Bayu Gawtama
Suatu hari,
ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah
sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, “Bawa jeruk kok busuk,
mau ngeracunin saya? biar saya cepat mati?”
Suara
marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan
membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk
atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat
kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya
lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.
Sebenarnya,
boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan
kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu
keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang
terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual,
pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum
lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah,
keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak
bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu
saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang
dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.
Wajar.
Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi
di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi
ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya
untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba,
“Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam
gini siapa yang mau makan?” suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan
membuat malu keluarga yang baru datang itu.
Pupuslah
senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat
tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia
tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa
sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.
Harga
sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah
seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya?
Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali
tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari
satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk
pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun
dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk
membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari
jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum
yang seharusnya. “Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak
enak kalau nggak bawa apa-apa,” kata si Ayah kepada keluarganya.
Kalimat
sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang
sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak
tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu.
Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan
keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat
mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali
membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu
dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing
sesuatu.
Setibanya
di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses,
menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa
membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak
ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu
berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari
siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika
kalimat itu terdengar, “Jeruk asam begini kok dibawa…”
Duh.
Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa
menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa
manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak
punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik
taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli sepeti jeruk manis dan segar.
Mampukah
kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski
jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.
http://kisahislami.com/2011/12/06/kisah-hikmah-jeruk-busuk-rasa-manis/
Pesan: Tahanlah lidah kita daripada menghina kekurangan orang lain. Hargai niat baiknya, bukan kecilnya pemberian.
Pesan: Tahanlah lidah kita daripada menghina kekurangan orang lain. Hargai niat baiknya, bukan kecilnya pemberian.
No comments:
Post a Comment