Monday, December 14, 2009
Perawat Menjadi Raja
Perawat Menjadi Raja
RABU, 21 OKTOBER 2009
KASESE, DETIKPOS.net - Kisah rakyat jelata yang kemudian menjelma menjadi raja bukan dongeng semata. Kisah itu nyata pada Charles Wesley Mumbere (56) yang semula bekerja sebagai seorang perawat pembantu di Maryland dan Pennsylvania, Amerika Serikat. Dia dinobatkan sebagai raja.
Senin (19/10), setelah bertahun-tahun menempuh perjuangan politik dan keuangan, Mumbere akhirnya dinobatkan sebagai raja bagi rakyatnya.
Ribuan warga berjalan kaki beberapa kilometer untuk dapat melihat penobatan Mumbere, yang mengenakan kain menyerupai sarung berwarna hijau dan topi berwarna-warni.
Dalam sebuah rapat umum pada hari yang sama, Presiden Uganda Yoweri Museveni secara resmi mengakui Kerajaan Rwenzururu yang berpopulasi 300.000 jiwa itu. Museveni mengembalikan keberadaan kerajaan tradisional di Uganda yang dihapuskan pendahulunya pada 1967. Akan tetapi, Museveni tetap membatasi wewenang para raja hanya pada tugas-tugas kebudayaan dan tidak boleh ikut campur dalam urusan politik.
”Ini sebuah peristiwa besar. Kita bisa mengetahui bahwa pada akhirnya pemerintah pusat memahami tuntutan rakyat Bakonzo yang telah berupaya keras mendapatkan pengakuan atas identitasnya,” ungkap Mumbere di sebuah bangunan berlantai satu dan berwarna putih, yang difungsikan sebagai sebuah istana, di Kasese.
Parlemen Rwenzururu berada di dekat ”istana”, di sebuah bangunan berukuran lebih besar dan terbuat dari alang-alang. Di ”gedung” parlemen itulah ritual tradisional diselenggarakan pada Senin malam waktu setempat untuk pemberian mahkota kepada Raja.
”Semua orang sangat gembira karena Presiden bersedia datang kemari dan secara resmi mengakui Kerajaan Rwenzururu,” kata Masereka Tadai (43), warga yang mengawasi latihan untuk berpawai sambil menampilkan tari- tarian.
Belajar di AS
Saat remaja, Mumbere memimpin sebuah kekuatan pemberontak, kemudian menjadi seorang murid miskin di AS, hingga kemudian menerima pekerjaan sebagai pembantu perawat di AS, di mana dia tinggal selama hampir 25 tahun.
Asal muasal Mumbere yang merupakan putra mahkota baru disebarluaskan di Pennsylvania pada Juli lalu. Saat itu dia memberikan sebuah wawancara kepada The Patriot-News of Harrisburg saat bersiap kembali ke Uganda.
Dia menjadi putra mahkota ketika ayahnya, Isaya Mukirania Kibanzanga, tewas saat memimpin sebuah kelompok perlawanan di Pegunungan Rwenzori atau lebih dikenal dengan sebutan Pegunungan Bulan. Mereka memprotes penindasan terhadap kelompok etnis Bakonzo oleh Kerajaan Toro yang kemudian menguasai mereka. Warga Bakonzo menuntut agar diakui sebagai sebuah entitas terpisah dan bernama Kibanzanga, yang diambil dari nama seorang mantan guru sekolah dasar yang kemudian menjadi raja mereka pada tahun 1963.
Segera setelah tewasnya Kibanzanga, anak lelakinya memimpin para pejuang turun dari gunung untuk menyerahkan senjata. Mumbere pun kemudian pergi ke AS pada 1984 dengan beasiswa Pemerintah Uganda. Dia kuliah di sebuah sekolah bisnis hingga kepemimpinan Uganda berganti dan beasiswa dihentikan.
The Patriot-News of Harrisburg pada artikel mengenai kisah Mumbere, Juli 2009, menguraikan, Mumbere mendapat suaka politik pada 1987. Dia kemudian berlatih sebagai perawat pembantu dan bekerja di sebuah rumah jompo di pinggiran Washington untuk hidupnya.
Ketika Pemerintah Uganda memutuskan menghidupkan kembali kerajaan-kerajaan tradisional, Mumbere pun giat melobi agar Kerajaan Rwenzururu diakui. Setelah 10 tahun berunding, Presiden Museveni pada Agustus lalu mengumumkan akan mengakui Kerajaan Rwenzururu sebagai satu dari tujuh kerajaan di Uganda. (kompas)
Detik Pos Indonesia
http://www.detikpos.net/2009/10/perawat-menjadi-raja.html#
Sunday, December 13, 2009
Tunanetra Dilantik Jadi Hakim
SELASA, 23 JUNI 2009
Pertama, Tunanetra Dilantik Jadi Hakim
DETIKPOS.net - Ketunaan fisik seharusnya tak menghalangi hak dasar dan peluang seseorang. Di Antwerpen, Belgia, seorang tunanetra dilantik menjadi hakim dan langsung bertugas.
Bart Hagen (32), nama tunanetra itu. Dia dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Michel Rozie, Senin (22/6/2009).
Hakim Tinggi Rozie mengenal baik hakim Hagen, karena dia juga dosen yang mengajar Hagen saat masih mahasiswa.
"Saya mengenal Anda saat Anda menempuh ujian di Mahkamah Agung, di mana Anda meraih nilai tinggi. Kemudian saya memonitor Anda saat praktik kerja lapangan di Pengadilan Mechelen dan saya juga pernah mengajar Anda, di mana Anda selalu aktif berpartisipasi," Ujar Rozie, dikutip dari De Standaard.
Hakim Hagen akan menjalankan tugas dengan cara memindai dokumen, selanjutnya dengan bantuan teknologi dokumen itu diubah ke dalam bentuk suara.
Sementara untuk mobilitas di gedung pengadilan, dia akan dipandu oleh anjing pemandunya yang setia.
Sumber: Kompas.com
http://www.detikpos.net/2009/06/pertama-tunanetra-dilantik-jadi-hakim.html
Tuesday, December 8, 2009
Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar
Ada Kalanya Kita Tidak Perlu Menawar
Alwi Alatas
Kadang saya berpikir dalam hati, kalau ada orang yang bertanya apa hal yang paling tidak saya sukai, mungkin jawaban saya adalah menemani perempuan (istri atau ibu) belanja. Saya sering menemani istri belanja (itu pun karena terpaksa), dan saya sering heran betapa kuatnya dia bolak-balik dan melakukan tawar menawar selama berjam-jam hanya untuk membeli beberapa barang. Agaknya tidak salah juga kalau ada ungkapan yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ungkapan itu menyebutkan bahwa ’seorang pria akan membayar 2 dollar untuk barang seharga 1 dollar yang ia perlukan, dan seorang perempuan akan membayar 1 dollar untuk barang seharga 2 dollar yang tidak dia perlukan.’ ”Rasanya nggak afdhal kalau membeli tanpa tawar menawar semaksimal mungkin,” begitu istri saya pernah berkata.
Istri saya ini seorang negosiator yang alami (barangkali istri Anda juga seperti itu). Begitu asyiknya dia berlama-lama mebolak-balik dan menawar barang sampai saya sering merasa tidak tega dengan penjualnya. Seperti baru-baru ini kami berbelanja beberapa pakaian untuk kemudian dijual lagi (kalau untuk keperluan dagang tentu saja kami harus menawarnya sebaik mungkin). Istri saya melihat barang-barang itu satu demi satu, dikeluarkan dari tempatnya, diperhatikan setiap lekukan, lalu diletakkan kembali sambil melihat barang yang lain. Ketika membuka dan melihat barang yang baru, ia menemukan ada bagian yang kurang bagus, dan memutuskan untuk melihat yang lain lagi. Si penjual akan melipat kembali pakaian yang sudah dilihat, tapi kadang yang sudah dilihat ini terpaksa dibuka kembali karena istri saya ingin melihatnya kembali.
Saya jadi kasihan dengan si penjual. Dia pasti penat sekali menghadapi pembeli seperti kami, dan pada akhirnya mungkin akan menyerah juga dengan harga yang diusulkan istri saya. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga usaha.
Saya pernah membaca bahwa salah satu teknik negosiasi yang berhasil adalah dengan berlama-lama mencoba barang yang akan dibeli dan terus menerus melakukan tawar menawar. Si penjual pada akhirnya akan merasa letih dengan pelanggannya ini dan memutuskan untuk mengalah dan mengambil untung sedikit saja asalkan barangnya terjual. Kalau waktunya sudah habis untuk melayani pelanggan semacam ini dan akhirnya tidak dibeli, mungkin dia akan merasa kesal. Istri saya sama sekali tidak mengetahui teori negosiasi semacam ini. Ia hanya menikmati proses berbelanja dan tawar menawar serta berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin.
Ukuran keberhasilan dalam tawar menawar dan membeli barang tentu saja dengan mendapatkan barang sebagus mungkin dengan harga yang paling rendah. Namun, dalam hidup ini ada kalanya menawar barang untuk harga yang lebih rendah bukanlah hal terbaik yang bisa kita raih. Terlebih lagi jika ekonomi kita sangat berkecukupan dan kita membeli barang dari pedagang kecil. Ada sebagian orang yang menawar murah-murah barang yang dijajakan seorang pedagang kecil. Lalu setelah ia membeli barang tersebut ia mulai merasa menyesal mengapa harus menawar terlalu murah. Bukankah pedagang itu kehidupannya sangat susah. Kadang usianya juga sudah cukup tua. Ia harus memikul barang dagangannya di hari yang sangat panas dan hanya mendapat keuntungan tidak seberapa dari penjualannya. Bahkan jika semua barangnya laku tanpa ditawar sekalipun dia tetap tidak akan menjadi orang kaya.
Saya pernah mendengar tentang seorang tuan tanah kaya di Batavia pada jaman kolonial dulu. Namanya Abdullah bin Alwi al-Attas (w. 1929). Kalau membeli dari pedagang kecil dia sama sekali tidak mau menawar dan akan membayar sesuai dengan harga yang diajukan si pedagang (tentu saja para pedagang kecil ini juga tahu diri dan tidak menaikkan harga barang semaunya saja). Ia juga tidak suka melihat binatang yang dikurung. Kalau melihat ada pedagang burung yang lewat, maka ia akan memanggilnya dan membeli semua burung yang ada, lalu melepaskannya begitu saja.
Ketika ada pedagang kecil lainnya datang untuk menjajakan barangnya, maka ia akan membeli sebagian besar barang yang dijual oleh pedagang itu. Ia membeli tanpa menawar lagi. Jika ditanyakan mengapa ia melakukan hal itu, maka ia akan menjawab bahwa Allah sudah menganugerahkan rizki yang banyak baginya, maka bagaimana mungkin dia akan menawar barang dari pedagang yang keadaannya susah. Ia menganggap hal itu ’haram’ baginya.
Kini kembali pada diri kita. Mungkin kita tidak mampu melakukan seperti Sayyid Abdullah di atas. Kita masih perlu melakukan tawar menawar dalam membeli barang, karena keadaan ekonomi yang sulit belakangan ini dan karena harga-harga barang terus naik. Itu tidak masalah. Tapi kita toh sesekali tetap bisa membantu para pedagang kecil dengan membeli barang mereka tanpa harus menawar terlalu banyak. Nilai belanja kita memang jadi sedikit lebih mahal. Namun senyum bahagia si pedagang kecil akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kita. ’Kebahagiaan itu tidak bisa diraih dengan memiliki, tapi dengan memberi,’ begitu kata pepatah. Bukankah ini indah? Kita membayar sedikit lebih mahal, dan kita mendapatkan kebahagiaan sebagai gantinya.
Barangkali kita juga bukan orang kaya. Dan kalaupun kaya mungkin kekayaannya tidak sama dengah tuan tanah yang diceritakan di atas. Namun boleh jadi kita memiliki kekayaan hati, kekayaan yang membolehkan kita membantu orang-orang yang tengah berusaha di sekitar kita. Kekayaan jiwa semacam ini akan membawa kita pada kekayaan yang sesungguhnya.
Kini perhatikanlah orang-orang kecil yang tengah berusaha di sekitar tempat tinggal kita. Sesekali, datanglah dengan tersenyum pada mereka. Lalu belilah barang mereka tanpa menawar lagi. Mudah-mudahan senyum mereka menjadi doa buat kita.
Jakarta, 30 Oktober 2009
Alwi Alatas
Kadang saya berpikir dalam hati, kalau ada orang yang bertanya apa hal yang paling tidak saya sukai, mungkin jawaban saya adalah menemani perempuan (istri atau ibu) belanja. Saya sering menemani istri belanja (itu pun karena terpaksa), dan saya sering heran betapa kuatnya dia bolak-balik dan melakukan tawar menawar selama berjam-jam hanya untuk membeli beberapa barang. Agaknya tidak salah juga kalau ada ungkapan yang membandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ungkapan itu menyebutkan bahwa ’seorang pria akan membayar 2 dollar untuk barang seharga 1 dollar yang ia perlukan, dan seorang perempuan akan membayar 1 dollar untuk barang seharga 2 dollar yang tidak dia perlukan.’ ”Rasanya nggak afdhal kalau membeli tanpa tawar menawar semaksimal mungkin,” begitu istri saya pernah berkata.
Istri saya ini seorang negosiator yang alami (barangkali istri Anda juga seperti itu). Begitu asyiknya dia berlama-lama mebolak-balik dan menawar barang sampai saya sering merasa tidak tega dengan penjualnya. Seperti baru-baru ini kami berbelanja beberapa pakaian untuk kemudian dijual lagi (kalau untuk keperluan dagang tentu saja kami harus menawarnya sebaik mungkin). Istri saya melihat barang-barang itu satu demi satu, dikeluarkan dari tempatnya, diperhatikan setiap lekukan, lalu diletakkan kembali sambil melihat barang yang lain. Ketika membuka dan melihat barang yang baru, ia menemukan ada bagian yang kurang bagus, dan memutuskan untuk melihat yang lain lagi. Si penjual akan melipat kembali pakaian yang sudah dilihat, tapi kadang yang sudah dilihat ini terpaksa dibuka kembali karena istri saya ingin melihatnya kembali.
Saya jadi kasihan dengan si penjual. Dia pasti penat sekali menghadapi pembeli seperti kami, dan pada akhirnya mungkin akan menyerah juga dengan harga yang diusulkan istri saya. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga usaha.
Saya pernah membaca bahwa salah satu teknik negosiasi yang berhasil adalah dengan berlama-lama mencoba barang yang akan dibeli dan terus menerus melakukan tawar menawar. Si penjual pada akhirnya akan merasa letih dengan pelanggannya ini dan memutuskan untuk mengalah dan mengambil untung sedikit saja asalkan barangnya terjual. Kalau waktunya sudah habis untuk melayani pelanggan semacam ini dan akhirnya tidak dibeli, mungkin dia akan merasa kesal. Istri saya sama sekali tidak mengetahui teori negosiasi semacam ini. Ia hanya menikmati proses berbelanja dan tawar menawar serta berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin.
Ukuran keberhasilan dalam tawar menawar dan membeli barang tentu saja dengan mendapatkan barang sebagus mungkin dengan harga yang paling rendah. Namun, dalam hidup ini ada kalanya menawar barang untuk harga yang lebih rendah bukanlah hal terbaik yang bisa kita raih. Terlebih lagi jika ekonomi kita sangat berkecukupan dan kita membeli barang dari pedagang kecil. Ada sebagian orang yang menawar murah-murah barang yang dijajakan seorang pedagang kecil. Lalu setelah ia membeli barang tersebut ia mulai merasa menyesal mengapa harus menawar terlalu murah. Bukankah pedagang itu kehidupannya sangat susah. Kadang usianya juga sudah cukup tua. Ia harus memikul barang dagangannya di hari yang sangat panas dan hanya mendapat keuntungan tidak seberapa dari penjualannya. Bahkan jika semua barangnya laku tanpa ditawar sekalipun dia tetap tidak akan menjadi orang kaya.
Saya pernah mendengar tentang seorang tuan tanah kaya di Batavia pada jaman kolonial dulu. Namanya Abdullah bin Alwi al-Attas (w. 1929). Kalau membeli dari pedagang kecil dia sama sekali tidak mau menawar dan akan membayar sesuai dengan harga yang diajukan si pedagang (tentu saja para pedagang kecil ini juga tahu diri dan tidak menaikkan harga barang semaunya saja). Ia juga tidak suka melihat binatang yang dikurung. Kalau melihat ada pedagang burung yang lewat, maka ia akan memanggilnya dan membeli semua burung yang ada, lalu melepaskannya begitu saja.
Ketika ada pedagang kecil lainnya datang untuk menjajakan barangnya, maka ia akan membeli sebagian besar barang yang dijual oleh pedagang itu. Ia membeli tanpa menawar lagi. Jika ditanyakan mengapa ia melakukan hal itu, maka ia akan menjawab bahwa Allah sudah menganugerahkan rizki yang banyak baginya, maka bagaimana mungkin dia akan menawar barang dari pedagang yang keadaannya susah. Ia menganggap hal itu ’haram’ baginya.
Kini kembali pada diri kita. Mungkin kita tidak mampu melakukan seperti Sayyid Abdullah di atas. Kita masih perlu melakukan tawar menawar dalam membeli barang, karena keadaan ekonomi yang sulit belakangan ini dan karena harga-harga barang terus naik. Itu tidak masalah. Tapi kita toh sesekali tetap bisa membantu para pedagang kecil dengan membeli barang mereka tanpa harus menawar terlalu banyak. Nilai belanja kita memang jadi sedikit lebih mahal. Namun senyum bahagia si pedagang kecil akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kita. ’Kebahagiaan itu tidak bisa diraih dengan memiliki, tapi dengan memberi,’ begitu kata pepatah. Bukankah ini indah? Kita membayar sedikit lebih mahal, dan kita mendapatkan kebahagiaan sebagai gantinya.
Barangkali kita juga bukan orang kaya. Dan kalaupun kaya mungkin kekayaannya tidak sama dengah tuan tanah yang diceritakan di atas. Namun boleh jadi kita memiliki kekayaan hati, kekayaan yang membolehkan kita membantu orang-orang yang tengah berusaha di sekitar kita. Kekayaan jiwa semacam ini akan membawa kita pada kekayaan yang sesungguhnya.
Kini perhatikanlah orang-orang kecil yang tengah berusaha di sekitar tempat tinggal kita. Sesekali, datanglah dengan tersenyum pada mereka. Lalu belilah barang mereka tanpa menawar lagi. Mudah-mudahan senyum mereka menjadi doa buat kita.
Jakarta, 30 Oktober 2009
Thursday, November 26, 2009
Iedul Adha di Kolong Tol
Suharyah: Saya Sudah Tak Tahan Tinggal di Kolong Tol
Jumat, 27 November 2009 | 13:27 WIB
JAKARTA,KOMPAS.com - Suasana Idul Adha tidak pernah terasa meriah bagi Suharyah (48). Bahkan, Idul Adha tahun ini pun suasananya terasa lebih memprihatinkan bagi warga Kampung Baru, Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara ini.
Pada Setember lalu sekitar sepekan setelah hari raya Idul Fitri, rumahnya ludes dilalap api saat kebakaran hebat melanda dua RW di Kelurahan Penjaringan. Tak satu pun perabotan maupun barang berharga yang mampu diselamatkannya kala peristiwa itu.
Satu-satunya barang yang bisa dibawanya hanyalah baju yang melekat di badannya. Beruntung tak satu pun angggota keluarganya yang menjadi korban. Suhardi (58), suaminya dan kelima anaknya, sedang tak berada di rumah saat itu. Tak lagi memiliki tempat berteduh, mereka pun terpaksa tinggal di kolong tol Rawa Bebek akses menuju Bandara Soekarno-Hatta bersama ratusan warga korban lainnya.
Hampir tiga bulan sejak kebakaran tersebut, Suharyah bersama keluarganya hingga kini masih bertahan di kolong tol. Tak punya biaya membangun rumah menjadi persoalan mendasar yang membuatnya bertahan di penampungan yang sudah tidak layak itu.
"Kalau ingat sekarang lagi Lebaran Haji, saya malah jadi ingat kebakaran kemarin pas beberapa hari sehabis Lebaran juga," ujar Suharyah kepada Kompas.com, Jumat (27/11).
Siang ini terasa begitu terik di lokasi penampungan di kolong tol. Suharyah masih memasak di bawah sebuah meja biliard bekas yang jika malam hari menjadi tempatnya merebahkan diri. Bukannya memasak daging sebagaimana lazimnya perayaan Idul Adha, justru sayur asem yang dimasaknya untuk anak-anaknya.
"Saya enggak dapat daging. Sudah enggak ada lagi yang motong kurban kayaknya di sini sekarang," ujarnya.
Mushala Nurul Huda yang letaknya tak jauh dari "rumah" Suharyah memang sepi dari aktivitas hari raya. Tahun ini tak ada pemotongan hewan kurban di mushala itu. "Saya juga tadi pagi enggak sempat shalat. Saya lagi enggak enak badan," ujarnya.
Suharyah juga mengaku tak medapatkan bantuan zakat dari pemerintah dan para dermawan meski kesulitan ekonomi betul-betul mengimpitnya.
Idul Adha kali ini hanya berlangsung begitu saja tanpa terasa oleh Suharyah. Suhardi, suaminya pun tetap sibuk mencari dan mengumpulkan barang bekas untuk dijualnya sebagai penghidupan sehari-hari.
"Saya sudah enggak bisa ngapa-ngapain lagi. Ngebayangin bisa naik haji aja saya enggak berani," tuturnya.
Masih bisa bersyukur
Meski demikian, dengan kondisi memprihatinkan seperti itu, Suharyah mengaku masih bersyukur bisa bertahan hidup di Kota Metropolitan yang keras ini. Penyakit gula akut memang menderanya sejak lama.
Bahkan tahun lalu, Suharyah sempat dioperasi di RS Atma Jaya Pluit akibat penyakitnya. Jika ditotal, biaya pengobatan dan operasi yang harus ditanggungnya mencapai 16 juta. Beruntung dia mendapatkan bantuan pemerintah melalui surat keterangan tidak mampu. "Ya, alhamdulillah saya bisa operasi gratis," ungkapnya.
Hingga kini, setiap dua pekan sekali, Suharyah mesti bolak-balik ke rumah sakit untuk mengontrol penyakitnya itu. "Tapi obatnya jarang-jarang saya tebus. Soalnya sekarang yang gratis cuma periksanya saja. Obatnya tetap bayar," ujarnya.
Di hari Idul Adha ini wanita asli Betawi ini mengungkapkan harapannya agar bisa segera meninggalkan penampungan dan hidup layak di rumah tetap. Dia berharap pemerintah bisa mengucurkan bantuan agar dia bisa membangun kembali rumahnya yang kini rata dengan tanah.
"Saya enggak minta dipindahin. Saya cuma pengin bantuan supaya rumah saya bisa dibangun lagi. Saya sudah enggak tahan tinggal di kolong begini," ucapnya dengan mata menerawang.
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/11/27/13271662/Suharyah.Saya.Sudah.Tak.Tahan.Tinggal.di.Kolong.Tol
Jumat, 27 November 2009 | 13:27 WIB
JAKARTA,KOMPAS.com - Suasana Idul Adha tidak pernah terasa meriah bagi Suharyah (48). Bahkan, Idul Adha tahun ini pun suasananya terasa lebih memprihatinkan bagi warga Kampung Baru, Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara ini.
Pada Setember lalu sekitar sepekan setelah hari raya Idul Fitri, rumahnya ludes dilalap api saat kebakaran hebat melanda dua RW di Kelurahan Penjaringan. Tak satu pun perabotan maupun barang berharga yang mampu diselamatkannya kala peristiwa itu.
Satu-satunya barang yang bisa dibawanya hanyalah baju yang melekat di badannya. Beruntung tak satu pun angggota keluarganya yang menjadi korban. Suhardi (58), suaminya dan kelima anaknya, sedang tak berada di rumah saat itu. Tak lagi memiliki tempat berteduh, mereka pun terpaksa tinggal di kolong tol Rawa Bebek akses menuju Bandara Soekarno-Hatta bersama ratusan warga korban lainnya.
Hampir tiga bulan sejak kebakaran tersebut, Suharyah bersama keluarganya hingga kini masih bertahan di kolong tol. Tak punya biaya membangun rumah menjadi persoalan mendasar yang membuatnya bertahan di penampungan yang sudah tidak layak itu.
"Kalau ingat sekarang lagi Lebaran Haji, saya malah jadi ingat kebakaran kemarin pas beberapa hari sehabis Lebaran juga," ujar Suharyah kepada Kompas.com, Jumat (27/11).
Siang ini terasa begitu terik di lokasi penampungan di kolong tol. Suharyah masih memasak di bawah sebuah meja biliard bekas yang jika malam hari menjadi tempatnya merebahkan diri. Bukannya memasak daging sebagaimana lazimnya perayaan Idul Adha, justru sayur asem yang dimasaknya untuk anak-anaknya.
"Saya enggak dapat daging. Sudah enggak ada lagi yang motong kurban kayaknya di sini sekarang," ujarnya.
Mushala Nurul Huda yang letaknya tak jauh dari "rumah" Suharyah memang sepi dari aktivitas hari raya. Tahun ini tak ada pemotongan hewan kurban di mushala itu. "Saya juga tadi pagi enggak sempat shalat. Saya lagi enggak enak badan," ujarnya.
Suharyah juga mengaku tak medapatkan bantuan zakat dari pemerintah dan para dermawan meski kesulitan ekonomi betul-betul mengimpitnya.
Idul Adha kali ini hanya berlangsung begitu saja tanpa terasa oleh Suharyah. Suhardi, suaminya pun tetap sibuk mencari dan mengumpulkan barang bekas untuk dijualnya sebagai penghidupan sehari-hari.
"Saya sudah enggak bisa ngapa-ngapain lagi. Ngebayangin bisa naik haji aja saya enggak berani," tuturnya.
Masih bisa bersyukur
Meski demikian, dengan kondisi memprihatinkan seperti itu, Suharyah mengaku masih bersyukur bisa bertahan hidup di Kota Metropolitan yang keras ini. Penyakit gula akut memang menderanya sejak lama.
Bahkan tahun lalu, Suharyah sempat dioperasi di RS Atma Jaya Pluit akibat penyakitnya. Jika ditotal, biaya pengobatan dan operasi yang harus ditanggungnya mencapai 16 juta. Beruntung dia mendapatkan bantuan pemerintah melalui surat keterangan tidak mampu. "Ya, alhamdulillah saya bisa operasi gratis," ungkapnya.
Hingga kini, setiap dua pekan sekali, Suharyah mesti bolak-balik ke rumah sakit untuk mengontrol penyakitnya itu. "Tapi obatnya jarang-jarang saya tebus. Soalnya sekarang yang gratis cuma periksanya saja. Obatnya tetap bayar," ujarnya.
Di hari Idul Adha ini wanita asli Betawi ini mengungkapkan harapannya agar bisa segera meninggalkan penampungan dan hidup layak di rumah tetap. Dia berharap pemerintah bisa mengucurkan bantuan agar dia bisa membangun kembali rumahnya yang kini rata dengan tanah.
"Saya enggak minta dipindahin. Saya cuma pengin bantuan supaya rumah saya bisa dibangun lagi. Saya sudah enggak tahan tinggal di kolong begini," ucapnya dengan mata menerawang.
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/11/27/13271662/Suharyah.Saya.Sudah.Tak.Tahan.Tinggal.di.Kolong.Tol
Saturday, November 21, 2009
Pengorbanan ibu berbaloi anak cacat dapat 5A
Pengorbanan ibu berbaloi anak cacat dapat 5A
SITI Norfarah Hanim Azman yang memperolehi 5A didukung oleh ibunya, Norhaida Harun setelah pulang dari mengambil keputusan UPSR di Besut, semalam.
________________________________________
BESUT 19 Nov. - Ibu ini cekal mendukung anaknya yang cacat untuk ke sekolah sejak enam tahun lalu.
Hari ini pengorbanan Norhaida Harun, 38, berbaloi apabila Siti Norfarah Hanim Azman, 12, berjaya memperoleh keputusan 5A dalam Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) yang diumumkan hari ini.
Walaupun cacat kerana menghidap penyakit Osteogenesis Imperfecta, sejenis penyakit kerapuhan tulang tapi Siti Norfarah tidak mudah mengalah malah tetap gigih berusaha hingga akhirnya memperolehi kejayaan itu.
Dia adalah antara 40 murid Sekolah Kebangsan Tengku Mahmud II yang berjaya memperolehi 5A dalam UPSR tahun ini yang diraikan dalam satu majlis di sekolah itu hari ini.
Ketika nama diumumkan untuk ke pentas bagi mengambil slip keputusan UPSR, Siti Norfarah dan ibunya dilihat berlinangan air mata kegembiraan.
Bagi Norhaida, hanya pelajaran yang mampu diberikan kepada anaknya itu memandangkan dia sendiri tidak mampu untuk menyediakan harta yang banyak untuk kehidupan akan datang.
Semuanya adalah pengorbanan demi masa depan anaknya walaupun kadang kala terasa dirinya seakan terikat dengan rutin kehidupan sebegitu kerana terpaksa menghantar dan mengambil anaknya setiap hari.
Noraida juga akur dengan tugas suaminya Azman Mohamad, 40, yang hanya bekerja sebagai pembantu kesihatan juga tidak mampu meluangkan banyak masa untuk membantu menguruskan anaknya.
Hanya pada ketika tertentu sahaja Azman dapat menghantar Siti Norfarah ke sekolah manakala selebihnya, Norhaida yang banyak menghabiskan masa bersama anaknya itu di samping menjaga seorang lagi anaknya Siti Norfadila Husna, yang berusia 4 tahun.
Setiap pagi sebelum ke sekolah Norfarah akan dibekalkan dengan sedikit makanan kerana tidak mampu berjalan untuk ke kantin.
Dia bagaimanapun agak bernasib baik kerana ada seorang rakan sekelasnya, Nurul Alia Rosdi yang secara sukarela membantunya semasa di dalam kelas.
Nurul Alia banyak meringankan masalah anaknya sejak berada di tahun satu lagi dengan membantu jika anaknya itu ingin ke tandas pada masa yang diperlukan di samping menjadi rakan belajar," kata Norhaida.
Rakannya itu merasa tersentuh ketika pertama kali melihat kepayahan yang dihadapi Siti Norfarah lalu secara sukarela membantu rakannya sebagai menunaikan tanggungjawab sebagai seorang insan.
"Sesiapa sahaja yang memerlukan perlu dibantu dan saya tidak pernah merasa bosan dengan tugas sukarela ini malah merasa puas hati apabila dapat memberikan khidmat kepada mereka," ujar Nurul Alia.
http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=1120&pub=Utusan_Malaysia&sec=Dalam_Negeri&pg=dn_07.htm
SITI Norfarah Hanim Azman yang memperolehi 5A didukung oleh ibunya, Norhaida Harun setelah pulang dari mengambil keputusan UPSR di Besut, semalam.
________________________________________
BESUT 19 Nov. - Ibu ini cekal mendukung anaknya yang cacat untuk ke sekolah sejak enam tahun lalu.
Hari ini pengorbanan Norhaida Harun, 38, berbaloi apabila Siti Norfarah Hanim Azman, 12, berjaya memperoleh keputusan 5A dalam Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) yang diumumkan hari ini.
Walaupun cacat kerana menghidap penyakit Osteogenesis Imperfecta, sejenis penyakit kerapuhan tulang tapi Siti Norfarah tidak mudah mengalah malah tetap gigih berusaha hingga akhirnya memperolehi kejayaan itu.
Dia adalah antara 40 murid Sekolah Kebangsan Tengku Mahmud II yang berjaya memperolehi 5A dalam UPSR tahun ini yang diraikan dalam satu majlis di sekolah itu hari ini.
Ketika nama diumumkan untuk ke pentas bagi mengambil slip keputusan UPSR, Siti Norfarah dan ibunya dilihat berlinangan air mata kegembiraan.
Bagi Norhaida, hanya pelajaran yang mampu diberikan kepada anaknya itu memandangkan dia sendiri tidak mampu untuk menyediakan harta yang banyak untuk kehidupan akan datang.
Semuanya adalah pengorbanan demi masa depan anaknya walaupun kadang kala terasa dirinya seakan terikat dengan rutin kehidupan sebegitu kerana terpaksa menghantar dan mengambil anaknya setiap hari.
Noraida juga akur dengan tugas suaminya Azman Mohamad, 40, yang hanya bekerja sebagai pembantu kesihatan juga tidak mampu meluangkan banyak masa untuk membantu menguruskan anaknya.
Hanya pada ketika tertentu sahaja Azman dapat menghantar Siti Norfarah ke sekolah manakala selebihnya, Norhaida yang banyak menghabiskan masa bersama anaknya itu di samping menjaga seorang lagi anaknya Siti Norfadila Husna, yang berusia 4 tahun.
Setiap pagi sebelum ke sekolah Norfarah akan dibekalkan dengan sedikit makanan kerana tidak mampu berjalan untuk ke kantin.
Dia bagaimanapun agak bernasib baik kerana ada seorang rakan sekelasnya, Nurul Alia Rosdi yang secara sukarela membantunya semasa di dalam kelas.
Nurul Alia banyak meringankan masalah anaknya sejak berada di tahun satu lagi dengan membantu jika anaknya itu ingin ke tandas pada masa yang diperlukan di samping menjadi rakan belajar," kata Norhaida.
Rakannya itu merasa tersentuh ketika pertama kali melihat kepayahan yang dihadapi Siti Norfarah lalu secara sukarela membantu rakannya sebagai menunaikan tanggungjawab sebagai seorang insan.
"Sesiapa sahaja yang memerlukan perlu dibantu dan saya tidak pernah merasa bosan dengan tugas sukarela ini malah merasa puas hati apabila dapat memberikan khidmat kepada mereka," ujar Nurul Alia.
http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=1120&pub=Utusan_Malaysia&sec=Dalam_Negeri&pg=dn_07.htm
Saturday, November 7, 2009
Rencana-Nya Selalu Sempurna
Rencana-NYA selalu SEMPURNA
Iwan Budhiarta
http://www.facebook.com/home.php?filter=app_2347471856#/note.php?note_id=168196169650
Di Surabaya, sebuah kota di Jawa Timur, hiduplah seorang ibu penjual tempe dengan seorang anaknya yang masih balita. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup dirinya dan anak semata wayangnya.
Tak ada pekerjaan lain sebagai penyambung hidup anak semata wayangnya.
Meski demikian, nyaris tak pernah lahir sebuah keluhan pun dari bibirnya. Ia selalu menjalani hidupnya dengan riang gembira. "Jika tempe ini yang nanti akan mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya...",...demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu Jumat pagi, setelah shalat subuh, dia pun segera berkemas dan mengambil keranjang bambu tempat tempe, lalu dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas satu-satunya meja panjang di rumahnya. Akan tetapi (deg!...dadanya bergemuruh...) tempe yang akan dia jual di pasar, ternyata belum jadi. Semuanya masih berupa kacang kedelai, dan sebagian berderai, belum disatukan oleh ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi tempe sempurna. Tubuhnya mendadak jadi lemas. Dia bayangkan, hari ini dia pasti tidak akan mendapatkan uang, untuk makan anaknya, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.
Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi.
Di tengah rasa putus asa, terbersit secercah harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah SWT, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, segera ditengadahkan kepalanya, dia angkat tangannya, dan dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, ubahlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan kehangatan yang
menjalari daun itu. Proses peragian memang sedang berlangsung. Dadanya masih bergemuruh. Dengan pelan-pelan, dia buka daun pembungkus tempe itu. Dan akhirnya... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semuanya menyatu oleh kapas-kapas ragi putih.
Tetapi, dengan memaksa senyum, dia segera berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.
Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku
lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah tempe ini. Bantulah aku, kabulkan doaku..."
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju ke pasar, dia buka daun pembungkus tempe itu sekali lagi.
Tempeku pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari sela-sela pembungkus daun itu, dan... belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, bahwa Allah pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia mulai letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.
Kecewa, airmata mulai menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Allah begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang telah dia sediakan.
Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang telah dia sediakan. Tangannya mulai lemas, tak yakin akan ada orang yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa sendirian. Allah telah meninggalkan aku, batinnya.
Tangisnya kian menjadi-jadi.
Airmatanya kian mengalir deras. Terbayang di benaknya bahwa esok dia tak akan dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan, begitu pula dengan buah hati tersayangnya. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas karena sudah menjelang sore. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah habis terjual. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya kembali, dia tak pernah mengalami kejadian ini. Tempenya tak pernah tak jadi. Tangisnya kian menjadi-jadi. Dia merasa cobaan hari itu terasa berat...
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan ramah mendarat di pundaknya. Dia memalingkan wajahnya seketika. Seorang perempuan cantik, paruh baya, tengah tersenyum, memandangnya.
"Maaf Ibu, apakah ibu punya tempe yang setengah jadi? Saya lelah sekali mencari-cari di pasar ini sejak pagi, dan tak ada seorang pedagang tempe yang menjualnya. Apakah Ibu punya tempe setengah jadi?"
Ibu penjual tempe itu segera termangu-mangu. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab
pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. "Ya Allah, pada saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi sempurna. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe..."
"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi.
Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan
jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?........ Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih
sama. Belum jadi! "Alhamdulillah!" pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.
Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok aneh ya, ibu mencari tempe kok yang belum jadi?"
Si ibu pembeli tempe itu menyahut "Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Muhammad, yang kuliah S2 di Swedia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, supaya bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sesampainya di sana masih layak dimakan. Oh ya, semua tempenya saya borong, bu. Dan jadi semua tempenya berapa, Bu?"
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hikmah:
Dalam kehidupan sehari-hari, kita acapkali berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa.
Padahal, Allah SWT paling tahu apa yang paling cocok dan baik untuk kita. Bahwa semua rencanaNYA adalah SEMPURNA.
Wassalam...
Iwan Budhiarta
http://www.facebook.com/home.php?filter=app_2347471856#/note.php?note_id=168196169650
Di Surabaya, sebuah kota di Jawa Timur, hiduplah seorang ibu penjual tempe dengan seorang anaknya yang masih balita. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup dirinya dan anak semata wayangnya.
Tak ada pekerjaan lain sebagai penyambung hidup anak semata wayangnya.
Meski demikian, nyaris tak pernah lahir sebuah keluhan pun dari bibirnya. Ia selalu menjalani hidupnya dengan riang gembira. "Jika tempe ini yang nanti akan mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya...",...demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu Jumat pagi, setelah shalat subuh, dia pun segera berkemas dan mengambil keranjang bambu tempat tempe, lalu dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas satu-satunya meja panjang di rumahnya. Akan tetapi (deg!...dadanya bergemuruh...) tempe yang akan dia jual di pasar, ternyata belum jadi. Semuanya masih berupa kacang kedelai, dan sebagian berderai, belum disatukan oleh ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi tempe sempurna. Tubuhnya mendadak jadi lemas. Dia bayangkan, hari ini dia pasti tidak akan mendapatkan uang, untuk makan anaknya, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.
Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi.
Di tengah rasa putus asa, terbersit secercah harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah SWT, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, segera ditengadahkan kepalanya, dia angkat tangannya, dan dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, ubahlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan kehangatan yang
menjalari daun itu. Proses peragian memang sedang berlangsung. Dadanya masih bergemuruh. Dengan pelan-pelan, dia buka daun pembungkus tempe itu. Dan akhirnya... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semuanya menyatu oleh kapas-kapas ragi putih.
Tetapi, dengan memaksa senyum, dia segera berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.
Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku
lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah tempe ini. Bantulah aku, kabulkan doaku..."
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju ke pasar, dia buka daun pembungkus tempe itu sekali lagi.
Tempeku pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari sela-sela pembungkus daun itu, dan... belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, bahwa Allah pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia mulai letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.
Kecewa, airmata mulai menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Allah begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang telah dia sediakan.
Dengan lemas, dia mulai gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas karpet plastik yang telah dia sediakan. Tangannya mulai lemas, tak yakin akan ada orang yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa sendirian. Allah telah meninggalkan aku, batinnya.
Tangisnya kian menjadi-jadi.
Airmatanya kian mengalir deras. Terbayang di benaknya bahwa esok dia tak akan dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan, begitu pula dengan buah hati tersayangnya. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas karena sudah menjelang sore. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah habis terjual. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya kembali, dia tak pernah mengalami kejadian ini. Tempenya tak pernah tak jadi. Tangisnya kian menjadi-jadi. Dia merasa cobaan hari itu terasa berat...
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan ramah mendarat di pundaknya. Dia memalingkan wajahnya seketika. Seorang perempuan cantik, paruh baya, tengah tersenyum, memandangnya.
"Maaf Ibu, apakah ibu punya tempe yang setengah jadi? Saya lelah sekali mencari-cari di pasar ini sejak pagi, dan tak ada seorang pedagang tempe yang menjualnya. Apakah Ibu punya tempe setengah jadi?"
Ibu penjual tempe itu segera termangu-mangu. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab
pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. "Ya Allah, pada saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi sempurna. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe..."
"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi.
Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan
jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?........ Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih
sama. Belum jadi! "Alhamdulillah!" pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.
Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok aneh ya, ibu mencari tempe kok yang belum jadi?"
Si ibu pembeli tempe itu menyahut "Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Muhammad, yang kuliah S2 di Swedia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, supaya bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sesampainya di sana masih layak dimakan. Oh ya, semua tempenya saya borong, bu. Dan jadi semua tempenya berapa, Bu?"
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hikmah:
Dalam kehidupan sehari-hari, kita acapkali berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa.
Padahal, Allah SWT paling tahu apa yang paling cocok dan baik untuk kita. Bahwa semua rencanaNYA adalah SEMPURNA.
Wassalam...
Monday, November 2, 2009
Hadiah Terbaik
Hadiah Terbaik
Tak ada hadiah yang lebih indah di mata orang tua dibandingkan apa yang terbaik bagi anak-anak mereka
Itu juga yang dirasakan oleh seorang Muslim Indonesia yang bersama keluarganya tinggal di Australia. Hidup di negeri yang budayanya liberal dan masyarakatnya berbeda agama tentu menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga Muslim yang hidup di negeri Kangguru. Bisa saja anak yang sudah dididik sebaik mungkin di rumah mendapat pengaruh negatif di luar rumah dan akhirnya mengabaikan nilai-nilai keluarga. Terlebih lagi jika keluarganya sendiri tidak memiliki nilai dan relijiusitas yang baik.
Orang yang kami ceritakan ini menjalani hari-harinya di Australia sebagaimana kebanyakan orang-orang Indonesia lainnya. Namun, selama tinggal dan bekerja di Australia itu ia justru makin banyak belajar tentang Islam, agamanya yang dianut sedari kecil. Makin lama perhatiannya terhadap agama menjadi semakin mendalam. Tentu saja ia berharap hal yang sama juga dirasakan oleh anggota keluarganya yang lain, oleh istri dan anak-anaknya.
Ia memiliki seorang anak perempuan yang sudah beranjak remaja. Betapa besar keinginannya agar sang anak mengenakan jilbab dan menutup auratnya. Keinginannya itu semata-mata karena menutup aurat merupakan tuntunan dari-Nya dan akan membawa banyak kebaikan bagi orang-orang yang menjalankannya.
“Kenakanlah jilbab wahai anakku,” anjurnya pada sang anak. Tapi setiap kali itu juga anaknya menggelengkan kepala.
”Aku belum siap, Papa,” ujarnya. ”Mungkin suatu saat nanti.”
Sang ayah tak ingin memaksakan kehendaknya, karena ia ingin anaknya menjalankan ajaran agamanya dengan tulus dan penuh kesadaran. Ia bersedia untuk menunggu, walaupun ia tak tahu untuk berapa lama. Ia memutuskan untuk bersabar sembari terus berdoa dan memberi bimbingan pada sang anak.
Pada salah satu liburan sekolah, anak gadisnya itu berlibur ke Bandung tanpa didampingi oleh orang tuanya. Ketika berada di kota kembang tersebut, sang anak menyempatkan diri menelpon ayahnya.
“Papa mau dibawakan apa dari Bandung?” tanyanya pada sang ayah.
“Ah … nggak usah,” jawab sang ayah apa adanya. “Nanti kalau mau pulang, kasih tahu saja tanggal dan waktunya.”
Maka pada tanggal kepulangan sang anak ke Australia, ayahnya menjemputnya di Sidney International Airport. Ia menanti anaknya dengan penuh rasa rindu. Tentu ada banyak cerita yang dibawanya dari tanah air. Tentu ia merasa senang selama berada di Indonesia.
Pesawat yang ditumpangi anaknya sudah mendarat sejak beberapa waktu yang lalu. Ia mencari-cari anaknya di antara para penumpang yang berjalan keluar dari pintu bandara. Sekian lama dipandanginya orang-orang yang bergerak dari dalam keluar. Belum juga didapatinya wajah anak yang dicintainya.
Tiba-tiba ia melihat wajah yang amat dikenalinya. Namun ada sesuatu yang berbeda pada wajah itu. Sang ayah sempat ragu saat memperhatikan wajah itu. Apakah ini memang anak gadisnya? Benarkah?
Ya, wajah itu kini dihiasi oleh jilbab nan anggun. Anak gadisnya itu, lengkap dengan busana muslimahnya, berjalan ke arah ayahnya dengan wajah tersenyum cerah. Sebuah senyum yang sangat indah, dari wajah yang teramat indah. Sang anak mengucapkan salam dan memeluk ayahnya.
”This is my best present for you ....”
Ayahnya mengangguk haru. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dialaminya saat itu.
Ya, ini adalah hadiah terindah bagi Ayah.
Sebagaimana dikisahkan oleh Ustadz Agus Setiawan
Dutulis oleh Alwi Alatas
26 Oktober 2009
Tak ada hadiah yang lebih indah di mata orang tua dibandingkan apa yang terbaik bagi anak-anak mereka
Itu juga yang dirasakan oleh seorang Muslim Indonesia yang bersama keluarganya tinggal di Australia. Hidup di negeri yang budayanya liberal dan masyarakatnya berbeda agama tentu menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga Muslim yang hidup di negeri Kangguru. Bisa saja anak yang sudah dididik sebaik mungkin di rumah mendapat pengaruh negatif di luar rumah dan akhirnya mengabaikan nilai-nilai keluarga. Terlebih lagi jika keluarganya sendiri tidak memiliki nilai dan relijiusitas yang baik.
Orang yang kami ceritakan ini menjalani hari-harinya di Australia sebagaimana kebanyakan orang-orang Indonesia lainnya. Namun, selama tinggal dan bekerja di Australia itu ia justru makin banyak belajar tentang Islam, agamanya yang dianut sedari kecil. Makin lama perhatiannya terhadap agama menjadi semakin mendalam. Tentu saja ia berharap hal yang sama juga dirasakan oleh anggota keluarganya yang lain, oleh istri dan anak-anaknya.
Ia memiliki seorang anak perempuan yang sudah beranjak remaja. Betapa besar keinginannya agar sang anak mengenakan jilbab dan menutup auratnya. Keinginannya itu semata-mata karena menutup aurat merupakan tuntunan dari-Nya dan akan membawa banyak kebaikan bagi orang-orang yang menjalankannya.
“Kenakanlah jilbab wahai anakku,” anjurnya pada sang anak. Tapi setiap kali itu juga anaknya menggelengkan kepala.
”Aku belum siap, Papa,” ujarnya. ”Mungkin suatu saat nanti.”
Sang ayah tak ingin memaksakan kehendaknya, karena ia ingin anaknya menjalankan ajaran agamanya dengan tulus dan penuh kesadaran. Ia bersedia untuk menunggu, walaupun ia tak tahu untuk berapa lama. Ia memutuskan untuk bersabar sembari terus berdoa dan memberi bimbingan pada sang anak.
Pada salah satu liburan sekolah, anak gadisnya itu berlibur ke Bandung tanpa didampingi oleh orang tuanya. Ketika berada di kota kembang tersebut, sang anak menyempatkan diri menelpon ayahnya.
“Papa mau dibawakan apa dari Bandung?” tanyanya pada sang ayah.
“Ah … nggak usah,” jawab sang ayah apa adanya. “Nanti kalau mau pulang, kasih tahu saja tanggal dan waktunya.”
Maka pada tanggal kepulangan sang anak ke Australia, ayahnya menjemputnya di Sidney International Airport. Ia menanti anaknya dengan penuh rasa rindu. Tentu ada banyak cerita yang dibawanya dari tanah air. Tentu ia merasa senang selama berada di Indonesia.
Pesawat yang ditumpangi anaknya sudah mendarat sejak beberapa waktu yang lalu. Ia mencari-cari anaknya di antara para penumpang yang berjalan keluar dari pintu bandara. Sekian lama dipandanginya orang-orang yang bergerak dari dalam keluar. Belum juga didapatinya wajah anak yang dicintainya.
Tiba-tiba ia melihat wajah yang amat dikenalinya. Namun ada sesuatu yang berbeda pada wajah itu. Sang ayah sempat ragu saat memperhatikan wajah itu. Apakah ini memang anak gadisnya? Benarkah?
Ya, wajah itu kini dihiasi oleh jilbab nan anggun. Anak gadisnya itu, lengkap dengan busana muslimahnya, berjalan ke arah ayahnya dengan wajah tersenyum cerah. Sebuah senyum yang sangat indah, dari wajah yang teramat indah. Sang anak mengucapkan salam dan memeluk ayahnya.
”This is my best present for you ....”
Ayahnya mengangguk haru. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dialaminya saat itu.
Ya, ini adalah hadiah terindah bagi Ayah.
Sebagaimana dikisahkan oleh Ustadz Agus Setiawan
Dutulis oleh Alwi Alatas
26 Oktober 2009
Friday, October 30, 2009
Iseng
Iseng-iseng … Mati!
Manusia memang suka berbuat iseng, terutama kalau sedang tidak ada aktivitas serius dan tidak tahu apa yang mesti dikerjakan. ”Hmm, lagi iseng nih,” begitu biasanya kita berkomentar saat tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dan akhirnya kita mengisi waktu dengan hal-hal yang nggak ada nilainya. Sekedar mengisi waktu. Yah, namanya juga iseng.
Hanya saja yang namanya kegiatan iseng ini terkadang bukan hanya kurang bermutu, tapi juga bisa berbahaya, dan juga teramat konyol. Terutama kalau sampai berakibat kematian.
Mati? Masak sih sekedar iseng aja bisa menyebabkan kematian?
Nggak percaya? Belum lama ini ada yang betul-betul mengalami hal semacam itu. Berita di Okezone tanggal 20 Oktober 2009 menyebutkan ada tiga anak remaja bernama Ayub Kuncoro (12 tahun), Rian (13 tahun), dan Bejo (15 tahun) tewas tergilas kereta api. Hal ini terjadi di dusun Gowok, Bantul, DIY.
Bagaimana remaja-remaja yang masih sehat dan lincah ini bisa tersambar kereta api? Anak-anak ini iseng bermain-main di atas rel kereta api. Bahkan mereka tidur-tiduran di atas rel. Seorang saksi mata sudah mengingatkan supaya mereka tidak main tidur-tiduran di atas rel kereta api karena berbahaya, tetapi anak-anak ini tidak mengindahkannya. Beberapa waktu kemudian kereta api lewat. Saksi mata tadi teringat anak-anak remaja itu dan bergegas menuju tempat mereka bermain. Ternyata mereka sudah tewas terlindas kereta api.
Apakah anak-anak itu iseng bermain tidur-tiduran dan akhirnya tertidur betulan, sehingga akhirnya terlindas kereta api tanpa sadar? Atau mereka membiarkan kereta api mendekat lalu ketika hendak menghindar ternyata sudah terlambat? Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Yang jelas mereka telah tewas karena keisengan yang aneh itu.
Bukankah ini sangat konyol dan mengenaskan? Makanya kalau mau melakukan sesuatu dipikir-pikir dulu yang matang. Umur kita cuma sepenggalan. Sayang kalau disia-siakan untuk kegiatan yang bermotif iseng.
Alwi Alatas
26 Oktober 2009
Manusia memang suka berbuat iseng, terutama kalau sedang tidak ada aktivitas serius dan tidak tahu apa yang mesti dikerjakan. ”Hmm, lagi iseng nih,” begitu biasanya kita berkomentar saat tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dan akhirnya kita mengisi waktu dengan hal-hal yang nggak ada nilainya. Sekedar mengisi waktu. Yah, namanya juga iseng.
Hanya saja yang namanya kegiatan iseng ini terkadang bukan hanya kurang bermutu, tapi juga bisa berbahaya, dan juga teramat konyol. Terutama kalau sampai berakibat kematian.
Mati? Masak sih sekedar iseng aja bisa menyebabkan kematian?
Nggak percaya? Belum lama ini ada yang betul-betul mengalami hal semacam itu. Berita di Okezone tanggal 20 Oktober 2009 menyebutkan ada tiga anak remaja bernama Ayub Kuncoro (12 tahun), Rian (13 tahun), dan Bejo (15 tahun) tewas tergilas kereta api. Hal ini terjadi di dusun Gowok, Bantul, DIY.
Bagaimana remaja-remaja yang masih sehat dan lincah ini bisa tersambar kereta api? Anak-anak ini iseng bermain-main di atas rel kereta api. Bahkan mereka tidur-tiduran di atas rel. Seorang saksi mata sudah mengingatkan supaya mereka tidak main tidur-tiduran di atas rel kereta api karena berbahaya, tetapi anak-anak ini tidak mengindahkannya. Beberapa waktu kemudian kereta api lewat. Saksi mata tadi teringat anak-anak remaja itu dan bergegas menuju tempat mereka bermain. Ternyata mereka sudah tewas terlindas kereta api.
Apakah anak-anak itu iseng bermain tidur-tiduran dan akhirnya tertidur betulan, sehingga akhirnya terlindas kereta api tanpa sadar? Atau mereka membiarkan kereta api mendekat lalu ketika hendak menghindar ternyata sudah terlambat? Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Yang jelas mereka telah tewas karena keisengan yang aneh itu.
Bukankah ini sangat konyol dan mengenaskan? Makanya kalau mau melakukan sesuatu dipikir-pikir dulu yang matang. Umur kita cuma sepenggalan. Sayang kalau disia-siakan untuk kegiatan yang bermotif iseng.
Alwi Alatas
26 Oktober 2009
Thursday, October 29, 2009
Sudah Makan ...?
Sudah Makan ...?
Alwi Alatas
Teman saya yang satu ini, anggap saja namanya Pak Hadi (bukan nama sebenarnya), sangat suka bersosialisasi dengan siapa saja. Walaupun ia sangat kaya dan penghasilannya sangat besar, tapi ia biasa bergaul dengan banyak orang. Kalau saya perhatikan, setiap kali pergi dan pulang dari mushala kecil di dekat rumahnya, hampir tak pernah ia mengabaikan kesempatan bertegur sapa dengan orang-orang yang dilewatinya. Bahkan terhadap orang yang tak dikenal pun ia akan berusaha menyapa dan ambil perhatian. Saya suka malu sendiri kalau ingat kelebihan kawan saya ini.
Beliau bukan hanya suka bertegur sapa, tapi juga suka membantu orang yang kesulitan ekonomi. Tidak jarang ia yang berinisiatif mencari tahu keadaan seseorang, kalau-kalau ia memerlukan bantuannya. Jika memang ada yang perlu dibantu, maka ia akan dengan senang hati menolongnya. Hal itu membuatnya dekat dengan banyak orang, mulai dari para ustadz yang kadang dibelikan motor hingga tukang pasang marmer yang akhirnya menjadi anak buahnya dalam bisnis marmer.
Walaupun kaya dan bergaji besar, beliau tidak sungkan keluar masuk tempat yang sangat sederhana atau berteman dengan orang dari kalangan yang sangat miskin sekalipun. Saya pernah diundang mengisi pengajian di rumahnya yang ternyata pesertanya adalah tukang batu, tukang sayur, tukang kaligrafi masjid, dan pekerja dengan profesi sejenis. Rasanya indah sekali menyaksikan orang-orang dengan latar belakang ekonomi yang jauh berbeda bisa duduk bersama-sama dalam suasana yang akrab.
Nah, Pak Hadi ini bercerita bahwa dulu ia pernah punya seorang tetangga. Tetangganya ini tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Ia cukup dekat dengan tetangganya ini dan biasa berinteraksi dengannya. Walaupun begitu, sebuah kejadian telah membuatnya tersentak. Ternyata masih ada hal-hal yang tidak diketahuinya tentang tetangganya ini.
Suatu hari ia memutuskan mampir ke rumah tetangganya ini untuk bersilaturahim. Walaupun agak malu dan merasa kurang enak dengan keadaan rumahnya yang sederhana, tetangganya ini menerima kehadiran Pak Hadi. Ia mempersilahkan kawan saya ini masuk ke dalam.
Pak Hadi bukan tipe orang yang jaim (jaga image). Kalau sudah dekat dengan seseorang ia tidak akan merasa sungkan dalam berinteraksi dengan orang itu. Begitu pula halnya ketika ia mampir ke rumah tetangganya ini.
”Ada siapa saja di rumah?” ia bertanya pada tetangganya saat masuk ke dalam rumah.
”Lagi nggak ada orang,” jawab tetangganya itu. ”Saya sendirian saja sekarang ini.”
”Sudah makan belum?” tanyanya lagi sambil melihat-lihat ke sekeliling rumah.
”Sudah Mas, alhamdulillah.”
”Masak? Di mana dapurnya? Boleh saya lihat?” tanya Pak Hadi santai.
“Wah, nggak enak, Mas. Dapurnya jelek,” jawab tetangganya itu malu.
“Ah, nggak apa kok, saya cuma mau tahu aja. Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa.”
“Boleh kok, Mas,” tetangganya mengalah dan menunjukkan dapurnya pada beliau.
Saat memasuki dapur, mata Pak Hadi tertumbuk pada sebuah penggorengan kecil yang terletak di atas penggorengan yang sangat sederhana.
“Hmmm, baru masak ya?” tanya Pak Hadi.
Yang ditanya diam saja.
“Masak apa sih? Saya kok nggak diajak makan,” ujar Pak Hadi sambil menyentuh tutup penggorengan.
Tetangganya itu terkejut dan seperti hendak menghalangi Pak Hadi. Tapi ia tak sampai melakukannya ... dan itu juga sudah terlambat. Tangan kawan saya ini sudah terlanjur mengangkat tutup penggorengan dan melihat makanan yang ada di dalam penggorengan itu. Apa yang dilihatnya membuat ia sangat terkejut. Di balik penggorengan itu ada daging-daging bekicot. Ya, bekicot yang bisa ditemukan di pojok-pojok luar rumah yang lembab. Itulah yang menjadi menu tuan rumah pada hari itu ... dan mungkin juga hari-hari lainnya.
Kawan saya ini tentu saja merasa tidak enak dengan kejadian itu, sekaligus juga merasa sedih karena ternyata tetangganya sendiri masih ada yang tak mampu membeli lauk sampai terpaksa mengumpulkan dan memasak keong yang ada di sekitar rumahnya. Ia juga merasa segan karena tetangganya ini menjaga diri dari meminta-minta, walaupun kondisi ekonominya sangat susah. Maka ia pun membantu tetangganya itu dan memintanya untuk terbuka padanya jika ia memerlukan sesuatu.
Kebanyakan pembaca tentu tidak pernah merasakan menu makanan seperti di atas. Karena itu, bersyukurlah atas makanan yang kita peroleh, sesederhana apa pun makanan itu. Jika kita sedang duduk di depan meja makan dan tidak menyukai hidangan di atas meja, bayangkanlah daging bekicot di dalam penggorengan. Barangkali itu membuat kita lebih menghargai makanan yang ada.
27 Oktober 2009
Alwi Alatas
Teman saya yang satu ini, anggap saja namanya Pak Hadi (bukan nama sebenarnya), sangat suka bersosialisasi dengan siapa saja. Walaupun ia sangat kaya dan penghasilannya sangat besar, tapi ia biasa bergaul dengan banyak orang. Kalau saya perhatikan, setiap kali pergi dan pulang dari mushala kecil di dekat rumahnya, hampir tak pernah ia mengabaikan kesempatan bertegur sapa dengan orang-orang yang dilewatinya. Bahkan terhadap orang yang tak dikenal pun ia akan berusaha menyapa dan ambil perhatian. Saya suka malu sendiri kalau ingat kelebihan kawan saya ini.
Beliau bukan hanya suka bertegur sapa, tapi juga suka membantu orang yang kesulitan ekonomi. Tidak jarang ia yang berinisiatif mencari tahu keadaan seseorang, kalau-kalau ia memerlukan bantuannya. Jika memang ada yang perlu dibantu, maka ia akan dengan senang hati menolongnya. Hal itu membuatnya dekat dengan banyak orang, mulai dari para ustadz yang kadang dibelikan motor hingga tukang pasang marmer yang akhirnya menjadi anak buahnya dalam bisnis marmer.
Walaupun kaya dan bergaji besar, beliau tidak sungkan keluar masuk tempat yang sangat sederhana atau berteman dengan orang dari kalangan yang sangat miskin sekalipun. Saya pernah diundang mengisi pengajian di rumahnya yang ternyata pesertanya adalah tukang batu, tukang sayur, tukang kaligrafi masjid, dan pekerja dengan profesi sejenis. Rasanya indah sekali menyaksikan orang-orang dengan latar belakang ekonomi yang jauh berbeda bisa duduk bersama-sama dalam suasana yang akrab.
Nah, Pak Hadi ini bercerita bahwa dulu ia pernah punya seorang tetangga. Tetangganya ini tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Ia cukup dekat dengan tetangganya ini dan biasa berinteraksi dengannya. Walaupun begitu, sebuah kejadian telah membuatnya tersentak. Ternyata masih ada hal-hal yang tidak diketahuinya tentang tetangganya ini.
Suatu hari ia memutuskan mampir ke rumah tetangganya ini untuk bersilaturahim. Walaupun agak malu dan merasa kurang enak dengan keadaan rumahnya yang sederhana, tetangganya ini menerima kehadiran Pak Hadi. Ia mempersilahkan kawan saya ini masuk ke dalam.
Pak Hadi bukan tipe orang yang jaim (jaga image). Kalau sudah dekat dengan seseorang ia tidak akan merasa sungkan dalam berinteraksi dengan orang itu. Begitu pula halnya ketika ia mampir ke rumah tetangganya ini.
”Ada siapa saja di rumah?” ia bertanya pada tetangganya saat masuk ke dalam rumah.
”Lagi nggak ada orang,” jawab tetangganya itu. ”Saya sendirian saja sekarang ini.”
”Sudah makan belum?” tanyanya lagi sambil melihat-lihat ke sekeliling rumah.
”Sudah Mas, alhamdulillah.”
”Masak? Di mana dapurnya? Boleh saya lihat?” tanya Pak Hadi santai.
“Wah, nggak enak, Mas. Dapurnya jelek,” jawab tetangganya itu malu.
“Ah, nggak apa kok, saya cuma mau tahu aja. Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa.”
“Boleh kok, Mas,” tetangganya mengalah dan menunjukkan dapurnya pada beliau.
Saat memasuki dapur, mata Pak Hadi tertumbuk pada sebuah penggorengan kecil yang terletak di atas penggorengan yang sangat sederhana.
“Hmmm, baru masak ya?” tanya Pak Hadi.
Yang ditanya diam saja.
“Masak apa sih? Saya kok nggak diajak makan,” ujar Pak Hadi sambil menyentuh tutup penggorengan.
Tetangganya itu terkejut dan seperti hendak menghalangi Pak Hadi. Tapi ia tak sampai melakukannya ... dan itu juga sudah terlambat. Tangan kawan saya ini sudah terlanjur mengangkat tutup penggorengan dan melihat makanan yang ada di dalam penggorengan itu. Apa yang dilihatnya membuat ia sangat terkejut. Di balik penggorengan itu ada daging-daging bekicot. Ya, bekicot yang bisa ditemukan di pojok-pojok luar rumah yang lembab. Itulah yang menjadi menu tuan rumah pada hari itu ... dan mungkin juga hari-hari lainnya.
Kawan saya ini tentu saja merasa tidak enak dengan kejadian itu, sekaligus juga merasa sedih karena ternyata tetangganya sendiri masih ada yang tak mampu membeli lauk sampai terpaksa mengumpulkan dan memasak keong yang ada di sekitar rumahnya. Ia juga merasa segan karena tetangganya ini menjaga diri dari meminta-minta, walaupun kondisi ekonominya sangat susah. Maka ia pun membantu tetangganya itu dan memintanya untuk terbuka padanya jika ia memerlukan sesuatu.
Kebanyakan pembaca tentu tidak pernah merasakan menu makanan seperti di atas. Karena itu, bersyukurlah atas makanan yang kita peroleh, sesederhana apa pun makanan itu. Jika kita sedang duduk di depan meja makan dan tidak menyukai hidangan di atas meja, bayangkanlah daging bekicot di dalam penggorengan. Barangkali itu membuat kita lebih menghargai makanan yang ada.
27 Oktober 2009
Cerita Pagi
Cerita Pagi
By: Ummu Hani
Today at 1:45pm
Pagi ini, seperti biasa, sambil menunggu suamiku bersiap-siap ke kantor, aku duduk di teras dengan secangkir kopi dan HP – yang hampir tak pernah ketinggalan. Tidak lama kemudian, ibuku duduk disampingku. Entah apa yg ada dipikirannya, tiba-tiba saja dia membuka pembicaraan dengan pertanyaan, “Kenapa sih jaman sekarang orang slalu memandang orang lain dari hartanya? Mudah-mudahan kita bukan bagian dari orang-orang kayak gitu y….”
Ia pun mulai bercerita tentang uztadzahnya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu.Namanya Udztadzah Mahani. Mungkin sebagian orang sudah mengenal orang mulia ini. Jujur saja, saya tidak mengenal sosok ini secara langsung. Tapi kepribadiannya yang mengagumkan menggugah hati saya.Mungkin diantara orang-orang kaya dan berpendidikan, sosok ini tidak dikenal atau yaaaa mungkin dia dikenal hanya sebagai guru ngaji yang miskin.
Ibu saya mengikuti pengajiannya setiap Rabu siang di Cawang. Saya tidak tahu, dimana lagi beliau mengajar. Rumahnya di daerah Larangan. Setiap Rabu, dengan baju yang sederhana, dia turun naik angkot dan bis (sekitar 6x turun naik bis atau angkot pulang-pergi) dari Larangan ke Cawang. Bukan jarak yang dekat untuk wanita usia 68 tahun. Kalau ada muridnya yang menawarkan untuk antar jemput dengan mobil, dia menolak halus.
Dia selalu berangkat sekitar jam 10an, sampai di Cawang menjelang Dzuhur. Setelah sholat Ashar dia pulang, sholat Magrib di salah satu masjid yang dia lewati dan sampai setelah Isya. Belum kalau bisnya lagi demo, bisa tengah malam baru sampai rumah.
Kalau kita terkagum-kagum dengan semangat Lintang di film Laskar Pelangi, kita juga pasti terkagum-kagum dengan perjuangan Uztadzah Mahani.Bayangkan, untuk wanita 68 tahun, harus berjalan sendiri dan pulang tengah malam – beliau tidak menikah dan tinggal dengan saudaranya – naik turun angkot, hanya untuk mengajar mengaji. Tak ada kata absen, selalu hadir walau diluar udaranya panas atau sedang musim hujan dan banjir, walau muridnya banyak yang tidak masuk. Ia tetap masuk karena tidak ingin mengecewakan murid-murid yang sudah hadir. Penghasilannya hanya dari uang sukarela murid-muridnya, bukan dari iuran tetap. Apa kita bisa seperti beliau di umur 68 tahun?
Tiba-tiba di bulan Ramadhan kemarin, beliau meninggal.Ia hanya sakit 2 hari dan meninggal di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia bilang pada saudaranya kalau ini sakit maut. Semua orang yang mengenalnya terhentak mendengar kabar duka ini. Tiga hari sebelum meninggal dia masih beraktivitas keluar rumah dan di hari meninggalnya dia ada jadwal mengajar mengaji di satu tempat.Semua muridnya datang takziah ke rumahnya dan sebelum dikubur, murid-muridnya mengkhatamkan Qur’an untuknya.
Beberapa minggu sesudah meninggal, seseorang bercerita kepada kami kalau sebenarnya Udztadzah Mahani menderita penyakit yang cukup parah (semacam kanker, tapi entah dimananya) yang mungkin untuk orang lain akan membuatnya tergeletak di tempat tidur sampai akhir hayatnya. Tapi dengan kuasa dan ridho Allah, ia tidak merasakan sakit dan tetap bisa mengajar mengaji sampai ajal menjemputnya.
Setelah meninggalnya pula kami baru mengetahui kalau sebenarnya ia lulusan Al Azhar Kairo. Embel-embelnya Prof. Dr. Gelarnya setingkat dengan Quraish Shihab yang juga lulusan Al Azhar. Tapi ia tidak mau memakai gelarnya karena ke-tawadhu-annya.
Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Untuk menjadi Wali Allah di jaman sekarang, tidak perlu ceramah kesana kemari, masuk TV, dipanggil orang dengan bayaran yg besar. Tidak perlu menjadi pintar tapi kerjanya melecehkan orang lain, atau memandang orang hanya dari hartanya.”
Akui saja, banyak sekali uztad-uztad yang seperti itu jaman sekarang. Bahkan banyak uztad-uztad pintar dari daerah-daerah yang lari ke Jakarta, karena bisa menangguk uang banyak di Jakarta, padahal di daerah asalnya banyak orang yang perlu dan ingin belajar agama.Untuk menjadi Wali Allah di jaman sekarang cukup jaga hati kita dari urusan keduniaan saja, karena itu saja sudah susah banget. Bukan saja urusan nafsu kita untuk kaya, atau kesenangan kita untuk berfoya-foya tapi juga dari hal-hal kecil yang sudah menjadi bagian dari hidup kita.Seperti masalah gossip yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Kadang kita sudah menghindari infotainment, eee ada teman nelpon bawa gossip baru, udah gitu kita juga senang mendengarnya. Bahkan ada yang bilang, itu bukan gossip, itu beneran kok….haduh! Kl beneran namanya GOSSIP, kl gak bener namanya FITNAH!
Kita juga tanpa sadar menjudge orang, “si ini beginilah”, “heran si itu begitu”. Padahal kita tidak pernah tahu, mungkin orang-orang yang kita ‘cap tidak benar’, lebih baik di mata Allah.And one thing, yang paling susah dari semuanya adalah menundukkan hati kita untuk tawadhu. Tanpa sadar kita kadang suka menjadi riya (hayo ngaku…). Sebenarnya itu manusiawi. Orang2 seperti Uztadzah Mahani sangat mungkin untuk menjadi terkenal, bahkan mungkin kalau beliau terkenal, akan lebih terkenal dari uztadzah-uztadzah yang sekarang. Tapi ia tidak mau. Di saat kita terkenal, semua orang akan menyanjung kita. Mengelu-elukan kita. Dan lama-lama hati akan berbalik. Tumbuh keriyaan, lama-lama berubah jadi sombong, dll. Menundukkan hati kita adalah rintangan kita yang paling besar. Mungkin karena itu ia menolak ketenaran, wallahu’allam.
Yang pasti, beliau mungkin tidak terkenal di dunia, tapi beliau pasti terkenal di ‘langit’, seperti Uwais Al Qorny.Tulisan ini saya tulis bukan untuk menyindir atau mengkritik orang-orang tertentu, tapi sekadar rasa kagum dan bangga bisa mengenal orang-orang seperti Udztadzah Mahani. Penulis juga orang yang masih belajar dan jauh dari sifat-sifat mulia di atas. Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi kita semua.
29 Oktober 2009
By: Ummu Hani
Today at 1:45pm
Pagi ini, seperti biasa, sambil menunggu suamiku bersiap-siap ke kantor, aku duduk di teras dengan secangkir kopi dan HP – yang hampir tak pernah ketinggalan. Tidak lama kemudian, ibuku duduk disampingku. Entah apa yg ada dipikirannya, tiba-tiba saja dia membuka pembicaraan dengan pertanyaan, “Kenapa sih jaman sekarang orang slalu memandang orang lain dari hartanya? Mudah-mudahan kita bukan bagian dari orang-orang kayak gitu y….”
Ia pun mulai bercerita tentang uztadzahnya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu.Namanya Udztadzah Mahani. Mungkin sebagian orang sudah mengenal orang mulia ini. Jujur saja, saya tidak mengenal sosok ini secara langsung. Tapi kepribadiannya yang mengagumkan menggugah hati saya.Mungkin diantara orang-orang kaya dan berpendidikan, sosok ini tidak dikenal atau yaaaa mungkin dia dikenal hanya sebagai guru ngaji yang miskin.
Ibu saya mengikuti pengajiannya setiap Rabu siang di Cawang. Saya tidak tahu, dimana lagi beliau mengajar. Rumahnya di daerah Larangan. Setiap Rabu, dengan baju yang sederhana, dia turun naik angkot dan bis (sekitar 6x turun naik bis atau angkot pulang-pergi) dari Larangan ke Cawang. Bukan jarak yang dekat untuk wanita usia 68 tahun. Kalau ada muridnya yang menawarkan untuk antar jemput dengan mobil, dia menolak halus.
Dia selalu berangkat sekitar jam 10an, sampai di Cawang menjelang Dzuhur. Setelah sholat Ashar dia pulang, sholat Magrib di salah satu masjid yang dia lewati dan sampai setelah Isya. Belum kalau bisnya lagi demo, bisa tengah malam baru sampai rumah.
Kalau kita terkagum-kagum dengan semangat Lintang di film Laskar Pelangi, kita juga pasti terkagum-kagum dengan perjuangan Uztadzah Mahani.Bayangkan, untuk wanita 68 tahun, harus berjalan sendiri dan pulang tengah malam – beliau tidak menikah dan tinggal dengan saudaranya – naik turun angkot, hanya untuk mengajar mengaji. Tak ada kata absen, selalu hadir walau diluar udaranya panas atau sedang musim hujan dan banjir, walau muridnya banyak yang tidak masuk. Ia tetap masuk karena tidak ingin mengecewakan murid-murid yang sudah hadir. Penghasilannya hanya dari uang sukarela murid-muridnya, bukan dari iuran tetap. Apa kita bisa seperti beliau di umur 68 tahun?
Tiba-tiba di bulan Ramadhan kemarin, beliau meninggal.Ia hanya sakit 2 hari dan meninggal di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia bilang pada saudaranya kalau ini sakit maut. Semua orang yang mengenalnya terhentak mendengar kabar duka ini. Tiga hari sebelum meninggal dia masih beraktivitas keluar rumah dan di hari meninggalnya dia ada jadwal mengajar mengaji di satu tempat.Semua muridnya datang takziah ke rumahnya dan sebelum dikubur, murid-muridnya mengkhatamkan Qur’an untuknya.
Beberapa minggu sesudah meninggal, seseorang bercerita kepada kami kalau sebenarnya Udztadzah Mahani menderita penyakit yang cukup parah (semacam kanker, tapi entah dimananya) yang mungkin untuk orang lain akan membuatnya tergeletak di tempat tidur sampai akhir hayatnya. Tapi dengan kuasa dan ridho Allah, ia tidak merasakan sakit dan tetap bisa mengajar mengaji sampai ajal menjemputnya.
Setelah meninggalnya pula kami baru mengetahui kalau sebenarnya ia lulusan Al Azhar Kairo. Embel-embelnya Prof. Dr. Gelarnya setingkat dengan Quraish Shihab yang juga lulusan Al Azhar. Tapi ia tidak mau memakai gelarnya karena ke-tawadhu-annya.
Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Untuk menjadi Wali Allah di jaman sekarang, tidak perlu ceramah kesana kemari, masuk TV, dipanggil orang dengan bayaran yg besar. Tidak perlu menjadi pintar tapi kerjanya melecehkan orang lain, atau memandang orang hanya dari hartanya.”
Akui saja, banyak sekali uztad-uztad yang seperti itu jaman sekarang. Bahkan banyak uztad-uztad pintar dari daerah-daerah yang lari ke Jakarta, karena bisa menangguk uang banyak di Jakarta, padahal di daerah asalnya banyak orang yang perlu dan ingin belajar agama.Untuk menjadi Wali Allah di jaman sekarang cukup jaga hati kita dari urusan keduniaan saja, karena itu saja sudah susah banget. Bukan saja urusan nafsu kita untuk kaya, atau kesenangan kita untuk berfoya-foya tapi juga dari hal-hal kecil yang sudah menjadi bagian dari hidup kita.Seperti masalah gossip yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Kadang kita sudah menghindari infotainment, eee ada teman nelpon bawa gossip baru, udah gitu kita juga senang mendengarnya. Bahkan ada yang bilang, itu bukan gossip, itu beneran kok….haduh! Kl beneran namanya GOSSIP, kl gak bener namanya FITNAH!
Kita juga tanpa sadar menjudge orang, “si ini beginilah”, “heran si itu begitu”. Padahal kita tidak pernah tahu, mungkin orang-orang yang kita ‘cap tidak benar’, lebih baik di mata Allah.And one thing, yang paling susah dari semuanya adalah menundukkan hati kita untuk tawadhu. Tanpa sadar kita kadang suka menjadi riya (hayo ngaku…). Sebenarnya itu manusiawi. Orang2 seperti Uztadzah Mahani sangat mungkin untuk menjadi terkenal, bahkan mungkin kalau beliau terkenal, akan lebih terkenal dari uztadzah-uztadzah yang sekarang. Tapi ia tidak mau. Di saat kita terkenal, semua orang akan menyanjung kita. Mengelu-elukan kita. Dan lama-lama hati akan berbalik. Tumbuh keriyaan, lama-lama berubah jadi sombong, dll. Menundukkan hati kita adalah rintangan kita yang paling besar. Mungkin karena itu ia menolak ketenaran, wallahu’allam.
Yang pasti, beliau mungkin tidak terkenal di dunia, tapi beliau pasti terkenal di ‘langit’, seperti Uwais Al Qorny.Tulisan ini saya tulis bukan untuk menyindir atau mengkritik orang-orang tertentu, tapi sekadar rasa kagum dan bangga bisa mengenal orang-orang seperti Udztadzah Mahani. Penulis juga orang yang masih belajar dan jauh dari sifat-sifat mulia di atas. Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi kita semua.
29 Oktober 2009
Wednesday, October 28, 2009
Rem Putus Saat Kecepatan Tinggi
Rem putus saat kecepatan tinggi
Alwi Alatas
Kita belum betul-betul memahami resiko sebuah bahaya sampai kita berhadapan sendiri dengan maut
Saya teringat ada seorang ustadz di Yogyakarta yang sangat perhatian terhadap kendaraan rekan-rekannya yang aktif berdakwah, terutama terhadap mereka yang mengendarai motor. Setiap kali ia melihat ban motor rekannya sudah tipis atau gundul, atau ada kekurangan lainnya pada sepeda motor tersebut, ia akan menasehatinya. “Kamu ini da’i, kamu juga punya anak istri. Jangan anggap remeh ban yang sudah gundul ini. Kalau sampai terjadi kecelakaan, keluarga kamu akan kehilangan, umat juga akan kehilangan.
”Ini merupakan sebuah kebenaran yang sering kita abaikan. Kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Banyak yang akan merasa kehilangan kalau kita sampai mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Seperti banyak orang lainnya, saya dulunya juga sering meremehkan perkara-perkara yang kelihatannya kecil. Pernah rem tangan sepeda motor saya tak berfungsi. Saya tak segera memperbaikinya. Sibuk, begitu alasan yang membuat saya menunda pergi ke bengkel. Hari demi hari berlalu dan rem itu saya biarkan tak berfungsi. Toh masih ada rem kaki, demikian pikir saya.
Lalu pada suatu pagi, saya mengendarai sepeda motor dari daerah Gombak menuju ke tempat mengajar di wilayah Ampang, Kuala Lumpur. Motor saya arahkan melewati jalan besar yang biasa disebut MRR2. Jam menunjukkan waktu antara pukul 9-10 pagi, waktu yang sangat sibuk. Jalan penuh dengan mobil-mobil yang meluncur cepat ke tempat tujuan masing-masing.
Saya memacu motor dengan kecepatan yang cukup tinggi supaya bisa sampai di tempat mengajar tepat waktu.Jalur MRR2 merupakan sebuah jalur utama lalu lintas yang tidak dihalangi oleh lampu lalu lintas, kecuali ketika kendaraan bergerak keluar untuk memasuki jalur lain. Jalan turun melalui under pass atau naik lewat way over setiap kali bertemu dengan jalur yang melintanginya. Jalan yang besar-besar dan jarang dihalangi oleh kemacetan membuat mobil-mobil dan motor di Kuala Lumpur kebanyakan melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Motor bergerak cepat seolah berpacu dengan mobil-mobil di sekitarnya. Menjelang Zoo Negara (kebun binatang), jalan naik ke atas. Motor saya menanjak ke atas dan siap meluncur turun kembali. Saya tekan rem kaki untuk mengurangi kecepatan. Kecepatan tidak berubah, justru bertambah karena jalan yang mulai menurun. Saya kembali menginjak rem, tapi tak ada perubahan. Saya injak rem berkali-kali dengan perasaan takut.
Jantung saya seolah melompat keluar dari rongga dada. Rem kaki saya tiba-tiba putus dan tidak berfungsi.Motor meluncur semakin cepat di samping mobil-mobil yang juga melaju kencang. Jalan memanjang dan menurun di depan sana, motor bergerak semakin laju, dan tidak ada rem sama sekali. Entah apa yang akan terjadi berikutnya. Rasanya maut mengintai dari jarak yang dekat sekali.
Saya teringat istri dan anak-anak saya. Saya teringat murid-murid saya, orang-orang yang mengikuti pengajian saya.Saya tidak hidup sendirian. Bagaimana dengan orang-orang yang saya cintai kalau maut betul-betul menjemput?
Motor meluncur turun dengan kecepatan yang terus bertambah. Jalan menurun yang panjang. Tidak ada yang bisa menghentikan motor itu, kecuali setelah ia mencapai jalan mendatar jauh di depan sana ... atau ada sebuah mobil yang akan membenturnya dan membuatnya jatuh dengan keras.
Saya menurunkan kaki dan menekan sepatu saya ke aspal sebisa saya. Usaha itu nyaris sia-sia. Motor tetap melaju kencang. Rasanya tidak ada lagi yang bisa saya lakukan selain pasrah. Kengerian menyelimuti perasaan. Lisan saya mengucapkan berbagai doa yang terlintas di dalam kepala.
Tak jauh di depan ada jalan masuk menuju Zoo Negara. Namun jalur menurun yang saya lalui bertemu dengan jalur kendaraan masuk dari sebelah kiri. Sewaktu-waktu motor saya bisa dihantam dengan keras oleh mobil-mobil yang melaju dari bagian kiri jalan. Saya sama sekali tidak bisa menahan kecepatan motor saya jika tiba-tiba ada kendaraan lain yang tidak mau mengalah di samping saya. Saya cuma bisa berdoa supaya bisa selamat dalam menepikan motor ke pinggir jalan. Untungnya tidak ada mobil yang menyalip dari sebelah kiri.
Motor berhasil diarahkan ke Zoo Negara. Tapi jalan di situ ternyata juga menurun. Saya kembali menekan sepatu ke aspal sambil tak henti berdoa. Perlahan-lahan, motor mulai berhenti. Setelah beberapa saat, kendaraan roda dua itu akhirnya berhenti sama sekali. Saya segera memarkir kendaraan itu dan turun.
Saya duduk di pinggir jalan dan diam untuk beberapa saat. Jantung saya masih berdebar kencang Pengalaman itu seolah melumpuhkan seluruh syaraf saya. Selama beberapa saat lamanya, seluruh kehidupan saya seperti tersedot ke dalam pengalaman menakutkan yang baru saja saya alami.
Setelah perasaan mencekam itu mulai hilang, saya mengeluarkan handphone untuk menelpon atau meng-sms teman. Tapi ternyata pulsa saya habis. Saya juga tidak membawa cukup uang untuk mengendarai taksi. Seorang bapak yang mengamati apa yang terjadi pada saya sebelumnya berjalan mendekat dan menanyakan keadaan saya. Saya menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada bapak itu. Ketika ia menawarkan bantuan, saya menanyakan apakah boleh meminjam handphone-nya untuk mengirim sms. Ia mengangguk dan mengeluarkan handphone.
Saya mengirim sms kepada seseorang di tempat saya mengajar, menanyakan apakah saya boleh meminjam uang setibanya di sekolah nanti. Saya mendapat jawaban positif, lalu segera mencari taksi dan menuju ke sekolah.
Saya bersyukur, tidak terjadi sesuatu pada saya dan motor saya. Sejak saat itu saya tidak pernah menunda-nunda lagi jika ada bagian motor yang perlu diperbaiki. Saya tidak hidup sendirian. Ada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab saya. Ada orang-orang yang mengikuti pengajian saya.
Merawat dan memperhatikan kondisi kendaraan merupakan hal yang sangat penting dan tidak boleh diremehkan. Ia bagian dari tanggung jawab sebagai seorang Muslim.
KL, 15 Agustus 2009
Sebagaimana dituturkan oleh seorang ustadz
Alwi Alatas
Kita belum betul-betul memahami resiko sebuah bahaya sampai kita berhadapan sendiri dengan maut
Saya teringat ada seorang ustadz di Yogyakarta yang sangat perhatian terhadap kendaraan rekan-rekannya yang aktif berdakwah, terutama terhadap mereka yang mengendarai motor. Setiap kali ia melihat ban motor rekannya sudah tipis atau gundul, atau ada kekurangan lainnya pada sepeda motor tersebut, ia akan menasehatinya. “Kamu ini da’i, kamu juga punya anak istri. Jangan anggap remeh ban yang sudah gundul ini. Kalau sampai terjadi kecelakaan, keluarga kamu akan kehilangan, umat juga akan kehilangan.
”Ini merupakan sebuah kebenaran yang sering kita abaikan. Kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Banyak yang akan merasa kehilangan kalau kita sampai mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Seperti banyak orang lainnya, saya dulunya juga sering meremehkan perkara-perkara yang kelihatannya kecil. Pernah rem tangan sepeda motor saya tak berfungsi. Saya tak segera memperbaikinya. Sibuk, begitu alasan yang membuat saya menunda pergi ke bengkel. Hari demi hari berlalu dan rem itu saya biarkan tak berfungsi. Toh masih ada rem kaki, demikian pikir saya.
Lalu pada suatu pagi, saya mengendarai sepeda motor dari daerah Gombak menuju ke tempat mengajar di wilayah Ampang, Kuala Lumpur. Motor saya arahkan melewati jalan besar yang biasa disebut MRR2. Jam menunjukkan waktu antara pukul 9-10 pagi, waktu yang sangat sibuk. Jalan penuh dengan mobil-mobil yang meluncur cepat ke tempat tujuan masing-masing.
Saya memacu motor dengan kecepatan yang cukup tinggi supaya bisa sampai di tempat mengajar tepat waktu.Jalur MRR2 merupakan sebuah jalur utama lalu lintas yang tidak dihalangi oleh lampu lalu lintas, kecuali ketika kendaraan bergerak keluar untuk memasuki jalur lain. Jalan turun melalui under pass atau naik lewat way over setiap kali bertemu dengan jalur yang melintanginya. Jalan yang besar-besar dan jarang dihalangi oleh kemacetan membuat mobil-mobil dan motor di Kuala Lumpur kebanyakan melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Motor bergerak cepat seolah berpacu dengan mobil-mobil di sekitarnya. Menjelang Zoo Negara (kebun binatang), jalan naik ke atas. Motor saya menanjak ke atas dan siap meluncur turun kembali. Saya tekan rem kaki untuk mengurangi kecepatan. Kecepatan tidak berubah, justru bertambah karena jalan yang mulai menurun. Saya kembali menginjak rem, tapi tak ada perubahan. Saya injak rem berkali-kali dengan perasaan takut.
Jantung saya seolah melompat keluar dari rongga dada. Rem kaki saya tiba-tiba putus dan tidak berfungsi.Motor meluncur semakin cepat di samping mobil-mobil yang juga melaju kencang. Jalan memanjang dan menurun di depan sana, motor bergerak semakin laju, dan tidak ada rem sama sekali. Entah apa yang akan terjadi berikutnya. Rasanya maut mengintai dari jarak yang dekat sekali.
Saya teringat istri dan anak-anak saya. Saya teringat murid-murid saya, orang-orang yang mengikuti pengajian saya.Saya tidak hidup sendirian. Bagaimana dengan orang-orang yang saya cintai kalau maut betul-betul menjemput?
Motor meluncur turun dengan kecepatan yang terus bertambah. Jalan menurun yang panjang. Tidak ada yang bisa menghentikan motor itu, kecuali setelah ia mencapai jalan mendatar jauh di depan sana ... atau ada sebuah mobil yang akan membenturnya dan membuatnya jatuh dengan keras.
Saya menurunkan kaki dan menekan sepatu saya ke aspal sebisa saya. Usaha itu nyaris sia-sia. Motor tetap melaju kencang. Rasanya tidak ada lagi yang bisa saya lakukan selain pasrah. Kengerian menyelimuti perasaan. Lisan saya mengucapkan berbagai doa yang terlintas di dalam kepala.
Tak jauh di depan ada jalan masuk menuju Zoo Negara. Namun jalur menurun yang saya lalui bertemu dengan jalur kendaraan masuk dari sebelah kiri. Sewaktu-waktu motor saya bisa dihantam dengan keras oleh mobil-mobil yang melaju dari bagian kiri jalan. Saya sama sekali tidak bisa menahan kecepatan motor saya jika tiba-tiba ada kendaraan lain yang tidak mau mengalah di samping saya. Saya cuma bisa berdoa supaya bisa selamat dalam menepikan motor ke pinggir jalan. Untungnya tidak ada mobil yang menyalip dari sebelah kiri.
Motor berhasil diarahkan ke Zoo Negara. Tapi jalan di situ ternyata juga menurun. Saya kembali menekan sepatu ke aspal sambil tak henti berdoa. Perlahan-lahan, motor mulai berhenti. Setelah beberapa saat, kendaraan roda dua itu akhirnya berhenti sama sekali. Saya segera memarkir kendaraan itu dan turun.
Saya duduk di pinggir jalan dan diam untuk beberapa saat. Jantung saya masih berdebar kencang Pengalaman itu seolah melumpuhkan seluruh syaraf saya. Selama beberapa saat lamanya, seluruh kehidupan saya seperti tersedot ke dalam pengalaman menakutkan yang baru saja saya alami.
Setelah perasaan mencekam itu mulai hilang, saya mengeluarkan handphone untuk menelpon atau meng-sms teman. Tapi ternyata pulsa saya habis. Saya juga tidak membawa cukup uang untuk mengendarai taksi. Seorang bapak yang mengamati apa yang terjadi pada saya sebelumnya berjalan mendekat dan menanyakan keadaan saya. Saya menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada bapak itu. Ketika ia menawarkan bantuan, saya menanyakan apakah boleh meminjam handphone-nya untuk mengirim sms. Ia mengangguk dan mengeluarkan handphone.
Saya mengirim sms kepada seseorang di tempat saya mengajar, menanyakan apakah saya boleh meminjam uang setibanya di sekolah nanti. Saya mendapat jawaban positif, lalu segera mencari taksi dan menuju ke sekolah.
Saya bersyukur, tidak terjadi sesuatu pada saya dan motor saya. Sejak saat itu saya tidak pernah menunda-nunda lagi jika ada bagian motor yang perlu diperbaiki. Saya tidak hidup sendirian. Ada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab saya. Ada orang-orang yang mengikuti pengajian saya.
Merawat dan memperhatikan kondisi kendaraan merupakan hal yang sangat penting dan tidak boleh diremehkan. Ia bagian dari tanggung jawab sebagai seorang Muslim.
KL, 15 Agustus 2009
Sebagaimana dituturkan oleh seorang ustadz
Ditinggal Saat Gempa
Pasien Ditinggal Saat Gempa
Alwi Alatas
Apa yang terjadi sekiranya seorang pasien yang tubuhnya masih ditempeli alat-alat rumah sakit, mengalami halusinasi karena obat, lalu gempa 7,6 SR tiba-tiba terjadi … dan ia ditinggal lari oleh para suster rumah sakit?
Inilah yang terjadi pada seorang ibu yang sedang berobat di Padang saat gempa terjadi (tentu saja ia sama sekali tidak tahu gempa akan terjadi), Rabu 30 September lalu. Ia mengalami persoalan dengan ginjalnya karena terlalu sering memakan obat-obatan. Hal itu menyebabkan ia terpaksa melakukan terapi secara rutin di sebuah rumah sakit di Padang guna menyembuhkan penyakitnya.
Pada hari Rabu itu sebetulnya ia merasa enggan untuk berobat, walaupun ia dijadwalkan untuk melanjutkan terapi pada hari tersebut. Namun suaminya mendesaknya untuk tidak menunda-nunda jadwal berobat. Maka ia pun berangkat ke rumah sakit dengan ditemani sang suami.
Sampai di rumah sakit, ia segera mendaftar dan menunggu giliran berobat. Sementara itu suaminya pergi keluar rumah sakit untuk keperluan lain. Akhirnya gilirannya tiba dan ia masuk ke dalam ruangan untuk menjalani terapi. Dalam proses terapi, beberapa alat dipasangkan ke tubuhnya dan ia juga minum obat (valium), mungkin untuk mengurangi rasa sakit saat pengobatan. Obat yang diminumnya menyebabkan ia mengalami keadaan setengah sadar, seperti orang yang sedang ngantuk berat. Di tengah keadaan yang agak halusinatif itu, ia melihat para suster sibuk menangani dirinya.
Lalu tiba-tiba ia merasa langit-langit rumah sakit bergoyang. Ia tidak bisa memastikan apa yang sedang terjadi karena ia berada dalam keadaan setengah sadar. Apakah rumah sakit itu memang sedang bergetar hebat atau itu hanya khayalan semata? Rasanya sungguh aneh sekali.
Yang lebih aneh lagi adalah para suster yang ada di ruangan kini berhamburan keluar, meninggalkan dirinya sendirian di dalam ruangan. Semuanya masih terasa bergoyang, tapi kesadarannya dan keadaan fisiknya yang lemah tidak memungkinkannya untuk memahami dengan baik keganjilan yang tengah terjadi. Apa yang sebenarnya sedang berlaku? Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Dengan segala kemampuannya, ia kemudian memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Dengan beberapa alat masih menempel di tubuhnya, ia berjalan dengan susah payah keluar pintu ruangan dan seterusnya keluar gedung rumah sakit. Orang yang sehat dan kondisi kesadarannya penuh saja tidak bisa bergerak normal dalam situasi seperti itu. Ia sendiri tidak bisa mengenali keadaan diri dan lingkungannya dengan baik. Namun, instingnya memaksa dirinya bergerak terus keluar rumah sakit. Di tengah-tengah kesadarannya yang lemah, ia masih bisa merasakan ada benda-benda berjatuhan di sekitar dirinya. Untungnya tidak satupun benda-benda itu menimpa tubuhnya.
Walaupun dalam keadaan tertatih-tatih dan tanpa bantuan siapa pun, ia akhirnya berhasil mencapai pintu keluar rumah sakit. Ia terus berjalan meninggalkan bangunan itu ketika ia mendengar suara gemuruh di belakangnya. Ia menoleh ke belakang dan menyaksikan gedung rumah sakit baru saja runtuh. Beberapa detik saja lebih lambat, ia tentu akan terkubur di dalam puing-puing bangunan itu.
Kalau mau dipikir-pikir, rasanya mustahil pasien yang sedang setengah sadar seperti ini bisa lolos dari gempa 7,6 SR di Padang. Tapi itulah kenyataannya. Benarlah yang dikatakan al-Qur’an bahwa maut itu sudah ditentukan waktunya, tidak bisa diundur dan tidak bisa dimajukan (la yasta’khiruna sa’atan wala yastaqdimun). Pasien ini belum sampai pada akhir umurnya, maka ia pun selamat.
Jakarta, 8 Oktober 2009
Alwi Alatas
Apa yang terjadi sekiranya seorang pasien yang tubuhnya masih ditempeli alat-alat rumah sakit, mengalami halusinasi karena obat, lalu gempa 7,6 SR tiba-tiba terjadi … dan ia ditinggal lari oleh para suster rumah sakit?
Inilah yang terjadi pada seorang ibu yang sedang berobat di Padang saat gempa terjadi (tentu saja ia sama sekali tidak tahu gempa akan terjadi), Rabu 30 September lalu. Ia mengalami persoalan dengan ginjalnya karena terlalu sering memakan obat-obatan. Hal itu menyebabkan ia terpaksa melakukan terapi secara rutin di sebuah rumah sakit di Padang guna menyembuhkan penyakitnya.
Pada hari Rabu itu sebetulnya ia merasa enggan untuk berobat, walaupun ia dijadwalkan untuk melanjutkan terapi pada hari tersebut. Namun suaminya mendesaknya untuk tidak menunda-nunda jadwal berobat. Maka ia pun berangkat ke rumah sakit dengan ditemani sang suami.
Sampai di rumah sakit, ia segera mendaftar dan menunggu giliran berobat. Sementara itu suaminya pergi keluar rumah sakit untuk keperluan lain. Akhirnya gilirannya tiba dan ia masuk ke dalam ruangan untuk menjalani terapi. Dalam proses terapi, beberapa alat dipasangkan ke tubuhnya dan ia juga minum obat (valium), mungkin untuk mengurangi rasa sakit saat pengobatan. Obat yang diminumnya menyebabkan ia mengalami keadaan setengah sadar, seperti orang yang sedang ngantuk berat. Di tengah keadaan yang agak halusinatif itu, ia melihat para suster sibuk menangani dirinya.
Lalu tiba-tiba ia merasa langit-langit rumah sakit bergoyang. Ia tidak bisa memastikan apa yang sedang terjadi karena ia berada dalam keadaan setengah sadar. Apakah rumah sakit itu memang sedang bergetar hebat atau itu hanya khayalan semata? Rasanya sungguh aneh sekali.
Yang lebih aneh lagi adalah para suster yang ada di ruangan kini berhamburan keluar, meninggalkan dirinya sendirian di dalam ruangan. Semuanya masih terasa bergoyang, tapi kesadarannya dan keadaan fisiknya yang lemah tidak memungkinkannya untuk memahami dengan baik keganjilan yang tengah terjadi. Apa yang sebenarnya sedang berlaku? Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Dengan segala kemampuannya, ia kemudian memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Dengan beberapa alat masih menempel di tubuhnya, ia berjalan dengan susah payah keluar pintu ruangan dan seterusnya keluar gedung rumah sakit. Orang yang sehat dan kondisi kesadarannya penuh saja tidak bisa bergerak normal dalam situasi seperti itu. Ia sendiri tidak bisa mengenali keadaan diri dan lingkungannya dengan baik. Namun, instingnya memaksa dirinya bergerak terus keluar rumah sakit. Di tengah-tengah kesadarannya yang lemah, ia masih bisa merasakan ada benda-benda berjatuhan di sekitar dirinya. Untungnya tidak satupun benda-benda itu menimpa tubuhnya.
Walaupun dalam keadaan tertatih-tatih dan tanpa bantuan siapa pun, ia akhirnya berhasil mencapai pintu keluar rumah sakit. Ia terus berjalan meninggalkan bangunan itu ketika ia mendengar suara gemuruh di belakangnya. Ia menoleh ke belakang dan menyaksikan gedung rumah sakit baru saja runtuh. Beberapa detik saja lebih lambat, ia tentu akan terkubur di dalam puing-puing bangunan itu.
Kalau mau dipikir-pikir, rasanya mustahil pasien yang sedang setengah sadar seperti ini bisa lolos dari gempa 7,6 SR di Padang. Tapi itulah kenyataannya. Benarlah yang dikatakan al-Qur’an bahwa maut itu sudah ditentukan waktunya, tidak bisa diundur dan tidak bisa dimajukan (la yasta’khiruna sa’atan wala yastaqdimun). Pasien ini belum sampai pada akhir umurnya, maka ia pun selamat.
Jakarta, 8 Oktober 2009
Membeli Semangat
Membeli Semangat
Suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang kawan yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Malaysia, Ustadz Ali al-Hamid. Beliau sedang pulang sebentar ke Jakarta untuk suatu keperluan. Di rumahnya, saya juga berbincang-bincang dengan ayahnya, ammi Abu Bakar al-Hamid.
Ketika kami tengah berbincang, tiba-tiba lewat seorang tukang bubur di depan rumah. Ammi Abu Bakar memanggil tukang bubur itu dan menawari kami semua untuk makan bubur, tapi rupanya tak seorang pun yang sedang berminat makan bubur pagi itu. Jadi beliau akhirnya membeli satu piring saja untuk dirinya sendiri.
Ketika beliau membawa masuk sepiring bubur itu dan hendak memakannya, beliau berkata, ”Sebenarnya, saya tidak ingin makan bubur. Saya membelinya semata-mata untuk mendukung usaha tukang bubur itu. Buat saya ini lebih baik daripada memberi sedekah.”
Lalu sambil makan bubur beliau bercerita, ”Saya selalu berusaha untuk membeli barang dagangan (orang-orang kecil) semampu saya untuk mendukung usaha mereka. Bisa kamu bayangkan betapa bahagia dan bersemangatnya seorang pedagang ketika barang dagangannya dibeli.
”Dulu saya pernah pergi naik bus dari Jakarta ke Surabaya. Di banyak tempat bus itu berhenti dan banyak pedagang naik untuk menjual beraneka macam barang yang harganya sangat murah. Saya selalu membeli barang-barang dagangan mereka, tapi tidak pernah menyimpannya. Barang-barang itu saya berikan ke orang lain setelah saya beli.
“Lama kelamaan orang yang duduk di sebelah saya bertanya mengapa saya melakukan hal semacam itu, yaitu membeli barang-barang tapi kemudian malah memberikannya kepada orang lain.”
“Maka saya jawab, ‘Sebenarnya saya bukannya membeli barang. Saya membeli semangat. Saya membeli semangat dagang mereka.’”
Jakarta, 16/01/09 (22.40)
Alwi Alatas
Suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang kawan yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Malaysia, Ustadz Ali al-Hamid. Beliau sedang pulang sebentar ke Jakarta untuk suatu keperluan. Di rumahnya, saya juga berbincang-bincang dengan ayahnya, ammi Abu Bakar al-Hamid.
Ketika kami tengah berbincang, tiba-tiba lewat seorang tukang bubur di depan rumah. Ammi Abu Bakar memanggil tukang bubur itu dan menawari kami semua untuk makan bubur, tapi rupanya tak seorang pun yang sedang berminat makan bubur pagi itu. Jadi beliau akhirnya membeli satu piring saja untuk dirinya sendiri.
Ketika beliau membawa masuk sepiring bubur itu dan hendak memakannya, beliau berkata, ”Sebenarnya, saya tidak ingin makan bubur. Saya membelinya semata-mata untuk mendukung usaha tukang bubur itu. Buat saya ini lebih baik daripada memberi sedekah.”
Lalu sambil makan bubur beliau bercerita, ”Saya selalu berusaha untuk membeli barang dagangan (orang-orang kecil) semampu saya untuk mendukung usaha mereka. Bisa kamu bayangkan betapa bahagia dan bersemangatnya seorang pedagang ketika barang dagangannya dibeli.
”Dulu saya pernah pergi naik bus dari Jakarta ke Surabaya. Di banyak tempat bus itu berhenti dan banyak pedagang naik untuk menjual beraneka macam barang yang harganya sangat murah. Saya selalu membeli barang-barang dagangan mereka, tapi tidak pernah menyimpannya. Barang-barang itu saya berikan ke orang lain setelah saya beli.
“Lama kelamaan orang yang duduk di sebelah saya bertanya mengapa saya melakukan hal semacam itu, yaitu membeli barang-barang tapi kemudian malah memberikannya kepada orang lain.”
“Maka saya jawab, ‘Sebenarnya saya bukannya membeli barang. Saya membeli semangat. Saya membeli semangat dagang mereka.’”
Jakarta, 16/01/09 (22.40)
Alwi Alatas
Miskin atau Kaya Dulu?
Miskin atau Kaya Dulu?
Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke rumah seorang sepupu saya yang usianya jauh lebih tua. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Lalu tibalah pembicaraan ke tema tentang nasib. Sepupu saya yang bernama Husin itu lantas berkata bahwa dalam banyak hal manusia bisa berikhtiar atas nasibnya. Artinya, manusia bisa berusaha untuk memilih nasibnya sendiri, dengan izin Allah tentu saja, dan pilihannya itu boleh jadi memberikan sebuah arah bagi masa depannya. Ia lalu bercerita tentang kisah sepasang suami istri yang sudah lama tak dikaruniai anak dan hidup secara sederhana (saya tidak tahu dari mana beliau mendapatkan cerita ini, apakah dari buku atau dari penuturan orang lain).
“Pada suatu hari, sepasang suami istri ini tidur dan bermimpi. Di dalam mimpinya mereka diberitahu bahwa separuh hidup mereka akan msikin dan separuh hidupnya yang lain akan menjadi kaya raya. Mereka dipersilahkan memilih akan menempuh yang mana dulu. Sekiranya mereka ingin kaya dulu, maka akhir hidup mereka bakal jadi miskin. Kalau mereka memilih miskin terlebih dahulu, maka separuh akhir hidup mereka akan menjadi kaya raya.
“Ketika bangun dari tidurnya, si suami menceritakan mimpinya kepada sang istri. Istrinya merasa terkejut dan mengatakan bahwa ia juga mendapatkan mimpi yang sama. Karena kejadian yang unik ini, keduanya memutuskan untuk mendatangi seorang ulama untuk berkonsultasi. Setelah berjumpa dengan si ulama dan menceritakan mimpi mereka, ulama tersebut menjelaskan bahwa mimpi mereka itu kemungkinan besar merupakan mimpi yang benar. Maka ia menyarankan keduanya untuk menetapkan pilihan yang diberikan di dalam mimpi tersebut dan berdoa pada Allah. Kedua suami istri ini kemudian menjalankan saran si ulama dan menetapkan pilihan mereka.”
Saat mendengarkan cerita ini, sempat terlintas di benak saya untuk ikut memilih. Sekiranya saya yang berada di posisi kedua orang itu, kemungkinan besar saya akan memilih untuk menjadi miskin dulu, lalu menjadi kaya raya di akhir hidup. Seperti kata pepatah kan: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Saya pikir suami istri ini tentu juga bakal memilih seperti itu. Apa enaknya menjadi kaya dulu tapi akhirnya susah.
Tapi ternyata tebakan saya meleset. Suami istri itu, menurut cerita sepupu saya, memilih kebalikan dari itu.
“Suami istri tadi memilih dan memohon pada Allah untuk menjadi kaya dulu dan menjadi miskin di akhir hidupnya,” sepupu saya melanjutkan ceritanya. “Mereka ingin berbuat sesuatu dengan kekayaannya itu selagi mereka masih muda dan kuat, sehingga mereka bisa menolong banyak orang dengannya. Adapun di akhir hidupnya mereka akan menghabiskan waktu untuk banyak beribadah pada Allah. Mereka tidak perduli menjadi miskin di akhir hidupnya. Itu mungkin lebih baik, karena dengan begitu ibadah mereka tidak akan terganggu oleh kesibukan duniawi.
“Maka Allah pun mengabulkan doa mereka. Tak lama kemudian mereka menjadi kaya raya. Allah juga menganugerahkan mereka anak. Seperti yang mereka niatkan, kekayaan tidak menjadikan mereka sombong dan lupa diri. Mereka banyak menolong orang dengan harta kekayaan tersebut. Harta terus mengalir ke pundi-pundi tabungan mereka, sementara pada saat yang sama mereka tak bosan-bosannya menyedekahkan harta mereka itu kepada orang-orang yang membutuhkannya.
“Hari berganti hari dan tahun berganti tahun. Mereka telah melewati tahun-tahun kesenangan dan merasa sudah hampir tiba waktunya untuk mempersiapkan diri menghadapi masuknya paruh akhir hidup mereka. Mereka sudah merasa puas telah memanfaatkan harta benda mereka di masa kaya untuk bersedekah dan terus menerus berbuat baik. Kini mereka siap sekiranya Allah mengambil harta benda tersebut dan menjadikan mereka miskin. Mereka akan menghabiskan sisa umur mereka untuk beribadah pada Allah.
“Akhirnya, pada suatu malam mereka bermimpi lagi. Di dalam mimpinya itu mereka diberitahu bahwa sudah datang waktunya bagi mereka memasuki paruh terakhir umur mereka. Hanya saja, ternyata nasib mereka berubah. Mereka tak perlu menghabiskan sisa umur mereka dalam kemiskinan. Allah menganugerahkan sisa umur mereka dalam kekayaan, bukan dalam kemiskinan. Sedekah dan kebaikan-kebaikan selama mereka kaya raya telah mengubah garis nasib mereka.
“Mereka hidup dalam kemakmuran, kebahagiaan, dan amal shalih hingga ke akhir hidup mereka.”
By: Alwi Alatas
Jakarta, 15/11/08
Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke rumah seorang sepupu saya yang usianya jauh lebih tua. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Lalu tibalah pembicaraan ke tema tentang nasib. Sepupu saya yang bernama Husin itu lantas berkata bahwa dalam banyak hal manusia bisa berikhtiar atas nasibnya. Artinya, manusia bisa berusaha untuk memilih nasibnya sendiri, dengan izin Allah tentu saja, dan pilihannya itu boleh jadi memberikan sebuah arah bagi masa depannya. Ia lalu bercerita tentang kisah sepasang suami istri yang sudah lama tak dikaruniai anak dan hidup secara sederhana (saya tidak tahu dari mana beliau mendapatkan cerita ini, apakah dari buku atau dari penuturan orang lain).
“Pada suatu hari, sepasang suami istri ini tidur dan bermimpi. Di dalam mimpinya mereka diberitahu bahwa separuh hidup mereka akan msikin dan separuh hidupnya yang lain akan menjadi kaya raya. Mereka dipersilahkan memilih akan menempuh yang mana dulu. Sekiranya mereka ingin kaya dulu, maka akhir hidup mereka bakal jadi miskin. Kalau mereka memilih miskin terlebih dahulu, maka separuh akhir hidup mereka akan menjadi kaya raya.
“Ketika bangun dari tidurnya, si suami menceritakan mimpinya kepada sang istri. Istrinya merasa terkejut dan mengatakan bahwa ia juga mendapatkan mimpi yang sama. Karena kejadian yang unik ini, keduanya memutuskan untuk mendatangi seorang ulama untuk berkonsultasi. Setelah berjumpa dengan si ulama dan menceritakan mimpi mereka, ulama tersebut menjelaskan bahwa mimpi mereka itu kemungkinan besar merupakan mimpi yang benar. Maka ia menyarankan keduanya untuk menetapkan pilihan yang diberikan di dalam mimpi tersebut dan berdoa pada Allah. Kedua suami istri ini kemudian menjalankan saran si ulama dan menetapkan pilihan mereka.”
Saat mendengarkan cerita ini, sempat terlintas di benak saya untuk ikut memilih. Sekiranya saya yang berada di posisi kedua orang itu, kemungkinan besar saya akan memilih untuk menjadi miskin dulu, lalu menjadi kaya raya di akhir hidup. Seperti kata pepatah kan: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Saya pikir suami istri ini tentu juga bakal memilih seperti itu. Apa enaknya menjadi kaya dulu tapi akhirnya susah.
Tapi ternyata tebakan saya meleset. Suami istri itu, menurut cerita sepupu saya, memilih kebalikan dari itu.
“Suami istri tadi memilih dan memohon pada Allah untuk menjadi kaya dulu dan menjadi miskin di akhir hidupnya,” sepupu saya melanjutkan ceritanya. “Mereka ingin berbuat sesuatu dengan kekayaannya itu selagi mereka masih muda dan kuat, sehingga mereka bisa menolong banyak orang dengannya. Adapun di akhir hidupnya mereka akan menghabiskan waktu untuk banyak beribadah pada Allah. Mereka tidak perduli menjadi miskin di akhir hidupnya. Itu mungkin lebih baik, karena dengan begitu ibadah mereka tidak akan terganggu oleh kesibukan duniawi.
“Maka Allah pun mengabulkan doa mereka. Tak lama kemudian mereka menjadi kaya raya. Allah juga menganugerahkan mereka anak. Seperti yang mereka niatkan, kekayaan tidak menjadikan mereka sombong dan lupa diri. Mereka banyak menolong orang dengan harta kekayaan tersebut. Harta terus mengalir ke pundi-pundi tabungan mereka, sementara pada saat yang sama mereka tak bosan-bosannya menyedekahkan harta mereka itu kepada orang-orang yang membutuhkannya.
“Hari berganti hari dan tahun berganti tahun. Mereka telah melewati tahun-tahun kesenangan dan merasa sudah hampir tiba waktunya untuk mempersiapkan diri menghadapi masuknya paruh akhir hidup mereka. Mereka sudah merasa puas telah memanfaatkan harta benda mereka di masa kaya untuk bersedekah dan terus menerus berbuat baik. Kini mereka siap sekiranya Allah mengambil harta benda tersebut dan menjadikan mereka miskin. Mereka akan menghabiskan sisa umur mereka untuk beribadah pada Allah.
“Akhirnya, pada suatu malam mereka bermimpi lagi. Di dalam mimpinya itu mereka diberitahu bahwa sudah datang waktunya bagi mereka memasuki paruh terakhir umur mereka. Hanya saja, ternyata nasib mereka berubah. Mereka tak perlu menghabiskan sisa umur mereka dalam kemiskinan. Allah menganugerahkan sisa umur mereka dalam kekayaan, bukan dalam kemiskinan. Sedekah dan kebaikan-kebaikan selama mereka kaya raya telah mengubah garis nasib mereka.
“Mereka hidup dalam kemakmuran, kebahagiaan, dan amal shalih hingga ke akhir hidup mereka.”
By: Alwi Alatas
Jakarta, 15/11/08
Mengapa Tidak?
Mengapa Tidak
Ada sebuah cuplikan film kartun yang sangat menarik. Pendek memang, tapi lucu dan mengesankan. Pada cuplikan itu digambarkan tokoh kartunnya sedang menaiki sebuah kapal di laut lepas. Lalu terjadi badai besar yang membuat kapalnya terdampar dan hancur berantakan di sebuah pulau kecil. Ketika sudah berada di pantai pulau kecil itu, si tokoh kartun ini menatap langit dan berkata dengan nada protes, “Mengapa saya?”
Tak lama kemudian, ketika tokoh kartun itu masih berdiri di tempat yang sama, turun sebuah jawaban. Sebuah balon turun ke bawah dari langit. Balon itu bertuliskan, “Mengapa tidak?”
Cuplikan film kartun ini, setidaknya paruh bagian yang pertama, seringkali mewakili hidup kita. Ketika kita mendapatkan sebuah musibah yang berat, kita mengeluh dan memprotes, “Mengapa saya?” “Mengapa harus saya yang menerima musibah semacam ini?” “Mengapa saya harus menerima beban berat ini?” Kita tidak bisa menerima musibah yang menimpa kita itu. Dan karena tidak bisa menerimanya, kita jadi makin tertekan dan kehilangan optimisme. Kita mempertanyakannya, “Mengapa saya?” Padahal pertanyaan itu tidak memberi manfaat apa pun bagi kita.
Kita tidak perlu menunggu datangnya sebuah jawaban, tidak juga turunnya sebuah balon bertuliskan, “Mengapa tidak.” Karena jawaban semacam itu memang tidak akan pernah datang. Cukup terima saja bahwa itu sudah terjadi pada kita. Berat memang. Tapi itu sudah terjadi dan kita tidak bisa berbuat apa-apa atasnya. Daripada menanyakan yang tidak perlu, lebih baik kita menatap masa depan dan mengambil tindakan nyata. Lupakan yang sudah berlalu dan berbuatlah secara positif untuk hari ini dan hari esok.
Jadi, buat apa bertanya, “Mengapa saya?” Lebih baik bertanya, “Lalu, apa yang bisa saya lakukan sekarang?” Lakukanlah apa yang kita bisa dan bangkitlah kembali tanpa mengeluh. Hanya dengan cara seperti itu kita bisa memperbaiki keadaan dan bangkit kembali menuju keberhasilan. Barangkali suatu saat nanti kita justru akan mengangguk dan tersenyum saat mengingat musibah yang pernah menimpa kita, “Ya, mengapa tidak?”
By: Alwi Alatas,
Jakarta, 18/11/08
Ada sebuah cuplikan film kartun yang sangat menarik. Pendek memang, tapi lucu dan mengesankan. Pada cuplikan itu digambarkan tokoh kartunnya sedang menaiki sebuah kapal di laut lepas. Lalu terjadi badai besar yang membuat kapalnya terdampar dan hancur berantakan di sebuah pulau kecil. Ketika sudah berada di pantai pulau kecil itu, si tokoh kartun ini menatap langit dan berkata dengan nada protes, “Mengapa saya?”
Tak lama kemudian, ketika tokoh kartun itu masih berdiri di tempat yang sama, turun sebuah jawaban. Sebuah balon turun ke bawah dari langit. Balon itu bertuliskan, “Mengapa tidak?”
Cuplikan film kartun ini, setidaknya paruh bagian yang pertama, seringkali mewakili hidup kita. Ketika kita mendapatkan sebuah musibah yang berat, kita mengeluh dan memprotes, “Mengapa saya?” “Mengapa harus saya yang menerima musibah semacam ini?” “Mengapa saya harus menerima beban berat ini?” Kita tidak bisa menerima musibah yang menimpa kita itu. Dan karena tidak bisa menerimanya, kita jadi makin tertekan dan kehilangan optimisme. Kita mempertanyakannya, “Mengapa saya?” Padahal pertanyaan itu tidak memberi manfaat apa pun bagi kita.
Kita tidak perlu menunggu datangnya sebuah jawaban, tidak juga turunnya sebuah balon bertuliskan, “Mengapa tidak.” Karena jawaban semacam itu memang tidak akan pernah datang. Cukup terima saja bahwa itu sudah terjadi pada kita. Berat memang. Tapi itu sudah terjadi dan kita tidak bisa berbuat apa-apa atasnya. Daripada menanyakan yang tidak perlu, lebih baik kita menatap masa depan dan mengambil tindakan nyata. Lupakan yang sudah berlalu dan berbuatlah secara positif untuk hari ini dan hari esok.
Jadi, buat apa bertanya, “Mengapa saya?” Lebih baik bertanya, “Lalu, apa yang bisa saya lakukan sekarang?” Lakukanlah apa yang kita bisa dan bangkitlah kembali tanpa mengeluh. Hanya dengan cara seperti itu kita bisa memperbaiki keadaan dan bangkit kembali menuju keberhasilan. Barangkali suatu saat nanti kita justru akan mengangguk dan tersenyum saat mengingat musibah yang pernah menimpa kita, “Ya, mengapa tidak?”
By: Alwi Alatas,
Jakarta, 18/11/08
Tersenyum di Saat Musibah
Apakah Anda mampu tersenyum di saat bisnes Anda hancur berantakan, padahal sebelumnya bisnes Anda sedang maju-majunya? Mampukah Anda tetap tersenyum dan bersikap wajar sementara keadaan ekonomi Anda begitu terpuruk dan Anda dililit banyak hutang? Tidak banyak orang yang mampu bersikap seperti ini. Tapi saya mengenal salah seorang di antaranya, yaitu teman saya, Abdul Basith.
Abdul Basith merupakan seorang pemuda yang ulet dan supel. Ia sudah mulai terjun ke dunia bisnes ketika masih berkuliah di STEI Ahmad Dahlan Ciputat. Walaupun berasal dari daerah, ia cepat akrab dengan orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya di Jakarta. Malah dapat dikatakan, gayanya sangat mirip dengan orang Jakarta sendiri.
Sejak tahun 1999, ia memulai sebuah usaha kecil dengan cara membuka sebuah warung sembako di sebuah gang sempit di wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Warung tempat usahanya itu berlokasi tak terlalu jauh dari Kali Ciliwung yang membatasi Pasar Minggu dan Condet, benar-benar sebuah tempat yang sederhana dan bersahaja. Ia memulai usahanya berdua dengan seorang temannya, masing-masing mengeluarkan modal sebesar 5 juta rupiah. Walaupun demikian, temannya hanya berperan sebagai investor dan tidak terlibat langsung dengan aktiviti bisnesnya secara langsung. Basith sendirilah yang memutar modal tersebut menjadi sebuah usaha yang mampu bertahan, bahkan berkembang, selama beberapa tahun. Lewat bisnes sederhana tersebut, masing-masing investor bisa memperoleh keuntungan sebesar 400 ribu rupiah setiap bulannya.
Kurang lebih dua tahun kemudian, Teman saya ini menikah. Ia kemudian mengontrak sebuah rumah pada awal tahun 2001 yang ia jadikan sebagai sebuah tempat usaha baru, sekaligus sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Semula ia memfokuskan diri pada bisnes beras di warungnya yang baru ini, tapi belakangan ia mengurangi bisnes beras dan menjadikan warung barunya ini sebagai warung sembako dengan harga grosir. Pada akhir 2001, ia menutup toko pertamanya dan memusatkan perhatian pada toko keduanya. Kali ini, ia menjadi pemilik tunggal dari usaha tersebut.
Usahanya sedikit demi sedikit merayap naik dan semakin maju. Sebetulnya pada masa-masa inilah saya mulai mengenal Basith. Saya kagum dengan ketekunan dan kepercayaan dirinya mengelola bisnes. Ia sama sekali tidak tampak seperti seorang sarjana S1. Ia tidak malu untuk terjun di bisnes kecil semacam ini. Walaupun bisnesnya masih terbilang kecil, saya percaya lama kelamaan ia akan mampu meluaskan cakupan usahanya.
Dugaan saya sama sekali tidak meleset. Pada tahun 2003 ia mulai melakukan ekspansi bisnes. Melalui suntikan dana investor, ia berhasil membuka toko di tempat lain. Ia membuka sebuah toko sembako baru di daerah Kemuning, masih di wilayah Pasar Minggu. Pada tahun 2004, ia membuka sebuah toko baru lagi di daerah Srengseng. Jadi total ia memiliki tiga buah toko yang harus dikelola pada waktu yang bersamaan. Untuk menjalankan usahanya yang semakin berkembang itu, ia tentu saja memerlukan pekerja-pekerja baru untuk menjaga toko-toko tersebut, dan ia juga memerlukan alat transportasi yang memungkinkannya mengambil barang dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tokonya. Untuk keperluan SDM baru, ia merekrut keponakan-keponakannya sendiri. Sementara untuk menopang keperluan alat transportasi, ia membeli sebuah mobil pick up seharga 19 juta rupiah dengan cara mencicil.
Pada tahun 2004, ketika saya sendiri masih jungkir balik berjualan donat dan hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, saya mendapati bisnes sahabat saya ini mulai menanjak. Saya turut bersyukur melihat kemajuan usahanya. Semakin hari saya dapati kesibukannya makin meningkat. Setidaknya saya menitipkan beberapa kotak donat saya di dua buah tokonya. Saya melihat masa depan bisnes kawan ini sangat cerah. Barangkali suatu saat nanti dia bakal memiliki minimarket, atau supermarket, atau mungkin juga beberapa bisnes besar lainnya.
Pada pertengahan tahun 2004 saya berangkat untuk melanjutkan kuliah di Malaysia dan menjadi semakin jarang berkomunikasi dengan sahabat saya ini. Saya tidak mengikuti lagi perkembangan bisnesnya. Walaupun pada awalnya kami masih suka berkirim sms, tapi belakangan hal itu tidak terjadi lagi disebabkan waktu dan kesibukan kami masing-masing. Saya kadang mengunjunginya di hari-hari liburan yang pendek ketika saya berada di Jakarta dan saya sempat mendengar persoalan yang diutarakannya tentang bisnes yang mengalami kesulitan dan ganjalan. Namun, saya melihat bisnesnya masih cukup besar dan mampu melewati badai kesulitan. Sosoknya yang santai tapi kokoh tentu bisa mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Saya sendiri pada waktu yang hampir bersamaan sedang dipusingkan oleh kesulitan saya sendiri terkait dengan biaya kuliah di Malaysia. Saya sempat memutuskan untuk cuti karena tak punya uang untuk membayar biaya kuliah. Namun alhamdulillah berkat dukungan beberapa orang sanak family saya berhasil melanjutkan kuliah kembali. Ketika keadaan saya mulai tenang dan saya mulai melakukan riset untuk tesis di akhir tahun 2006, saya memutuskan untuk mampir ke tempat Basith untuk sekedar bersilaturahim.
Saya sampai di depan rumah, sekaligus toko utama, sahabat saya itu. Apa yang saya lihat betul-betul membuat saya terkejut. Toko yang dulunya penuh berisi barang-barang dagangan itu kini kosong melompong. Tak satu pun barang dagangan tampak di tempat itu. Langit-langit ruangan yang dulu penuh berisi, rak-rak yang dijejali oleh aneka macam barang, etalase kaca yang biasanya padat terisi, serta anak-anak yang selalunya mondari-mandir ke tempat itu untuk membeli jajanan, kini lenyap tak bersisa. Semuanya raib seperti embun yang menguap di padang gurun. Toko itu telah mati, dan saya seperti menatap sebuah kuburan.
Roda dunia benar-benar berputar. Yang tadinya di atas kini berada di bawah, di titik nadir. Pemandangan di depan toko itu menimbulkan sedikit rasa syok dan kesedihan di hati saya. Apa yang telah terjadi pada sahabat saya ini? Mengapa usahanya sampai gulung tikar seperti ini?
Saat yang berjumpa dengannya saya menjadi lebih terkejut lagi. Ia menyambut saya dengan ramah, seolah tidak terjadi sesuatu yang serius dengan usahanya. Saya bertanya kepadanya mengapa tokonya kosong seperti itu. Ia tersenyum renyah dan berkata apa adanya, bahwa usahanya itu telah gulung tikar. Ia sekarang tidak punya apa-apa lagi. Hutangnya pada para investor juga bertumpuk dan ia tak tahu bagaimana harus melunasinya. Yang jelas ia menyicil pembayaran hutang itu sesuai kesanggupannya. Ketika saya bertanya besar kecil hutangnya, ia memberi isyarat kalau hutangnya lebih dari 50 juta rupiah. Kepala saya pusing mendengarnya. Saya pernah punya hutang belasan juta rupiah. Rasanya sungguh menyiksa sekali, walaupun pihak yang memberi piutang tidak pernah menagihnya pada saya. Sementara sahabat di depan saya ini punya masalah yang jauh lebih besar dari saya. Saya jadi merasa tidak tega menanyakan soal kejatuhan bisnesnya lebih jauh, walaupun ia bersikap santai dan biasa saja.
Di perjalanan pulang saya masih sulit mempercayai apa yang saya lihat. Teman saya ini telah memulai bisnes dari nol, lalu mengembangkan bisnes dan membuka cabang-cabang baru dari tokonya. Ia telah berada di sebuah jalur kesuksesan. Namun, tiba-tiba saja bisnesnya dilanda badai. Dan pada saat badai sudah mereda, ia bukan saja tidak punya apa-apa, tapi juga setumpuk hutang yang harus ia cicil pembayarannya. Bisnes sembako yang telah dirintisnya selama tujuh tahun habis tak bersisa. Sama sekali tidak ada bekasnya. Bahkan sepotong permen pun tak ada lagi di toko itu. Ia kini berjualan kerupuk rengginang dan menitipkannya di warung-warung. Di samping itu, ia juga berusaha mencari-cari peluang usaha baru, tapi akhirnya tak mampu melangkah lebih jauh karena ketiadaan modal.
Saya tak sempat bertemu dengan beliau lagi setelah itu, karena saya harus kembali ke Kuala Lumpur untuk menyelesaikan thesis dan kuliah saya. Saya baru berinteraksi lagi dengan beliau dua tahun kemudian, yaitu akhir tahun 2008 ini, setelah saya kembali dari Malaysia dan menetap di Jakarta. Pada saat itulah saya menyempatkan diri untuk menanyakan kisah perjalanan bisnesnya secara lengkap. Ia pun menjelaskan bagaimana ia mengawali bisnes hingga akhirnya mencapai puncaknya, sebagaimana telah saya ceritakan sebelumnya di atas.
“Ketika bisnes saya di toko yang sekaligus menjadi tempat tinggal saya ini telah mapan dan kokoh, maka saya pun memantapkan diri untuk mengembangkan bisnes,” ia menjelaskan awal keberhasilan sekaligus kekacauan bisnesnya. “Untuk mengembangkan bisnes, tentu saja saya memerlukan modal tambahan. Akhirnya saya berhasil mendapatkan pinjaman dari tiga orang, masing-masing sebesar 25 juta, 20 juta, dan 28 juta rupiah. Saya menawarkan bagi hasil yang menarik pada masing-masing investor ….
“Kesalahan saya adalah semua kerugian hanya ditanggung oleh saya sendiri. Kalau terjadi kerugian, pihak investor tidak ikut menanggungnya. Begitu perjanjiannya.”
“Mana bisa seperti itu,” saya memprotes. “Dalam perjanjian bisnes, pihak investor mahupun pengelola seharusnya sama-sama ikut menanggung sekiranya terjadi kerugian.”
“Itulah masalahnya,” Basith tersenyum pasrah. “Cuma dengan cara seperti itu saya bisa menarik investor. Kalau tidak begitu, tidak ada yang mahu berinvestasi.”
Saya merasa geram juga. Para investor itu keterlaluan sekali. Kalau berinvestasi, tapi hanya mahu dapat untung dan tak mahu ikut menanggung kerugian. Itu sama saja dengan memberikan pinjaman dengan bunga. Saya tahu sahabat saya ini memang sudah lama mencari pinjaman investasi tapi tak berhasil mendapatkannya. Barangkali itu yang menyebabkan ia memberanikan diri untuk menawarkan sistem investasi semacam itu.
“Maka saya pun mulai mengembangkan usaha. Saya membuka toko baru di Kemuning, lalu beberapa bulan kemudian sebuah toko lainnya di Srengseng. Saya pun menjadi sangat sibuk mengelola usaha.
“Toko yang terakhir yang di Srengseng rupanya tak bisa bertahan lama, hanya empat bulan saja. Entah kenapa, toko itu mandeg dan akhirnya mati. Tapi toko saya yang lainnya masih jalan. Saya kemudian memutuskan untuk menjadikan toko yang di jalan kemuning sebagai pusat jual beli beras. Dengan modal sebesar 54 juta rupiah, saya membeli beras sebanyak dua truk, kira-kira 16 ton banyaknya. Saya menjadi distributor beras di wilayah Pejaten Timur dan sekitarnya. Beberapa toko besar bahkan juga mengambil beras dari saya.
“Tapi permasalahan kemudian muncul. Modal yang tidak terlalu besar itu rupanya belum memadai untuk menopang bisnes saya secara stabil. Beras-beras yang saya letakkan di warung-warung kebanyakan tidak membayar secara langsung, tapi dengan cara berhutang. Ini sebetulnya tidak masalah, karena mereka toh tetap membayar. Tapi bisnes menjadi goyah ketika harga beras tiba-tiba saja melambung tinggi. Keterbatasan dana menyebabkan perputaran bisnes menjadi tersendat. Permintaan pasar tidak bisa sepenuhnya saya suplai karena terbatasnya dana untuk membeli stok barang baru.
“Persoalan lain yang membuat bisnes saya semakin terpuruk adalah SDM-SDM yang saya rekrut, keponakan-keponakan saya sendiri. Mereka ternyata tak selalu bisa dipercaya. Toko yang di Kemuning semakin lumpuh karena banyak uang tagihan yang tak masuk dalam laporan keuangan toko. Entah uang itu dikemanakan oleh keponakan saya. Dari situ saya mendapat sebuah pelajaran berharga: jangan pernah mempekerjakan sanak famili sendiri! Kita merasa tak enak untuk menegur kalau mereka melakukan kesalahan. Akhirnya, bisnes malah jadi berantakan.”
“Sebetulnya tidak ada masalah dengan mempekerjakan sanak famili sendiri,” saya meluruskan. “Yang penting kita harus bisa bersikap tegas dan membedakan mana yang urusan keluarga dan mana yang urusan bisnes.” Saya jadi teringat sebuah prinsip yang menarik: Trust is good, but control is better. Kepercayaan itu bagus, tapi kontrol lebih bagus lagi. Artinya, jangan kita melulu mengandalkan kepercayaan dalam menjalankan bisnes, kontrol juga harus tetap dijalankan. Bekerja dengan saudara sendiri memang membuat pertimbangan kita lebih kuat ke arah trust, kepercayaan. Kita jadi cenderung berpikir, masak sih saudara sendiri bakal menipu atau menikam saya dari belakang. Akibatnya, aspek control jadi terkesampingkan. Pada saat kita menyadari bahwa kepercayaan kita sangat bersifat relatif, atau malah bersifat semu, segala sesuatunya sudah tak bisa dikontrol lagi, dan apa yang kita bangun pun mulai runtuh. Inilah yang terjadi pada sahabat saya.
“Alhasil, bisnes saya mulai bermasalah dan mengalami kemunduran. Keterbatasan modal membuat bisnes saya macet, SDM yang kurang bisa dipercaya menjadikan aliran dana tidak masuk ke dalam kas toko, tapi hilang entah kemana, sementara cicilan bagi hasil investasi harus terus saya setorkan. Bisnes pun mulai mengalami kehancuran. Itu terjadi sejak tahun 2005.
“Pada tahun 2006, masalah demi masalah lainnya juga berdatangan menimpa saya dan keluarga. Saya mengalami kecelakaan saat mengendarai mobil pick up. Mobil itu mengalami penyok cukup serius dan saya terpaksa mengeluarkan dana sebesar 5 juta rupiah untuk memperbaikinya, padahal ketika itu saya sedang kesulitan keuangan. Lalu kedua anak saya jatuh sakit dan saya kembali harus mengeluarkan uang cukup besar untuk membiayai perawatan mereka.
“Toko yang ada di Kemuning terpaksa saya tutup. Toko saya tinggal satu lagi sebagaimana sebelumnya. Itu pun dalam keadaan yang rawan dan tak mampu berkembang. Saya menghadapi sebuah pilihan sulit. Para investor tetap menagih uang bagi hasil setiap bulannya, padahal bisnes saya sudah lumpuh dan tak mungkin lagi memberikan bagi hasil. Masalahnya, mereka tentu tidak akan mahu percaya dengan penjelasan saya sekiranya toko saya masih beroperasi, walaupun tinggal satu toko saja. Maka saya pun memutuskan untuk menghentikan usaha itu sama sekali, karena kenyataannya bisnes saya itu memang sudah mati. Dengan begitu, para investor bisa melihat sendiri bagaimana keadaan bisnes saya yang sesungguhnya dan saya tak perlu lagi membayarkan bagi hasil bulanan kepada mereka. Walaupun begitu, saya tetap berkewajiban mengembalikan dana investasi yang mereka tanamkan dalam bisnes saya. Maka saya pun mencicilnya sesuai dengan kemampuan saya. Sebagian dari investor ada yang mengikhlaskan uangnya karena melihat keadaan saya, sementara sebagian lainnya tetap meminta saya membayarnya.”
“Setelah itu, kamu hidup dari berjualan rengginang?” saya bertanya.
“Ya, saya dan keluarga hidup dari berjualan rengginang. Alhamdulillah kami tetap mampu bertahan hingga sekarang. Saya terus mencari peluang-peluang usaha baru yang bisa memperbaiki keadaan kami. Saya pernah bekerja di daerah Pondok Cabe, tapi tidak bertahan lama. Untungnya saya tetap mempertahankan usaha kerupuk rengginang.
“Selama masa sulit-sulit itu, kami hidup dari harapan ke harapan. Keadaan yang sulit itu bahkan membuat saya sempat tergoda untuk mejual batu-batu yang katanya mengandung kekuatan magis, seperti batu kocok dan batu-batu lainnya. Istri saya selalu mengingatkan supaya saya meninggalkan usaha semacam itu. Alhamdulillah, saya kemudian meninggalkannya.”
“Jadi, masa-masa kesulitan itu terutama terjadi sepanjang tahun 2007-an?” saya bertanya.
“Sebetulnya, sampai hari ini pun (ketika itu akhir tahun 2008) kami masih mengalami kesulitan,” terang Basith sambil tersenyum.
Sahabat saya ini menceritakan semuanya dengan nada suara yang biasa saja, bahkan cenderung riang. Seperti itulah gaya bicaranya di saat berhasil, dan seperti itu juga gaya bicaranya di saat susah. Tidak ada yang berubah pada dirinya. Badai kehidupan tidak membuatnya kehilangan mood dan stress berlebihan. Ia tetap kelihatan ceria sebagaimana biasanya.
“Tidak ada orang yang percaya ketika bisnes saya jatuh dan saya mengalami kesulitan keuangan,” terang teman saya itu. “Mungkin ini karena gaya dan sikap saya yang tetap seperti biasa, sehingga orang sama sekali tidak mengira kalau keadaan saya sedang payah. Ketika bisnes jatuh dan tertimpa banyak hutang, saya tetap bersikap biasa. Nafsu makan saya normal-normal saja, sehingga saya sama sekali tidak mengalami penurunan berat badan. Yah, habis mahu bagaimana lagi? Semuanya sudah diatur sama Yang di Atas. Tugas kita hanya melakukan usaha.”
Begitulah Basith. Sikapnya itu membuat saya kagum dan mengacungkan jempol. Saya kira, kegagalan itu merupakan resiko dalam setiap usaha. Yang penting kita tetap tabah dan berusaha bangkit kembali. Musibah merupakan kemestian bagi setiap manusia yang normal. Kita harus menjalaninya dengan sabar. Kalau perlu dengan sesungging senyum … seperti sahabat saya itu.
Alwi Alatas
10/11/2008
Abdul Basith merupakan seorang pemuda yang ulet dan supel. Ia sudah mulai terjun ke dunia bisnes ketika masih berkuliah di STEI Ahmad Dahlan Ciputat. Walaupun berasal dari daerah, ia cepat akrab dengan orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya di Jakarta. Malah dapat dikatakan, gayanya sangat mirip dengan orang Jakarta sendiri.
Sejak tahun 1999, ia memulai sebuah usaha kecil dengan cara membuka sebuah warung sembako di sebuah gang sempit di wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Warung tempat usahanya itu berlokasi tak terlalu jauh dari Kali Ciliwung yang membatasi Pasar Minggu dan Condet, benar-benar sebuah tempat yang sederhana dan bersahaja. Ia memulai usahanya berdua dengan seorang temannya, masing-masing mengeluarkan modal sebesar 5 juta rupiah. Walaupun demikian, temannya hanya berperan sebagai investor dan tidak terlibat langsung dengan aktiviti bisnesnya secara langsung. Basith sendirilah yang memutar modal tersebut menjadi sebuah usaha yang mampu bertahan, bahkan berkembang, selama beberapa tahun. Lewat bisnes sederhana tersebut, masing-masing investor bisa memperoleh keuntungan sebesar 400 ribu rupiah setiap bulannya.
Kurang lebih dua tahun kemudian, Teman saya ini menikah. Ia kemudian mengontrak sebuah rumah pada awal tahun 2001 yang ia jadikan sebagai sebuah tempat usaha baru, sekaligus sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Semula ia memfokuskan diri pada bisnes beras di warungnya yang baru ini, tapi belakangan ia mengurangi bisnes beras dan menjadikan warung barunya ini sebagai warung sembako dengan harga grosir. Pada akhir 2001, ia menutup toko pertamanya dan memusatkan perhatian pada toko keduanya. Kali ini, ia menjadi pemilik tunggal dari usaha tersebut.
Usahanya sedikit demi sedikit merayap naik dan semakin maju. Sebetulnya pada masa-masa inilah saya mulai mengenal Basith. Saya kagum dengan ketekunan dan kepercayaan dirinya mengelola bisnes. Ia sama sekali tidak tampak seperti seorang sarjana S1. Ia tidak malu untuk terjun di bisnes kecil semacam ini. Walaupun bisnesnya masih terbilang kecil, saya percaya lama kelamaan ia akan mampu meluaskan cakupan usahanya.
Dugaan saya sama sekali tidak meleset. Pada tahun 2003 ia mulai melakukan ekspansi bisnes. Melalui suntikan dana investor, ia berhasil membuka toko di tempat lain. Ia membuka sebuah toko sembako baru di daerah Kemuning, masih di wilayah Pasar Minggu. Pada tahun 2004, ia membuka sebuah toko baru lagi di daerah Srengseng. Jadi total ia memiliki tiga buah toko yang harus dikelola pada waktu yang bersamaan. Untuk menjalankan usahanya yang semakin berkembang itu, ia tentu saja memerlukan pekerja-pekerja baru untuk menjaga toko-toko tersebut, dan ia juga memerlukan alat transportasi yang memungkinkannya mengambil barang dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tokonya. Untuk keperluan SDM baru, ia merekrut keponakan-keponakannya sendiri. Sementara untuk menopang keperluan alat transportasi, ia membeli sebuah mobil pick up seharga 19 juta rupiah dengan cara mencicil.
Pada tahun 2004, ketika saya sendiri masih jungkir balik berjualan donat dan hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, saya mendapati bisnes sahabat saya ini mulai menanjak. Saya turut bersyukur melihat kemajuan usahanya. Semakin hari saya dapati kesibukannya makin meningkat. Setidaknya saya menitipkan beberapa kotak donat saya di dua buah tokonya. Saya melihat masa depan bisnes kawan ini sangat cerah. Barangkali suatu saat nanti dia bakal memiliki minimarket, atau supermarket, atau mungkin juga beberapa bisnes besar lainnya.
Pada pertengahan tahun 2004 saya berangkat untuk melanjutkan kuliah di Malaysia dan menjadi semakin jarang berkomunikasi dengan sahabat saya ini. Saya tidak mengikuti lagi perkembangan bisnesnya. Walaupun pada awalnya kami masih suka berkirim sms, tapi belakangan hal itu tidak terjadi lagi disebabkan waktu dan kesibukan kami masing-masing. Saya kadang mengunjunginya di hari-hari liburan yang pendek ketika saya berada di Jakarta dan saya sempat mendengar persoalan yang diutarakannya tentang bisnes yang mengalami kesulitan dan ganjalan. Namun, saya melihat bisnesnya masih cukup besar dan mampu melewati badai kesulitan. Sosoknya yang santai tapi kokoh tentu bisa mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Saya sendiri pada waktu yang hampir bersamaan sedang dipusingkan oleh kesulitan saya sendiri terkait dengan biaya kuliah di Malaysia. Saya sempat memutuskan untuk cuti karena tak punya uang untuk membayar biaya kuliah. Namun alhamdulillah berkat dukungan beberapa orang sanak family saya berhasil melanjutkan kuliah kembali. Ketika keadaan saya mulai tenang dan saya mulai melakukan riset untuk tesis di akhir tahun 2006, saya memutuskan untuk mampir ke tempat Basith untuk sekedar bersilaturahim.
Saya sampai di depan rumah, sekaligus toko utama, sahabat saya itu. Apa yang saya lihat betul-betul membuat saya terkejut. Toko yang dulunya penuh berisi barang-barang dagangan itu kini kosong melompong. Tak satu pun barang dagangan tampak di tempat itu. Langit-langit ruangan yang dulu penuh berisi, rak-rak yang dijejali oleh aneka macam barang, etalase kaca yang biasanya padat terisi, serta anak-anak yang selalunya mondari-mandir ke tempat itu untuk membeli jajanan, kini lenyap tak bersisa. Semuanya raib seperti embun yang menguap di padang gurun. Toko itu telah mati, dan saya seperti menatap sebuah kuburan.
Roda dunia benar-benar berputar. Yang tadinya di atas kini berada di bawah, di titik nadir. Pemandangan di depan toko itu menimbulkan sedikit rasa syok dan kesedihan di hati saya. Apa yang telah terjadi pada sahabat saya ini? Mengapa usahanya sampai gulung tikar seperti ini?
Saat yang berjumpa dengannya saya menjadi lebih terkejut lagi. Ia menyambut saya dengan ramah, seolah tidak terjadi sesuatu yang serius dengan usahanya. Saya bertanya kepadanya mengapa tokonya kosong seperti itu. Ia tersenyum renyah dan berkata apa adanya, bahwa usahanya itu telah gulung tikar. Ia sekarang tidak punya apa-apa lagi. Hutangnya pada para investor juga bertumpuk dan ia tak tahu bagaimana harus melunasinya. Yang jelas ia menyicil pembayaran hutang itu sesuai kesanggupannya. Ketika saya bertanya besar kecil hutangnya, ia memberi isyarat kalau hutangnya lebih dari 50 juta rupiah. Kepala saya pusing mendengarnya. Saya pernah punya hutang belasan juta rupiah. Rasanya sungguh menyiksa sekali, walaupun pihak yang memberi piutang tidak pernah menagihnya pada saya. Sementara sahabat di depan saya ini punya masalah yang jauh lebih besar dari saya. Saya jadi merasa tidak tega menanyakan soal kejatuhan bisnesnya lebih jauh, walaupun ia bersikap santai dan biasa saja.
Di perjalanan pulang saya masih sulit mempercayai apa yang saya lihat. Teman saya ini telah memulai bisnes dari nol, lalu mengembangkan bisnes dan membuka cabang-cabang baru dari tokonya. Ia telah berada di sebuah jalur kesuksesan. Namun, tiba-tiba saja bisnesnya dilanda badai. Dan pada saat badai sudah mereda, ia bukan saja tidak punya apa-apa, tapi juga setumpuk hutang yang harus ia cicil pembayarannya. Bisnes sembako yang telah dirintisnya selama tujuh tahun habis tak bersisa. Sama sekali tidak ada bekasnya. Bahkan sepotong permen pun tak ada lagi di toko itu. Ia kini berjualan kerupuk rengginang dan menitipkannya di warung-warung. Di samping itu, ia juga berusaha mencari-cari peluang usaha baru, tapi akhirnya tak mampu melangkah lebih jauh karena ketiadaan modal.
Saya tak sempat bertemu dengan beliau lagi setelah itu, karena saya harus kembali ke Kuala Lumpur untuk menyelesaikan thesis dan kuliah saya. Saya baru berinteraksi lagi dengan beliau dua tahun kemudian, yaitu akhir tahun 2008 ini, setelah saya kembali dari Malaysia dan menetap di Jakarta. Pada saat itulah saya menyempatkan diri untuk menanyakan kisah perjalanan bisnesnya secara lengkap. Ia pun menjelaskan bagaimana ia mengawali bisnes hingga akhirnya mencapai puncaknya, sebagaimana telah saya ceritakan sebelumnya di atas.
“Ketika bisnes saya di toko yang sekaligus menjadi tempat tinggal saya ini telah mapan dan kokoh, maka saya pun memantapkan diri untuk mengembangkan bisnes,” ia menjelaskan awal keberhasilan sekaligus kekacauan bisnesnya. “Untuk mengembangkan bisnes, tentu saja saya memerlukan modal tambahan. Akhirnya saya berhasil mendapatkan pinjaman dari tiga orang, masing-masing sebesar 25 juta, 20 juta, dan 28 juta rupiah. Saya menawarkan bagi hasil yang menarik pada masing-masing investor ….
“Kesalahan saya adalah semua kerugian hanya ditanggung oleh saya sendiri. Kalau terjadi kerugian, pihak investor tidak ikut menanggungnya. Begitu perjanjiannya.”
“Mana bisa seperti itu,” saya memprotes. “Dalam perjanjian bisnes, pihak investor mahupun pengelola seharusnya sama-sama ikut menanggung sekiranya terjadi kerugian.”
“Itulah masalahnya,” Basith tersenyum pasrah. “Cuma dengan cara seperti itu saya bisa menarik investor. Kalau tidak begitu, tidak ada yang mahu berinvestasi.”
Saya merasa geram juga. Para investor itu keterlaluan sekali. Kalau berinvestasi, tapi hanya mahu dapat untung dan tak mahu ikut menanggung kerugian. Itu sama saja dengan memberikan pinjaman dengan bunga. Saya tahu sahabat saya ini memang sudah lama mencari pinjaman investasi tapi tak berhasil mendapatkannya. Barangkali itu yang menyebabkan ia memberanikan diri untuk menawarkan sistem investasi semacam itu.
“Maka saya pun mulai mengembangkan usaha. Saya membuka toko baru di Kemuning, lalu beberapa bulan kemudian sebuah toko lainnya di Srengseng. Saya pun menjadi sangat sibuk mengelola usaha.
“Toko yang terakhir yang di Srengseng rupanya tak bisa bertahan lama, hanya empat bulan saja. Entah kenapa, toko itu mandeg dan akhirnya mati. Tapi toko saya yang lainnya masih jalan. Saya kemudian memutuskan untuk menjadikan toko yang di jalan kemuning sebagai pusat jual beli beras. Dengan modal sebesar 54 juta rupiah, saya membeli beras sebanyak dua truk, kira-kira 16 ton banyaknya. Saya menjadi distributor beras di wilayah Pejaten Timur dan sekitarnya. Beberapa toko besar bahkan juga mengambil beras dari saya.
“Tapi permasalahan kemudian muncul. Modal yang tidak terlalu besar itu rupanya belum memadai untuk menopang bisnes saya secara stabil. Beras-beras yang saya letakkan di warung-warung kebanyakan tidak membayar secara langsung, tapi dengan cara berhutang. Ini sebetulnya tidak masalah, karena mereka toh tetap membayar. Tapi bisnes menjadi goyah ketika harga beras tiba-tiba saja melambung tinggi. Keterbatasan dana menyebabkan perputaran bisnes menjadi tersendat. Permintaan pasar tidak bisa sepenuhnya saya suplai karena terbatasnya dana untuk membeli stok barang baru.
“Persoalan lain yang membuat bisnes saya semakin terpuruk adalah SDM-SDM yang saya rekrut, keponakan-keponakan saya sendiri. Mereka ternyata tak selalu bisa dipercaya. Toko yang di Kemuning semakin lumpuh karena banyak uang tagihan yang tak masuk dalam laporan keuangan toko. Entah uang itu dikemanakan oleh keponakan saya. Dari situ saya mendapat sebuah pelajaran berharga: jangan pernah mempekerjakan sanak famili sendiri! Kita merasa tak enak untuk menegur kalau mereka melakukan kesalahan. Akhirnya, bisnes malah jadi berantakan.”
“Sebetulnya tidak ada masalah dengan mempekerjakan sanak famili sendiri,” saya meluruskan. “Yang penting kita harus bisa bersikap tegas dan membedakan mana yang urusan keluarga dan mana yang urusan bisnes.” Saya jadi teringat sebuah prinsip yang menarik: Trust is good, but control is better. Kepercayaan itu bagus, tapi kontrol lebih bagus lagi. Artinya, jangan kita melulu mengandalkan kepercayaan dalam menjalankan bisnes, kontrol juga harus tetap dijalankan. Bekerja dengan saudara sendiri memang membuat pertimbangan kita lebih kuat ke arah trust, kepercayaan. Kita jadi cenderung berpikir, masak sih saudara sendiri bakal menipu atau menikam saya dari belakang. Akibatnya, aspek control jadi terkesampingkan. Pada saat kita menyadari bahwa kepercayaan kita sangat bersifat relatif, atau malah bersifat semu, segala sesuatunya sudah tak bisa dikontrol lagi, dan apa yang kita bangun pun mulai runtuh. Inilah yang terjadi pada sahabat saya.
“Alhasil, bisnes saya mulai bermasalah dan mengalami kemunduran. Keterbatasan modal membuat bisnes saya macet, SDM yang kurang bisa dipercaya menjadikan aliran dana tidak masuk ke dalam kas toko, tapi hilang entah kemana, sementara cicilan bagi hasil investasi harus terus saya setorkan. Bisnes pun mulai mengalami kehancuran. Itu terjadi sejak tahun 2005.
“Pada tahun 2006, masalah demi masalah lainnya juga berdatangan menimpa saya dan keluarga. Saya mengalami kecelakaan saat mengendarai mobil pick up. Mobil itu mengalami penyok cukup serius dan saya terpaksa mengeluarkan dana sebesar 5 juta rupiah untuk memperbaikinya, padahal ketika itu saya sedang kesulitan keuangan. Lalu kedua anak saya jatuh sakit dan saya kembali harus mengeluarkan uang cukup besar untuk membiayai perawatan mereka.
“Toko yang ada di Kemuning terpaksa saya tutup. Toko saya tinggal satu lagi sebagaimana sebelumnya. Itu pun dalam keadaan yang rawan dan tak mampu berkembang. Saya menghadapi sebuah pilihan sulit. Para investor tetap menagih uang bagi hasil setiap bulannya, padahal bisnes saya sudah lumpuh dan tak mungkin lagi memberikan bagi hasil. Masalahnya, mereka tentu tidak akan mahu percaya dengan penjelasan saya sekiranya toko saya masih beroperasi, walaupun tinggal satu toko saja. Maka saya pun memutuskan untuk menghentikan usaha itu sama sekali, karena kenyataannya bisnes saya itu memang sudah mati. Dengan begitu, para investor bisa melihat sendiri bagaimana keadaan bisnes saya yang sesungguhnya dan saya tak perlu lagi membayarkan bagi hasil bulanan kepada mereka. Walaupun begitu, saya tetap berkewajiban mengembalikan dana investasi yang mereka tanamkan dalam bisnes saya. Maka saya pun mencicilnya sesuai dengan kemampuan saya. Sebagian dari investor ada yang mengikhlaskan uangnya karena melihat keadaan saya, sementara sebagian lainnya tetap meminta saya membayarnya.”
“Setelah itu, kamu hidup dari berjualan rengginang?” saya bertanya.
“Ya, saya dan keluarga hidup dari berjualan rengginang. Alhamdulillah kami tetap mampu bertahan hingga sekarang. Saya terus mencari peluang-peluang usaha baru yang bisa memperbaiki keadaan kami. Saya pernah bekerja di daerah Pondok Cabe, tapi tidak bertahan lama. Untungnya saya tetap mempertahankan usaha kerupuk rengginang.
“Selama masa sulit-sulit itu, kami hidup dari harapan ke harapan. Keadaan yang sulit itu bahkan membuat saya sempat tergoda untuk mejual batu-batu yang katanya mengandung kekuatan magis, seperti batu kocok dan batu-batu lainnya. Istri saya selalu mengingatkan supaya saya meninggalkan usaha semacam itu. Alhamdulillah, saya kemudian meninggalkannya.”
“Jadi, masa-masa kesulitan itu terutama terjadi sepanjang tahun 2007-an?” saya bertanya.
“Sebetulnya, sampai hari ini pun (ketika itu akhir tahun 2008) kami masih mengalami kesulitan,” terang Basith sambil tersenyum.
Sahabat saya ini menceritakan semuanya dengan nada suara yang biasa saja, bahkan cenderung riang. Seperti itulah gaya bicaranya di saat berhasil, dan seperti itu juga gaya bicaranya di saat susah. Tidak ada yang berubah pada dirinya. Badai kehidupan tidak membuatnya kehilangan mood dan stress berlebihan. Ia tetap kelihatan ceria sebagaimana biasanya.
“Tidak ada orang yang percaya ketika bisnes saya jatuh dan saya mengalami kesulitan keuangan,” terang teman saya itu. “Mungkin ini karena gaya dan sikap saya yang tetap seperti biasa, sehingga orang sama sekali tidak mengira kalau keadaan saya sedang payah. Ketika bisnes jatuh dan tertimpa banyak hutang, saya tetap bersikap biasa. Nafsu makan saya normal-normal saja, sehingga saya sama sekali tidak mengalami penurunan berat badan. Yah, habis mahu bagaimana lagi? Semuanya sudah diatur sama Yang di Atas. Tugas kita hanya melakukan usaha.”
Begitulah Basith. Sikapnya itu membuat saya kagum dan mengacungkan jempol. Saya kira, kegagalan itu merupakan resiko dalam setiap usaha. Yang penting kita tetap tabah dan berusaha bangkit kembali. Musibah merupakan kemestian bagi setiap manusia yang normal. Kita harus menjalaninya dengan sabar. Kalau perlu dengan sesungging senyum … seperti sahabat saya itu.
Alwi Alatas
10/11/2008
Kisah Penjual Gado-gado
Kisah Penjual Gado-Gado
Alwi Alatas
Sudah hampir setahun lamanya saya tidak pulang ke Jakarta. Selama belajar di Malaysia, biasanya saya kembali ke Jakarta setiap empat bulan sekali. Tapi sejak bulan November 2006 lalu, saya tidak pernah pulang sampai sepuluh hari menjelang Iedul Fitri bulan Oktober 2007 lalu. Maklum, dalam setahun terakhir ini saya mengajak istri ikut ke Kuala Lumpur.
Hidup di negeri orang tentunya harus banyak menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, termasuk dalam hal makanan. Untungnya lidah kami berdua cocok dengan lidah orang-orang di sini yang sehari-hari biasa makan roti canai dan nasi lemak serta minum teh tarik atau Milo suam. Walaupun begitu, rasa rindu terhadap makanan dan jajanan Indonesia tentunya juga muncul, apalagi setelah sekian lama tinggal di Kuala Lumpur.
Alhasil, ketika pulang ke Jakarta pada awal Oktober lalu, kami sama-sama “ngidam” jajanan Ibukota. Istri saya berkali-kali minta dibelikan siomay dan beberapa kali mencegat – dengan bantuan keponakannya tentunya – tukang bakmi yang biasa lewat di depan rumah. Saya sendiri tidak punya target khusus, tapi selama beberapa hari di Jakarta, alhamdulillah berbagai macam jajanan berhasil saya jajal. Dengan begitu, kerinduan yang sekian lama tertahan bisa terpuaskan. Tetapi, di antara jajanan-jajanan yang ada, masih ada satu yang sejauh itu belum juga berhasil saya dapatkan … gado-gado. Entah kenapa, berbagai kesempatan untuk membeli dan mencicipi gado-gado sepenuhnya terlewatkan. Dan karenanya, selama beberapa minggu, obsesi makan gado-gado belum juga terpenuhi.
Kira-kira dua minggu setelah lebaran, saya dan keluarga (istri saya ketika itu tidak ikut) pergi bersilaturahim ke rumah seorang famili di Bogor. Agak lama juga kami berada di sana. Ketika akan pulang ke Jakarta, waktu shalat Ashar sudah masuk. Berhubung saya tidak menjamak shalat, saya turun di sebuah masjid kecil untuk shalat sementara kakak saya pergi mengambil barang yang tertinggal di rumah yang kami kunjungi sebelumnya. Selesai shalat, mobil sudah parkir lagi di depan masjid. Saya masuk ke dalam mobil, sementara kakak saya gantian masuk ke dalam masjid untuk shalat Ashar.
Belum lama duduk di dalam mobil, seorang bapak tua berjalan tertatih-tatih menuju mobil tempat saya menunggu. Dengan suara lemah ia menawarkan makanan yang ia jual sambil menunjuk ke arah gerobak kusamnya yang diparkir tak jauh dari mobil kami. Karena memang tidak berniat jajan, serta merta saya menolak tawaran itu dengan halus. Saya bahkan sudah berniat menolaknya sebelum bapak tua itu menawarkan barang dagangannya.
Bapak itu masih belum menyerah. Ia sekali lagi menawarkan dagangannya kepada saya, tidak dengan sifat agresif atau sikap memelas yang dibuat-buat, tapi dengan permohonan yang nyaris tak mengeluarkan suara, diiringi dengan rasa putus asa. Lagi-lagi, tanpa menunggu bapak itu selesai bicara, saya kembali menolaknya secara halus. Saya hanya meliriknya sedikit, khawatir tatapan saya ke arah penampilannya yang memelas akan membuat saya terenyuh dan akhirnya mendorong saya untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak saya perlukan.
Merasa tidak berhasil menawarkan dagangannya kepada kami, bapak tua itu berjalan tertatih meninggalkan mobil. Saya pikir ia akan langsung kembali duduk di samping gerobaknya untuk menunggu calon pembeli yang mestinya – saya pikir – bakal datang cepat atau lambat. Tapi ternyata tidak! Bapak tua itu berjalan dengan langkah-langkah yang rapuh memasuki pekarangan masjid. Ia mendekati seorang tukang bangunan yang sedang merapikan kayu-kayu untuk bahan renovasi masjid dan menawarkan makanan jajaannya kepada si tukang tadi. Tukang itu pun menggeleng halus. Dan ia kembali menggeleng ketika bapak tua itu masih berusaha membujuknya, membuat si bapak berdiri gamang di tempatnya untuk beberapa saat.
Mungkin karena posisi yang agak jauh dan tidak merasa terganggu oleh bujukan si bapak tadi, saya merasa lebih bebas untuk memperhatikan gerak langkah dan keresahannya. Di bawah naungan senja yang mulai meremang, orang tua itu masih berada di jalan dengan langkah lunglai dan ekspresi tak berdaya. Pada momen-momen yang singkat itu, beberapa pertanyaan mulai terlintas di benak saya. Apa yang dijual bapak ini? Berapa umurnya? Apakah dagangannya ada yang membeli? Mengapa ia terlihat begitu sedih dan putus asa? Bapak ini adalah kepala keluarga dari istri dan anak-anak yang mungkin sedang menanti sang ayah datang dengan membawa rizki tak seberapa yang berhasil diraihnya pada hari itu. Apakah yang seberapa pada hari itu benar-benar mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga si bapak?
Gerimis rasa haru mulai turun rintik-rintik di pelataran hati saya. Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu saya yang ikut mengamati dari jendela pintu depan. Kasihan Bapak ini, begitu Ibu saya bergumam. Saya pun mulai merasa kasihan, tetapi rasa kasihan itu masih dalam bentuk gerimis yang belum cukup kuat untuk membuat seorang segera bertindak, tetapi ia lumayan memadai untuk membuatnya sadar akan adanya sesuatu yang membutuhkan respon. Hati saya tergerak untuk membeli dagangan si Bapak, walaupun mungkin nantinya tidak akan saya makan. Saya tidak begitu yakin dengan enak tidaknya makanan yang ia jual, mengingat penampilan gerobaknya yang begitu sederhana.
Mata saya mengawasi bapak itu ketika ia berjalan melewati mobil. Bapak itu masih menaruh harapan saya mau membeli makanannya, dan kali ini harapannya tercapai. Saya membuka pintu mobil sedikit dan tersenyum ke arahnya. Ia berjalan mendekat, masih tertatih-tatih.
“Beli Pak ….” pintanya samar sambil menunjuk lemah ke arah gerobak tuanya.
“Bapak jualan apa?” saya bertanya pada bapak itu sembari bertekad untuk membeli apa pun yang ia jual.
“Saya jual gado-gado dan rujak …,” jawabnya dengan suara yang dalam dan lemah, seolah ada sisa-sisa kelelahan yang panjang di dalam dirinya.
Hmmm, gado-gado? Saya merasa kurang yakin. Gado-gado seperti apa yang ia jual. Terus terang saya ragu kalau saya bakal menyukai gado-gado yang dibuat bapak ini. Tapi itu tidak penting, karena tujuan utama saya adalah membantu si Bapak.
“Berapa harga gado-gadonya, Pak?” saya mengajukan pertanyaan yang biasa diajukan oleh setiap calon pembeli. Tiga ribu rupiah, empat ribu rupiah? Saya menduga-duga berapa harga seporsi gado-gado si bapak. Gerobaknya yang kusam malah membuat saya berpikir jangan-jangan harga seporsi gado-gadonya cuma dua ribu atau dua ribu limaratus.
“Berapa saja Pak, terserah …, saya senang ada yang beli,” jawabnya dengan suara bergetar. Jawaban itu betul-betul membuat saya tersentuh. Bapak ini benar-benar sudah menyerah dan mengabaikan posisi tawarnya. Ia sedang menginformasikan dengan halus bahwa ia tidak sedang dalam posisi jual-beli. Ia sedang membutuhkan pertolongan.
Secara spontan tangan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan memberikannya kepada si bapak.
“Saya beli lima ribu, Pak,” ucap saya dengan lintasan pemikiran bahwa uang segitu sudah lebih dari harga standar seporsi gado-gadonya. Si bapak menerima uang itu dengan rasa syukur. Ia berjalan kembali ke gerobaknya dengan tubuh gemetar. Saya memperhatikan orang tua itu berjalan dan seketika saya merasa telah melakukan sebuah dosa karena hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepadanya.
Baru saja akan mulai membuat gado-gado, si Bapak teringat sesuatu dan berjalan kembali dengan tertatih-tatih ke arah mobil. Saya merasa tidak tega dan segera turun dari mobil untuk mencegah supaya si Bapak jangan berjalan mondar-mandir ke mobil hanya karena ingin menanyakan sesuatu.
“Pakai ketupat?” tanya si bapak.
“Boleh Pak. Gado-gadonya dibungkus saja, kerupuknya kalau bisa dipisah,” pesan saya sambil mendekat.
Orang tua itu mengangguk dan berbalik kembali ke gerobaknya. Ada sepercik etos melayani pada gerak-gerik si bapak. Etos untuk memberikan yang terbaik bagi seorang konsumen. Namun etos itu terlihat rapuh tergerusi beban hidup yang begitu panjang serta ketidakpastian yang menghadang di hadapan.
Saya berjalan menuju gerobak tua itu dan ikut berdiri menemani di samping si bapak. Saya memperhatikan bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat gado-gado. Bahan-bahan itu tidak banyak jumlahnya dan komposisinya terlihat begitu aneh untuk standar pembuatan gado-gado yang pernah saya cicipi selama ini. Kacang-kacang goreng yang ia gunakan bahkan masih bulat utuh, lengkap dengan kulit-kulitnya yang berwarna coklat gelap, membuat tampilan gado-gado itu menjadi semakin tidak memikat. Saya membayangkan betapa para juru masak di kota-kota besar memiliki perlengkapan yang begitu mewah serta bahan-bahan masakan yang sangat lezat dan menarik, sehingga konsumen-konsumen mereka sanggup mengantri sekian lama untuk bisa mencicipi makanan-makanan yang harganya cukup mahal itu. Tanpa mengabaikan rasa iba, sisi professional saya mengatakan bahwa makanan si bapak ini benar-benar tidak layak jual. Siapa yang mau beli gado-gado semacam ini? Saya berkata dalam hati dengan perasaan tidak tega.
“Bagaimana jualannya, Pak?” saya bertanya perlahan dan hati-hati.
“Dari pagi baru ada dua orang yang beli, Pak,” jawabnya dengan suara parau. Tangannya yang gemetar masih terus mengulek kacang.
Dagangannya memang tidak laku, gumam saya dalam hati, dugaan saya ternyata memang benar. Tapi pada saat yang sama saya juga menyadari bahwa ada kebenaran lain yang sangat menyakitkan. Orang tua ini – yang seharusnya bisa beristirahat di rumah dengan tenang dengan mendapat tanggungan dari anggota keluarganya atau jaminan sosial dari pemerintah – ternyata masih berkeliling untuk mencari nafkah. Baginya itu tentu bukan sebuah pilihan. Itu merupakan tuntutan hidup yang tak mampu ditolaknya. Ia yang sudah renta dan layu masih harus berkeliling mendorong-dorong gerobak tuanya menjajakan gado-gado dan rujak ke berbagai tempat. Dan pada hari ini, ketika matahari sudah menjelang terbenam, ia masih belum mendapatkan pembeli kecuali dua orang.
Ia mulai menaburi bumbu kacangnya dengan potongan tahu, mentimun dan beberapa bahan lainnya. “Modalnya saja masih belum dapat,” ia melanjutkan dengan suara pelan. Suaranya bagai angin yang bergesekan lemah dengan dedaunan kering di di musim kemarau. “Saya sendiri sebenarnya sedang sakit ….”
Saya sulit membayangkan itu semua. Lantas bagaimana dengan makan dan kebutuhan keluarganya pada hari itu? Bagaimana dengan dagangannya untuk esok hari? Kini saya yang merasa tak berdaya. Saya yang tinggal di kota, dari keluarga yang berkecukupan, apa yang bisa saya lakukan untuk orang tua ini? Hanya menyampaikan rasa simpati? Menepuk-nepuk bahunya dan menganjurkannya untuk bersabar (padahal ia lebih mengetahui arti kesabaran daripada saya)? Atau saya merasa cukup hanya dengan mendoakannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya hanya bisa mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah yang ada di kantong saya dan menghadiahkannya kepada si bapak ketika orang tua itu hampir selesai dengan pekerjaannya. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Di kantong saya hampir tidak ada uang lagi. Saya memang tidak membawa uang yang cukup pada hari itu. Si bapak mengucapkan terima kasih dengan sisa-sisa suaranya.
Bapak itu membungkus gado-gado dengan kertas coklat. Perlengkapan dagang si bapak begitu terbatasnya. Ia bahkan tidak mempunyai kantong plastik untuk menjinjing bungkus gado-gado saya. Ia terlihat kerepotan mencari jalan untuk membungkus kerupuk. Sebelumnya sempat saya katakan supaya kerupuknya dicampur saja dengan gado-gado, tidak perlu dipisah, tapi ia tetap bertekad untuk membungkus kerupuknya secara terpisah. Lantas diambilnya kertas coklat untuk digunakan sebagai pembungkus kerupuk. Saya memohon lagi kepadanya supaya ia tidak perlu bersusah payah seperti itu, biarkan saja saya membawa gado-gadonya tanpa disertai kerupuk. Tapi ia seperti tidak perduli. Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membungkus kerupuk-kerupuk itu dengan kertas pembungkus.
Setelah semuanya siap, saya hendak mengambil kedua bungkusan itu untuk saya bawa ke mobil. Tapi ia menolak dan memaksa untuk ikut membawakannya sampai ke mobil. Saya betul-betul tak berdaya dan merasa iba sekaligus kagum melihatnya berjalan tertatih seperti itu. Ia sedang sakit. Guratan kepayahan yang bercampur dengan rasa syukur terlihat jelas di wajahnya. Ketika sudah sampai di mobil, kakak saya yang sudah duduk di kursi pengemudi mengulurkan tangannya untuk memberikan uang kepada si bapak. Saya tidak tahu berapa besar uang yang diberikan. Saya pun masuk dan mobil segera bergerak meninggalkan tempat itu diiringi tatapan sendu dan lambaian tangan si bapak.
Saya meletakkan bungkusan gado-gado itu di dalam sebuah plastik yang ada di dalam mobil. Saya tidak bisa memakannya, karena tidak ada sendok di dalam mobil dan rasanya tidak nyaman kalau harus makan dengan tangan sementara kendaraan terus bergerak. Saya tahu gado-gado itu akan benyek pada saat nanti tiba Jakarta dan kalau sudah begitu rasanya tentu jadi semakin tidak enak. Saya tahu gado-gado itu akan berubah rasa saat tiba di Jakarta nanti, tapi saya bertekad untuk memakannya, walaupun hanya sedikit. Kami terus berjalan sampai akhirnya tiba di Jakarta Selatan menjelang Maghrib.
Ketika tiba di rumah, saya langsung menghampiri istri saya dan menunjukkan bungkusan gado-gado yang ada di tangan saya. “Lihat!” saya tersenyum kepadanya, “Akhirnya saya mendapatkannya setelah hampir satu tahun tidak makan gado-gado.” Ya. Ini memang gado-gado pertama yang saya temui dalam satu tahun terakhir!
Istri saya tersenyum. “Jadi akhirnya berhasil juga dapat gado-gado? Beli di mana?”
Maka saya pun menceritakan seluruh kejadiannya sambil mempersiapkan gado-gado itu di atas piring. Gado-gado itu sangat banyak sampai-sampai porsi saya masih lebih dari cukup walaupun saya sudah membagi sebagian gado-gado itu untuk istri dan ibu mertua saya.
“Apa …?” istri saya langsung protes ketika saya sudah selesai bercerita, “Kanda cuma memberikan dua puluh ribu untuk bapak tua yang sedang kesusahan itu? Kenapa tidak memberikan lima puluh ribu atau lebih lagi?”
“Saya tadi sedang tidak bawa uang Sayang,” saya mengelak, “Lagi pula, yang saya berikan itu sudah hampir mewakili seluruh isi kantong saya.”
“Tapi kan bisa pinjam uang dulu dari Umi (maksudnya Ibu saya),” ia masih memprotes.
“Iya sih, tapi entahlah tadi saya sama sekali tidak terpikir ke arah sana,” lagi-lagi saya membela diri.
Istri saya masih menyesali apa yang telah terjadi untuk beberapa waktu lamanya. Dan saya tahu ia benar. Mungkin itu adalah salah satu hal yang paling saya sesali dalam hidup saya.
Saya terus terbayang-bayang wajah sendu si Bapak tua ketika saya memakan gado-gado di piring saya. Saya memakan gado-gado itu, dan terus memakannya dengan lahap. Saya terus memakan gado-gado itu sampai dasar-dasar piring saya mulai terlihat. Wajah bapak tua itu terus membayang. Senyumannya yang nyaris tak tampak sudah cukup memadai untuk menyibak perlahan kerut-kerut di wajahnya sebagai pembuka jalan bagi sinar matahari sore memantul lepas menjajakan keceriaan serta kebahagiaan bagi alam di sekitarnya. Bayang-bayang tangannya yang gemetar tapi ikhlas telah menyadarkan saya bahwa energi ketulusannya telah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa bagi makanan yang dibuatnya.
Saya terus makan sampai gado-gado di piring saya ludes tak tersisa. Saya tertegun untuk beberapa saat sambil menatap piring saya yang sudah kosong. Kini saya sadar sepenuhnya. Saya betul-betul tidak mampu untuk menolak sebuah kebenaran yang lain … itu adalah gado-gado paling lezat yang pernah saya makan seumur hidup saya!
Kuala Lumpur, 14 November 2007
Ditulis sebagai kenangan untuk Bapak penjual gado-gado di Bogor
Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan hingga akhir hayatnya
Alwi Alatas
Sudah hampir setahun lamanya saya tidak pulang ke Jakarta. Selama belajar di Malaysia, biasanya saya kembali ke Jakarta setiap empat bulan sekali. Tapi sejak bulan November 2006 lalu, saya tidak pernah pulang sampai sepuluh hari menjelang Iedul Fitri bulan Oktober 2007 lalu. Maklum, dalam setahun terakhir ini saya mengajak istri ikut ke Kuala Lumpur.
Hidup di negeri orang tentunya harus banyak menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, termasuk dalam hal makanan. Untungnya lidah kami berdua cocok dengan lidah orang-orang di sini yang sehari-hari biasa makan roti canai dan nasi lemak serta minum teh tarik atau Milo suam. Walaupun begitu, rasa rindu terhadap makanan dan jajanan Indonesia tentunya juga muncul, apalagi setelah sekian lama tinggal di Kuala Lumpur.
Alhasil, ketika pulang ke Jakarta pada awal Oktober lalu, kami sama-sama “ngidam” jajanan Ibukota. Istri saya berkali-kali minta dibelikan siomay dan beberapa kali mencegat – dengan bantuan keponakannya tentunya – tukang bakmi yang biasa lewat di depan rumah. Saya sendiri tidak punya target khusus, tapi selama beberapa hari di Jakarta, alhamdulillah berbagai macam jajanan berhasil saya jajal. Dengan begitu, kerinduan yang sekian lama tertahan bisa terpuaskan. Tetapi, di antara jajanan-jajanan yang ada, masih ada satu yang sejauh itu belum juga berhasil saya dapatkan … gado-gado. Entah kenapa, berbagai kesempatan untuk membeli dan mencicipi gado-gado sepenuhnya terlewatkan. Dan karenanya, selama beberapa minggu, obsesi makan gado-gado belum juga terpenuhi.
Kira-kira dua minggu setelah lebaran, saya dan keluarga (istri saya ketika itu tidak ikut) pergi bersilaturahim ke rumah seorang famili di Bogor. Agak lama juga kami berada di sana. Ketika akan pulang ke Jakarta, waktu shalat Ashar sudah masuk. Berhubung saya tidak menjamak shalat, saya turun di sebuah masjid kecil untuk shalat sementara kakak saya pergi mengambil barang yang tertinggal di rumah yang kami kunjungi sebelumnya. Selesai shalat, mobil sudah parkir lagi di depan masjid. Saya masuk ke dalam mobil, sementara kakak saya gantian masuk ke dalam masjid untuk shalat Ashar.
Belum lama duduk di dalam mobil, seorang bapak tua berjalan tertatih-tatih menuju mobil tempat saya menunggu. Dengan suara lemah ia menawarkan makanan yang ia jual sambil menunjuk ke arah gerobak kusamnya yang diparkir tak jauh dari mobil kami. Karena memang tidak berniat jajan, serta merta saya menolak tawaran itu dengan halus. Saya bahkan sudah berniat menolaknya sebelum bapak tua itu menawarkan barang dagangannya.
Bapak itu masih belum menyerah. Ia sekali lagi menawarkan dagangannya kepada saya, tidak dengan sifat agresif atau sikap memelas yang dibuat-buat, tapi dengan permohonan yang nyaris tak mengeluarkan suara, diiringi dengan rasa putus asa. Lagi-lagi, tanpa menunggu bapak itu selesai bicara, saya kembali menolaknya secara halus. Saya hanya meliriknya sedikit, khawatir tatapan saya ke arah penampilannya yang memelas akan membuat saya terenyuh dan akhirnya mendorong saya untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak saya perlukan.
Merasa tidak berhasil menawarkan dagangannya kepada kami, bapak tua itu berjalan tertatih meninggalkan mobil. Saya pikir ia akan langsung kembali duduk di samping gerobaknya untuk menunggu calon pembeli yang mestinya – saya pikir – bakal datang cepat atau lambat. Tapi ternyata tidak! Bapak tua itu berjalan dengan langkah-langkah yang rapuh memasuki pekarangan masjid. Ia mendekati seorang tukang bangunan yang sedang merapikan kayu-kayu untuk bahan renovasi masjid dan menawarkan makanan jajaannya kepada si tukang tadi. Tukang itu pun menggeleng halus. Dan ia kembali menggeleng ketika bapak tua itu masih berusaha membujuknya, membuat si bapak berdiri gamang di tempatnya untuk beberapa saat.
Mungkin karena posisi yang agak jauh dan tidak merasa terganggu oleh bujukan si bapak tadi, saya merasa lebih bebas untuk memperhatikan gerak langkah dan keresahannya. Di bawah naungan senja yang mulai meremang, orang tua itu masih berada di jalan dengan langkah lunglai dan ekspresi tak berdaya. Pada momen-momen yang singkat itu, beberapa pertanyaan mulai terlintas di benak saya. Apa yang dijual bapak ini? Berapa umurnya? Apakah dagangannya ada yang membeli? Mengapa ia terlihat begitu sedih dan putus asa? Bapak ini adalah kepala keluarga dari istri dan anak-anak yang mungkin sedang menanti sang ayah datang dengan membawa rizki tak seberapa yang berhasil diraihnya pada hari itu. Apakah yang seberapa pada hari itu benar-benar mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga si bapak?
Gerimis rasa haru mulai turun rintik-rintik di pelataran hati saya. Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu saya yang ikut mengamati dari jendela pintu depan. Kasihan Bapak ini, begitu Ibu saya bergumam. Saya pun mulai merasa kasihan, tetapi rasa kasihan itu masih dalam bentuk gerimis yang belum cukup kuat untuk membuat seorang segera bertindak, tetapi ia lumayan memadai untuk membuatnya sadar akan adanya sesuatu yang membutuhkan respon. Hati saya tergerak untuk membeli dagangan si Bapak, walaupun mungkin nantinya tidak akan saya makan. Saya tidak begitu yakin dengan enak tidaknya makanan yang ia jual, mengingat penampilan gerobaknya yang begitu sederhana.
Mata saya mengawasi bapak itu ketika ia berjalan melewati mobil. Bapak itu masih menaruh harapan saya mau membeli makanannya, dan kali ini harapannya tercapai. Saya membuka pintu mobil sedikit dan tersenyum ke arahnya. Ia berjalan mendekat, masih tertatih-tatih.
“Beli Pak ….” pintanya samar sambil menunjuk lemah ke arah gerobak tuanya.
“Bapak jualan apa?” saya bertanya pada bapak itu sembari bertekad untuk membeli apa pun yang ia jual.
“Saya jual gado-gado dan rujak …,” jawabnya dengan suara yang dalam dan lemah, seolah ada sisa-sisa kelelahan yang panjang di dalam dirinya.
Hmmm, gado-gado? Saya merasa kurang yakin. Gado-gado seperti apa yang ia jual. Terus terang saya ragu kalau saya bakal menyukai gado-gado yang dibuat bapak ini. Tapi itu tidak penting, karena tujuan utama saya adalah membantu si Bapak.
“Berapa harga gado-gadonya, Pak?” saya mengajukan pertanyaan yang biasa diajukan oleh setiap calon pembeli. Tiga ribu rupiah, empat ribu rupiah? Saya menduga-duga berapa harga seporsi gado-gado si bapak. Gerobaknya yang kusam malah membuat saya berpikir jangan-jangan harga seporsi gado-gadonya cuma dua ribu atau dua ribu limaratus.
“Berapa saja Pak, terserah …, saya senang ada yang beli,” jawabnya dengan suara bergetar. Jawaban itu betul-betul membuat saya tersentuh. Bapak ini benar-benar sudah menyerah dan mengabaikan posisi tawarnya. Ia sedang menginformasikan dengan halus bahwa ia tidak sedang dalam posisi jual-beli. Ia sedang membutuhkan pertolongan.
Secara spontan tangan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan memberikannya kepada si bapak.
“Saya beli lima ribu, Pak,” ucap saya dengan lintasan pemikiran bahwa uang segitu sudah lebih dari harga standar seporsi gado-gadonya. Si bapak menerima uang itu dengan rasa syukur. Ia berjalan kembali ke gerobaknya dengan tubuh gemetar. Saya memperhatikan orang tua itu berjalan dan seketika saya merasa telah melakukan sebuah dosa karena hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepadanya.
Baru saja akan mulai membuat gado-gado, si Bapak teringat sesuatu dan berjalan kembali dengan tertatih-tatih ke arah mobil. Saya merasa tidak tega dan segera turun dari mobil untuk mencegah supaya si Bapak jangan berjalan mondar-mandir ke mobil hanya karena ingin menanyakan sesuatu.
“Pakai ketupat?” tanya si bapak.
“Boleh Pak. Gado-gadonya dibungkus saja, kerupuknya kalau bisa dipisah,” pesan saya sambil mendekat.
Orang tua itu mengangguk dan berbalik kembali ke gerobaknya. Ada sepercik etos melayani pada gerak-gerik si bapak. Etos untuk memberikan yang terbaik bagi seorang konsumen. Namun etos itu terlihat rapuh tergerusi beban hidup yang begitu panjang serta ketidakpastian yang menghadang di hadapan.
Saya berjalan menuju gerobak tua itu dan ikut berdiri menemani di samping si bapak. Saya memperhatikan bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat gado-gado. Bahan-bahan itu tidak banyak jumlahnya dan komposisinya terlihat begitu aneh untuk standar pembuatan gado-gado yang pernah saya cicipi selama ini. Kacang-kacang goreng yang ia gunakan bahkan masih bulat utuh, lengkap dengan kulit-kulitnya yang berwarna coklat gelap, membuat tampilan gado-gado itu menjadi semakin tidak memikat. Saya membayangkan betapa para juru masak di kota-kota besar memiliki perlengkapan yang begitu mewah serta bahan-bahan masakan yang sangat lezat dan menarik, sehingga konsumen-konsumen mereka sanggup mengantri sekian lama untuk bisa mencicipi makanan-makanan yang harganya cukup mahal itu. Tanpa mengabaikan rasa iba, sisi professional saya mengatakan bahwa makanan si bapak ini benar-benar tidak layak jual. Siapa yang mau beli gado-gado semacam ini? Saya berkata dalam hati dengan perasaan tidak tega.
“Bagaimana jualannya, Pak?” saya bertanya perlahan dan hati-hati.
“Dari pagi baru ada dua orang yang beli, Pak,” jawabnya dengan suara parau. Tangannya yang gemetar masih terus mengulek kacang.
Dagangannya memang tidak laku, gumam saya dalam hati, dugaan saya ternyata memang benar. Tapi pada saat yang sama saya juga menyadari bahwa ada kebenaran lain yang sangat menyakitkan. Orang tua ini – yang seharusnya bisa beristirahat di rumah dengan tenang dengan mendapat tanggungan dari anggota keluarganya atau jaminan sosial dari pemerintah – ternyata masih berkeliling untuk mencari nafkah. Baginya itu tentu bukan sebuah pilihan. Itu merupakan tuntutan hidup yang tak mampu ditolaknya. Ia yang sudah renta dan layu masih harus berkeliling mendorong-dorong gerobak tuanya menjajakan gado-gado dan rujak ke berbagai tempat. Dan pada hari ini, ketika matahari sudah menjelang terbenam, ia masih belum mendapatkan pembeli kecuali dua orang.
Ia mulai menaburi bumbu kacangnya dengan potongan tahu, mentimun dan beberapa bahan lainnya. “Modalnya saja masih belum dapat,” ia melanjutkan dengan suara pelan. Suaranya bagai angin yang bergesekan lemah dengan dedaunan kering di di musim kemarau. “Saya sendiri sebenarnya sedang sakit ….”
Saya sulit membayangkan itu semua. Lantas bagaimana dengan makan dan kebutuhan keluarganya pada hari itu? Bagaimana dengan dagangannya untuk esok hari? Kini saya yang merasa tak berdaya. Saya yang tinggal di kota, dari keluarga yang berkecukupan, apa yang bisa saya lakukan untuk orang tua ini? Hanya menyampaikan rasa simpati? Menepuk-nepuk bahunya dan menganjurkannya untuk bersabar (padahal ia lebih mengetahui arti kesabaran daripada saya)? Atau saya merasa cukup hanya dengan mendoakannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya hanya bisa mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah yang ada di kantong saya dan menghadiahkannya kepada si bapak ketika orang tua itu hampir selesai dengan pekerjaannya. Hanya itu yang mampu saya lakukan. Di kantong saya hampir tidak ada uang lagi. Saya memang tidak membawa uang yang cukup pada hari itu. Si bapak mengucapkan terima kasih dengan sisa-sisa suaranya.
Bapak itu membungkus gado-gado dengan kertas coklat. Perlengkapan dagang si bapak begitu terbatasnya. Ia bahkan tidak mempunyai kantong plastik untuk menjinjing bungkus gado-gado saya. Ia terlihat kerepotan mencari jalan untuk membungkus kerupuk. Sebelumnya sempat saya katakan supaya kerupuknya dicampur saja dengan gado-gado, tidak perlu dipisah, tapi ia tetap bertekad untuk membungkus kerupuknya secara terpisah. Lantas diambilnya kertas coklat untuk digunakan sebagai pembungkus kerupuk. Saya memohon lagi kepadanya supaya ia tidak perlu bersusah payah seperti itu, biarkan saja saya membawa gado-gadonya tanpa disertai kerupuk. Tapi ia seperti tidak perduli. Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membungkus kerupuk-kerupuk itu dengan kertas pembungkus.
Setelah semuanya siap, saya hendak mengambil kedua bungkusan itu untuk saya bawa ke mobil. Tapi ia menolak dan memaksa untuk ikut membawakannya sampai ke mobil. Saya betul-betul tak berdaya dan merasa iba sekaligus kagum melihatnya berjalan tertatih seperti itu. Ia sedang sakit. Guratan kepayahan yang bercampur dengan rasa syukur terlihat jelas di wajahnya. Ketika sudah sampai di mobil, kakak saya yang sudah duduk di kursi pengemudi mengulurkan tangannya untuk memberikan uang kepada si bapak. Saya tidak tahu berapa besar uang yang diberikan. Saya pun masuk dan mobil segera bergerak meninggalkan tempat itu diiringi tatapan sendu dan lambaian tangan si bapak.
Saya meletakkan bungkusan gado-gado itu di dalam sebuah plastik yang ada di dalam mobil. Saya tidak bisa memakannya, karena tidak ada sendok di dalam mobil dan rasanya tidak nyaman kalau harus makan dengan tangan sementara kendaraan terus bergerak. Saya tahu gado-gado itu akan benyek pada saat nanti tiba Jakarta dan kalau sudah begitu rasanya tentu jadi semakin tidak enak. Saya tahu gado-gado itu akan berubah rasa saat tiba di Jakarta nanti, tapi saya bertekad untuk memakannya, walaupun hanya sedikit. Kami terus berjalan sampai akhirnya tiba di Jakarta Selatan menjelang Maghrib.
Ketika tiba di rumah, saya langsung menghampiri istri saya dan menunjukkan bungkusan gado-gado yang ada di tangan saya. “Lihat!” saya tersenyum kepadanya, “Akhirnya saya mendapatkannya setelah hampir satu tahun tidak makan gado-gado.” Ya. Ini memang gado-gado pertama yang saya temui dalam satu tahun terakhir!
Istri saya tersenyum. “Jadi akhirnya berhasil juga dapat gado-gado? Beli di mana?”
Maka saya pun menceritakan seluruh kejadiannya sambil mempersiapkan gado-gado itu di atas piring. Gado-gado itu sangat banyak sampai-sampai porsi saya masih lebih dari cukup walaupun saya sudah membagi sebagian gado-gado itu untuk istri dan ibu mertua saya.
“Apa …?” istri saya langsung protes ketika saya sudah selesai bercerita, “Kanda cuma memberikan dua puluh ribu untuk bapak tua yang sedang kesusahan itu? Kenapa tidak memberikan lima puluh ribu atau lebih lagi?”
“Saya tadi sedang tidak bawa uang Sayang,” saya mengelak, “Lagi pula, yang saya berikan itu sudah hampir mewakili seluruh isi kantong saya.”
“Tapi kan bisa pinjam uang dulu dari Umi (maksudnya Ibu saya),” ia masih memprotes.
“Iya sih, tapi entahlah tadi saya sama sekali tidak terpikir ke arah sana,” lagi-lagi saya membela diri.
Istri saya masih menyesali apa yang telah terjadi untuk beberapa waktu lamanya. Dan saya tahu ia benar. Mungkin itu adalah salah satu hal yang paling saya sesali dalam hidup saya.
Saya terus terbayang-bayang wajah sendu si Bapak tua ketika saya memakan gado-gado di piring saya. Saya memakan gado-gado itu, dan terus memakannya dengan lahap. Saya terus memakan gado-gado itu sampai dasar-dasar piring saya mulai terlihat. Wajah bapak tua itu terus membayang. Senyumannya yang nyaris tak tampak sudah cukup memadai untuk menyibak perlahan kerut-kerut di wajahnya sebagai pembuka jalan bagi sinar matahari sore memantul lepas menjajakan keceriaan serta kebahagiaan bagi alam di sekitarnya. Bayang-bayang tangannya yang gemetar tapi ikhlas telah menyadarkan saya bahwa energi ketulusannya telah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa bagi makanan yang dibuatnya.
Saya terus makan sampai gado-gado di piring saya ludes tak tersisa. Saya tertegun untuk beberapa saat sambil menatap piring saya yang sudah kosong. Kini saya sadar sepenuhnya. Saya betul-betul tidak mampu untuk menolak sebuah kebenaran yang lain … itu adalah gado-gado paling lezat yang pernah saya makan seumur hidup saya!
Kuala Lumpur, 14 November 2007
Ditulis sebagai kenangan untuk Bapak penjual gado-gado di Bogor
Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan hingga akhir hayatnya
Kalau Rejeki Nggak Kemana 2
Kalau Rejeki Nggak Kemana 2
Kalau rejeki memang nggak kemana. Ya, begitulah yang biasa dikatakan sebagian orang. Artinya, kalau memang sudah jadi rejeki kita, dia tentu akan sampai juga ke tangan kita, walaupun kita tidak mengejarnya. Ini juga yang beberapa kali terjadi pada diri saya.
Salah satu peristiwa yang pernah saya alami adalah ketika saya diminta menjadi juri lomba baca puisi. Pada suatu malam, saya sedang duduk-duduk di ruang keluarga ketika telpon berdering. Saya pun mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum …?” terdengar suara di seberang sana.
“Wa’alaikum salam,” jawab saya.
“Eh, Pak … kami dari panitia …,” si penelpon memperkenalkan dirinya pada saya. “Kami ingin meminta Bapak untuk menjadi juri lomba baca puisi tingkat SMP dan SMU.”
“Juri lomba baca puisi?” saya meragukan pendengaran saya. “Tapi itu sama sekali bukan bidang saya. Kalau juri lomba menulis cerpen atau artikel saya bisa. Tapi lomba baca puisi …?”
“Kami percaya Bapak cocok untuk itu.”
“Siapa saja yang ikut menjadi juri?” tanya saya.
Lalu si penelpon menyebutkan dua nama lainnya, yang salah satunya saya kenal. Ia juga menjelaskan bahwa panitia sempat meminta seorang mantan artis yang kini sudah memakai jilbab untuk menjadi juri, tapi batal karena fee yang diminta si artis terlalu tinggi. Saya sempat berpikir, kalau panitia berani mengundang artis, walaupun akhirnya tidak jadi, tentu fee yang mereka tawarkan lumayan tinggi juga; terlalu rendah untuk si artis, tapi barangkali cukup tinggi buat orang biasa seperti saya. Hanya saja saya tidak ingin menanyakan berapa fee yang ditawarkan panitia.
“Sebetulnya, dari mana dapat informasi tentang saya?” saya bertanya penasaran.
“Eh …, ada beberapa teman yang menginformasikan dan merekomendasikan Bapak untuk posisi juri ini.”
Saya tidak mencoba menyelidik lebih jauh dari mana mereka mendapatkan nama saya. Sebetulnya saya agak tertarik dan ingin membantu, tapi saya merasa ini bukan bidang saya.
“Senang sekali kalau saya bisa membantu, tapi sayangnya saya bukan orang yang tepat untuk posisi itu. Akan lebih baik kalau posisi juri ini diisi oleh orang yang benar-benar berkompeten,” saya berusaha menjelaskan alasan penolakan saya pada mereka.
“Aduh, gimana ya …?” si penelpon kelihatannya agak kecewa dengan penolakan saya.
“Begini saja …,” saya berusaha memberikan jalan keluar, “Saya merekomendasikan satu nama untuk menggantikan saya. Coba pihak panitia hubungi dulu Dr. Amir. Beliau doktor tafsir lulusan Pakistan dan beliau sangat menguasai soal puisi. Beberapa puisi beliau dimuat oleh Majalah Horison.”
Si penelpon tidak merespon. Kelihatannya dia kurang tertarik dengan usulan saya. Aneh juga, saya pikir, ditawari orang yang lebih baik kok ragu-ragu.
“Coba hubungi beliau dulu. Kalau beliau bisa, Alhamdulillah, saya yakin panitia tidak akan kecewa. Tapi kalau Dr. Amir tidak bisa, panitia boleh menghubungi saya lagi.”
“Kalau beliau tidak bisa, Bapak siap menjadi juri kan?” si penelpon mencari penegasan dengan nada harap.
“Insya Allah,” jawab saya. “Tapi hubungi dulu Dr. Amir ya.”
Maka ia pun mengucapkan salam dan menutup telepon setelah saya membalas salamnya. Istri saya yang mendengar percakapan itu bertanya pada saya kenapa harus menolak permintaan tersebut. Saya jawab, karena saya merasa bukan ahlinya.
“Jadi juri puisi untuk anak-anak SMP dan SMU kan tidak susah,” kata istri saya seperti menyesali penolakan saya. “Bukankah lebih baik kalau permintaan itu diterima saja?”
Saya hanya mengangkat bahu. Saya pikir keputusan saya itu tidak salah. Bukankah sebuah urusan itu sebaiknya dikerjakan oleh ahlinya. Kalau saya memaksakan diri terjun ke bidang yang tidak begitu saya kuasai, jangan-jangan malah merusak acara. Lain ceritanya kalau tidak ada alternatif lain atau saya benar-benar dipaksa oleh panitia.
“Kalau rejeki nggak kemana. Kalau ini memang rejeki saya, nanti juga panitia akan nelpon lagi,” jawab saya sekenanya.
“Lha, kalau panitianya nggak nelpon lagi?”
“Ya berarti bukan rejeki saya.”
Maka saya pun mengerjakan urusan yang lain. Saya segera melupakan permintaan dari panitia tersebut, karena saya menduga Dr. Amir tentu akan menyanggupi permintaan itu. Kalaupun doktor di bidang tafsir itu berhalangan, barangkali beliau akan merekomendasikan temannya yang lain yang cocok untuk itu.
Beberapa saat setelah itu, telepon kembali berdering.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara yang familiar di seberang sana. “Pak, ini dari panitia ….”
“Oh ya …, bagaimana, sudah menghubungi Dr. Amir?”
“Sudah, tapi beliau tidak bisa karena sudah ada acara,” jawab suara di seberang sana. “Beliau malah menyarankan supaya Bapak saja yang menjadi juri.”
“Begitu ya …,” saya masih ragu-ragu. “Apa panitia tidak punya alternatif lain …?”
“Tidak ada …, dan kami sangat berharap Bapak mau menjadi juri.”
Saya tidak punya pilihan lain. Saya mau tidak mau menerimanya. Alhamdulillah, ternyata pilihan panitia tidak sepenuhnya salah. Tugas menjadi juri baca puisi jauh lebih sederhana daripada yang saya bayangkan. Pada prinsipnya, semua orang yang memiliki sedikit pemahaman tentang puisi dan pembacaan puisi bisa menjadi juri di acara tersebut.
Saya menjadi juri seharian penuh bersama dua orang juri lainnya. Setelah tugas selesai, panitia memberikan fee kepada setiap juri. Jumlah yang lumayan untuk seorang guru seperti saya. Saya menatap amplop berisi uang itu sambil tersenyum.
“Saya sudah menolakmu dan menyuruhmu pergi ke tempat lain. Tapi rupanya Allah sudah menetapkan kamu sebagai rejeki saya, maka kamu pun datang kembali ke tangan saya.”
Berapa banyak harta dikejar tapi tak kunjung dapat, sementara rejeki yang tak terbayangkan sebelumnya malah datang secara tak terduga.
Written b: Alwi Alatas
Jakarta, 14/11/08
Kalau rejeki memang nggak kemana. Ya, begitulah yang biasa dikatakan sebagian orang. Artinya, kalau memang sudah jadi rejeki kita, dia tentu akan sampai juga ke tangan kita, walaupun kita tidak mengejarnya. Ini juga yang beberapa kali terjadi pada diri saya.
Salah satu peristiwa yang pernah saya alami adalah ketika saya diminta menjadi juri lomba baca puisi. Pada suatu malam, saya sedang duduk-duduk di ruang keluarga ketika telpon berdering. Saya pun mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum …?” terdengar suara di seberang sana.
“Wa’alaikum salam,” jawab saya.
“Eh, Pak … kami dari panitia …,” si penelpon memperkenalkan dirinya pada saya. “Kami ingin meminta Bapak untuk menjadi juri lomba baca puisi tingkat SMP dan SMU.”
“Juri lomba baca puisi?” saya meragukan pendengaran saya. “Tapi itu sama sekali bukan bidang saya. Kalau juri lomba menulis cerpen atau artikel saya bisa. Tapi lomba baca puisi …?”
“Kami percaya Bapak cocok untuk itu.”
“Siapa saja yang ikut menjadi juri?” tanya saya.
Lalu si penelpon menyebutkan dua nama lainnya, yang salah satunya saya kenal. Ia juga menjelaskan bahwa panitia sempat meminta seorang mantan artis yang kini sudah memakai jilbab untuk menjadi juri, tapi batal karena fee yang diminta si artis terlalu tinggi. Saya sempat berpikir, kalau panitia berani mengundang artis, walaupun akhirnya tidak jadi, tentu fee yang mereka tawarkan lumayan tinggi juga; terlalu rendah untuk si artis, tapi barangkali cukup tinggi buat orang biasa seperti saya. Hanya saja saya tidak ingin menanyakan berapa fee yang ditawarkan panitia.
“Sebetulnya, dari mana dapat informasi tentang saya?” saya bertanya penasaran.
“Eh …, ada beberapa teman yang menginformasikan dan merekomendasikan Bapak untuk posisi juri ini.”
Saya tidak mencoba menyelidik lebih jauh dari mana mereka mendapatkan nama saya. Sebetulnya saya agak tertarik dan ingin membantu, tapi saya merasa ini bukan bidang saya.
“Senang sekali kalau saya bisa membantu, tapi sayangnya saya bukan orang yang tepat untuk posisi itu. Akan lebih baik kalau posisi juri ini diisi oleh orang yang benar-benar berkompeten,” saya berusaha menjelaskan alasan penolakan saya pada mereka.
“Aduh, gimana ya …?” si penelpon kelihatannya agak kecewa dengan penolakan saya.
“Begini saja …,” saya berusaha memberikan jalan keluar, “Saya merekomendasikan satu nama untuk menggantikan saya. Coba pihak panitia hubungi dulu Dr. Amir. Beliau doktor tafsir lulusan Pakistan dan beliau sangat menguasai soal puisi. Beberapa puisi beliau dimuat oleh Majalah Horison.”
Si penelpon tidak merespon. Kelihatannya dia kurang tertarik dengan usulan saya. Aneh juga, saya pikir, ditawari orang yang lebih baik kok ragu-ragu.
“Coba hubungi beliau dulu. Kalau beliau bisa, Alhamdulillah, saya yakin panitia tidak akan kecewa. Tapi kalau Dr. Amir tidak bisa, panitia boleh menghubungi saya lagi.”
“Kalau beliau tidak bisa, Bapak siap menjadi juri kan?” si penelpon mencari penegasan dengan nada harap.
“Insya Allah,” jawab saya. “Tapi hubungi dulu Dr. Amir ya.”
Maka ia pun mengucapkan salam dan menutup telepon setelah saya membalas salamnya. Istri saya yang mendengar percakapan itu bertanya pada saya kenapa harus menolak permintaan tersebut. Saya jawab, karena saya merasa bukan ahlinya.
“Jadi juri puisi untuk anak-anak SMP dan SMU kan tidak susah,” kata istri saya seperti menyesali penolakan saya. “Bukankah lebih baik kalau permintaan itu diterima saja?”
Saya hanya mengangkat bahu. Saya pikir keputusan saya itu tidak salah. Bukankah sebuah urusan itu sebaiknya dikerjakan oleh ahlinya. Kalau saya memaksakan diri terjun ke bidang yang tidak begitu saya kuasai, jangan-jangan malah merusak acara. Lain ceritanya kalau tidak ada alternatif lain atau saya benar-benar dipaksa oleh panitia.
“Kalau rejeki nggak kemana. Kalau ini memang rejeki saya, nanti juga panitia akan nelpon lagi,” jawab saya sekenanya.
“Lha, kalau panitianya nggak nelpon lagi?”
“Ya berarti bukan rejeki saya.”
Maka saya pun mengerjakan urusan yang lain. Saya segera melupakan permintaan dari panitia tersebut, karena saya menduga Dr. Amir tentu akan menyanggupi permintaan itu. Kalaupun doktor di bidang tafsir itu berhalangan, barangkali beliau akan merekomendasikan temannya yang lain yang cocok untuk itu.
Beberapa saat setelah itu, telepon kembali berdering.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara yang familiar di seberang sana. “Pak, ini dari panitia ….”
“Oh ya …, bagaimana, sudah menghubungi Dr. Amir?”
“Sudah, tapi beliau tidak bisa karena sudah ada acara,” jawab suara di seberang sana. “Beliau malah menyarankan supaya Bapak saja yang menjadi juri.”
“Begitu ya …,” saya masih ragu-ragu. “Apa panitia tidak punya alternatif lain …?”
“Tidak ada …, dan kami sangat berharap Bapak mau menjadi juri.”
Saya tidak punya pilihan lain. Saya mau tidak mau menerimanya. Alhamdulillah, ternyata pilihan panitia tidak sepenuhnya salah. Tugas menjadi juri baca puisi jauh lebih sederhana daripada yang saya bayangkan. Pada prinsipnya, semua orang yang memiliki sedikit pemahaman tentang puisi dan pembacaan puisi bisa menjadi juri di acara tersebut.
Saya menjadi juri seharian penuh bersama dua orang juri lainnya. Setelah tugas selesai, panitia memberikan fee kepada setiap juri. Jumlah yang lumayan untuk seorang guru seperti saya. Saya menatap amplop berisi uang itu sambil tersenyum.
“Saya sudah menolakmu dan menyuruhmu pergi ke tempat lain. Tapi rupanya Allah sudah menetapkan kamu sebagai rejeki saya, maka kamu pun datang kembali ke tangan saya.”
Berapa banyak harta dikejar tapi tak kunjung dapat, sementara rejeki yang tak terbayangkan sebelumnya malah datang secara tak terduga.
Written b: Alwi Alatas
Jakarta, 14/11/08
Subscribe to:
Posts (Atom)