika ia menawarkan bantuan, saya menanyakan apakah boleh meminjam handphone-nya untuk mengirim sms. Ia mengangguk dan mengeluarkan handphone.
Saya mengirim sms kepada seseorang di tempat saya mengajar, menanyakan apakah saya boleh meminjam uang setibanya di sekolah nanti. Saya mendapat jawaban positif, lalu segera mencari taksi dan menuju ke sekolah.
Saya bersyukur, tidak terjadi sesuatu pada saya dan motor saya. Sejak saat itu saya tidak pernah menunda-nunda lagi jika ada bagian motor yang perlu diperbaiki. Saya tidak hidup sendirian. Ada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab saya. Ada orang-orang yang mengikuti pengajian saya.
Merawat dan memperhatikan kondisi kendaraan merupakan hal yang sangat penting dan tidak boleh diremehkan. Ia bagian dari tanggung jawab sebagai seorang Muslim.
KL, 15 Agustus 2009
Sebagaimana dituturkan oleh seorang ustadz
No comments:
Post a Comment