Mengapa Tidak
Ada sebuah cuplikan film kartun yang sangat menarik. Pendek memang, tapi lucu dan mengesankan. Pada cuplikan itu digambarkan tokoh kartunnya sedang menaiki sebuah kapal di laut lepas. Lalu terjadi badai besar yang membuat kapalnya terdampar dan hancur berantakan di sebuah pulau kecil. Ketika sudah berada di pantai pulau kecil itu, si tokoh kartun ini menatap langit dan berkata dengan nada protes, “Mengapa saya?”
Tak lama kemudian, ketika tokoh kartun itu masih berdiri di tempat yang sama, turun sebuah jawaban. Sebuah balon turun ke bawah dari langit. Balon itu bertuliskan, “Mengapa tidak?”
Cuplikan film kartun ini, setidaknya paruh bagian yang pertama, seringkali mewakili hidup kita. Ketika kita mendapatkan sebuah musibah yang berat, kita mengeluh dan memprotes, “Mengapa saya?” “Mengapa harus saya yang menerima musibah semacam ini?” “Mengapa saya harus menerima beban berat ini?” Kita tidak bisa menerima musibah yang menimpa kita itu. Dan karena tidak bisa menerimanya, kita jadi makin tertekan dan kehilangan optimisme. Kita mempertanyakannya, “Mengapa saya?” Padahal pertanyaan itu tidak memberi manfaat apa pun bagi kita.
Kita tidak perlu menunggu datangnya sebuah jawaban, tidak juga turunnya sebuah balon bertuliskan, “Mengapa tidak.” Karena jawaban semacam itu memang tidak akan pernah datang. Cukup terima saja bahwa itu sudah terjadi pada kita. Berat memang. Tapi itu sudah terjadi dan kita tidak bisa berbuat apa-apa atasnya. Daripada menanyakan yang tidak perlu, lebih baik kita menatap masa depan dan mengambil tindakan nyata. Lupakan yang sudah berlalu dan berbuatlah secara positif untuk hari ini dan hari esok.
Jadi, buat apa bertanya, “Mengapa saya?” Lebih baik bertanya, “Lalu, apa yang bisa saya lakukan sekarang?” Lakukanlah apa yang kita bisa dan bangkitlah kembali tanpa mengeluh. Hanya dengan cara seperti itu kita bisa memperbaiki keadaan dan bangkit kembali menuju keberhasilan. Barangkali suatu saat nanti kita justru akan mengangguk dan tersenyum saat mengingat musibah yang pernah menimpa kita, “Ya, mengapa tidak?”
By: Alwi Alatas,
Jakarta, 18/11/08
No comments:
Post a Comment