Seorang anak yang buta kedua matanya duduk di tepi jalan. Di dekat kakinya tergeletak sebuah topi dalam keadaan terbalik dan sebuah tanda bertuliskan: “Saya buta, tolong bantu.” Ada sedikit koin di dalam topi itu.
Seorang lelaki berjalan melalui jalan itu dan berhenti sebentar di depan anak tersebut. Ia mengeluarkan beberapa koin dan meletakkannya di dalam topi. Ia kemudian membalik tanda yang dibawa anak itu dan menuliskan kata-kata yang baru. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian, topi itu mulai terisi penuh. Banyak orang yang lewat di tempat itu mengeluarkan dompetnya dan menyisihkan sebagian uang yang dimilikinya untuk diletakkan di dalam topi tersebut.
Pada petang harinya, lelaki yang mengubah tanda tersebut datang kembali ke tempat itu. Anak yang buta tadi mengenali langkah-langkah kaki lelaki itu. “Bukankah anda yang tadi pagi mengubah tanda yang saya bawa? Apa yang telah anda tuliskan sehingga orang-orang tergerak untuk meletakkan uang di topi saya?”
Lelaki itu menjawab, “Saya hanya menuliskan kebenaran. Saya menuliskan hal yang sama dengan yang ada di tanda itu, tetapi dengan cara yang berbeda.”
Tulisan yang baru itu berbunyi: “Hari ini indah, tetapi saya tak boleh melihatnya.”
Anda tahu mengapa orang-orang tergerak untuk membantu anak itu? Ya, tulisan itu mengingatkan pada nikmat yang ada pada diri mereka sendiri, yaitu nikmat penglihatan. Karena itu, mereka pun merasa bersyukur dan tergerak untuk bersedekah membantu anak yang buta itu. (diceritakan kembali dari http://www.islamcan.com/islamic-stories/did-you-thank-allah-for-your-eyesight.shtml)
Hidup ini memang indah. Hari-hari yang kita lalui sebagian besarnya indah dan kita dapat melihatnya. Alhamdulillah.
Jika kita masih memiliki penglihatan, banyak-banyaklah bersyukur. Ingatlah, ada orang lain yang buta matanya dan tak bisa melihat berbagai keindahan yang kita lihat.
Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. 23:78)
Alwi Alatas
Kuala Lumpur
1 Jumadil Akhir/ 11 April 2013
Wednesday, April 10, 2013
Nilai sebuah kejujuran
Alwi Alatas
Ada sebuah kisah tentang seorang kaisar di sebuah negeri. Usia kaisar ini sudah semakin tua dan ia merasa sudah waktunya untuk menunjuk seorang pengganti. Namun, ia tak mau menunjuk salah satu anak atau orang kepercayaannya sebagai penggantinya. Ia memilih cara yang berbeda.
Pada suatu hari, ia mengumpulkan anak-anak remaja di negerinya. Ia kemudian mengumumkan, “Sudah dekat waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri dan memilih seorang kaisar yang baru. Saya telah memutuskan untuk menunjuk salah seorang di antara kalian untuk menjadi kaisar yang baru.”
Remaja-remaja itu terkejut mendengarnya. Mereka memperhatikan dengan baik apa yang akan dikatakan Kaisar setelah itu. “Pada hari ini, saya akan memberikan kepada setiap orang yang ada di sini sebutir benih. Sebutir benih yang sangat istimewa. Saya meminta masing-masing kalian menanam benih itu di dalam sebuah pot. Sirami benih itu setiap hari. Kemudian kembalilah kalian ke sini pada hari yang sama, tahun depan, dengan membawa apa yang berhasil kalian tumbuhkan dari benih itu. Saya akan menilai secara langsung tanaman yang kalian bawa. Saya akan memilih salah satunya. Yang terpilih akan menjadi kaisar menggantikan saya.”
Setelah itu, masing-masing kembali ke tempat tinggal mereka dengan membawa sebutir benih.
Ada seorang anak remaja bernama Ling yang hadir dan menerima benih pada hari itu. Ia pulang ke rumah dan menceritakan kata-kata kaisar kepada ibunya dengan perasaan excited. Dengan dibantu oleh ibunya, ia pun segera menanam benih itu pada sebuah pot. Ia telah meletakkan tanah dan pupuk yang baik di dalam pot itu sebelumnya. Setiap pagi dan petang hari, ia tak pernah lupa menyirami benih di dalam pot tadi. Ia mengamati pertumbuhan benih itu. Namun setelah beberapa minggu, tak ada apa-apa yang keluar dari dalamnya. Benih itu tak kunjung tumbuh juga.
Setelah tiga minggu, anak-anak remaja lainnya saling bertukar cerita tentang pertumbuhan benih yang mereka tanam. Sementara benih Ling sama sekali tidak tumbuh. Minggu demi minggu berlalu, benih milik Ling tetap tidak tumbuh juga. Sementara anak-anak remaja lainnya semakin antusias bercerita tentang tanaman mereka yang semakin membesar.
Ling merasa sedih. Sudah enam bulan berlalu dan benihnya tidak tumbuh menjadi tanaman. Ia telah gagal. Tak ada lagi hal yang dapat dilakukannya. Ia hanya dapat mendengarkan kisah keberhasilan teman-temannya dengan perasaan kecewa.
Satu tahun yang ditetapkan akhirnya mencapai masa akhirnya. Tepat pada hari yang sama, setahun sejak mereka dikumpulkan, remaja-remaja ini dikumpulkan kembali di istana. Setiap remaja membawa pot dan tanaman mereka. Tanaman yang mereka bawa beraneka ragam dan sangat indah. Semua pot yang dibawa anak-anak remaja itu berisi tanaman. Hanya satu orang saja yang potnya kosong tak berisi tanaman: Ling!
Semua orang tertawa bahagia dan saling bertukar cerita tentang usaha mereka menumbuhkan benih itu. Satu dua anak remaja melirik pot Ling yang kosong dan berkata kepadanya, “Setidaknya kamu sudah mencoba.” Setelah itu mereka tertawa-tawa dan berbincang dengan anak-anak lainnya.
Kaisar akhirnya hadir di tengah mereka. Ia pun berkeliling dan memperhatikan setiap tanaman dan memberi pujian sekedarnya. Ling hanya tertunduk malu, karena potnya sama sekali tidak berisi tanaman.
Kaisar kemudian berdiri di depan mereka semua. “Hari ini saya akan mengumumkan kaisar baru yang akan menggantikan saya.” Semua berdiri dengan perasaan tegang. Mereka berharap dirinyalah yang akan dipilih.
Tiba-tiba mata Kaisar tertuju pada pot milik Ling. Ia menunjuk ke arah pot itu dan memerintahkan para pengawal untuk membawanya ke depan, berikut dengan pemiliknya juga. Ling merasa sangat terkejut. Kaisar mengetahui saya telah gagal, saya tentu akan mendapatkan hukuman berat, begitu yang terlintas di pikiran Ling.
Ling dan potnya yang kosong dibawa ke depan oleh para pengawal. Kaisar kemudian menanyakan namanya. “Nama saya Ling,” jawab remaja itu dengan perasaan khawatir. Semua anak remaja yang ada di tempat itu tertawa. Mereka menertawakan pot Ling yang kosong.
Kaisar kemudian meminta semua orang untuk diam. Ia menatap Ling dalam-dalam dan kemudian membuat pengumuman di hadapan semua orang yang hadir. “Saya telah memutuskan kaisar yang baru, dan namanya adalah Ling. Beri penghormatan kepada Ling!”
Semua orang merasa terkejut mendengarnya, termasuk Ling. Tetapi mereka tak dapat berkata apa-apa. Mereka mengikuti perintah Kaisar dan memberikan penghormatan kepada kaisar yang baru saja ditunjuk, yaitu Ling.
Bagaimana ceritanya Ling bisa menjadi orang yang dipilih sebagai kaisar, padahal ia satu-satunya yang gagal menanam benih sebagaimana yang diminta oleh Kaisar?
Kaisar kemudian menerangkan, “Satu tahun yang lalu, saya berikan setiap orang yang hadir di sini sebutir benih. Saya minta masing-masing kalian menanamnya dan menyiraminya setiap hari. Sebenarnya benih yang saya berikan pada hari itu adalah benih yang sudah mati. Benih itu telah direbus sebelumnya. Benih itu tidak bisa tumbuh. Pada hari ini, kalian semua datang dengan membawa pot berisi tanaman, kecuali Ling. Kalian telah berbuat tidak jujur. Saat kalian mengetahui bahwa benih itu tidak tumbuh, kalian menggantinya dengan benih lain sehingga tumbuh menjadi tanaman dan kemudian kalian bawa ke sini. Ling satu-satunya anak remaja yang berani datang ke sini dengan segenap kejujurannya. Ia membawa pot yang tidak berisi tanaman. Karena itu, dialah yang saya pilih sebagai kaisar yang baru (sumber: http://www.islamcan.com/islamic-stories/the-emperor-and-the-seed.shtml)
Saat membaca kembali kisah ini, saya berpikir bahwa sebenarnya kerajaan ini memiliki masalah yang sangat besar. Dari semua anak remaja yang dikumpulkan dan diberi tugas, tidak ada yang jujur kecuali satu orang saja. Dari sekian banyak anak, semuanya berbohong, dan hanya ada satu anak yang jujur. Ini adalah masalah yang sangat serius. Walaupun begitu, kejujuran telah diapresiasi dengan setinggi-tingginya di kerajaan itu. Kejujuran telah diberi penghargaan yang paling tinggi.
Kerajaan itu masih memiliki harapan yang besar karena sikap yang diambil oleh sang Kaisar.
Tiba-tiba saya teringat tentang sebuah negeri yang lain. Sebuah negeri yang nyata, tidak seperti kerajaan khayalan pada kisah di atas. Di negeri itu, jumlah orang yang jujur bukan hanya sedikit, tetapi juga sangat tidak dihargai. Kejujuran bukan hanya tidak dihargai, anak-anak bahkan dididik oleh ’kerajaan’ itu untuk menjadi orang yang tidak jujur. Tentu saja pengelola negeri itu tidak akan mengakuinya dengan jujur. Kejujuran sudah menjadi terlalu mahal ... dan terlalu menakutkan untuk dibicarakan.
Saya ingin menangis setiap kali ingat bahwa negeri kedua yang saya sebutkan itu adalah negeri saya sendiri. Masihkah ia memiliki harapan?
Kuala Lumpur
10 April 2013
* Refleksi atas ketidakjujuran yang dirancang dengan sengaja dan bersama-sama oleh sekolah-sekolah di Indonesia untuk meluluskan siswa-siswanya pada Ujian Nasional (UN) … dan berbagai praktek ketidakjujuran lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Ada sebuah kisah tentang seorang kaisar di sebuah negeri. Usia kaisar ini sudah semakin tua dan ia merasa sudah waktunya untuk menunjuk seorang pengganti. Namun, ia tak mau menunjuk salah satu anak atau orang kepercayaannya sebagai penggantinya. Ia memilih cara yang berbeda.
Pada suatu hari, ia mengumpulkan anak-anak remaja di negerinya. Ia kemudian mengumumkan, “Sudah dekat waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri dan memilih seorang kaisar yang baru. Saya telah memutuskan untuk menunjuk salah seorang di antara kalian untuk menjadi kaisar yang baru.”
Remaja-remaja itu terkejut mendengarnya. Mereka memperhatikan dengan baik apa yang akan dikatakan Kaisar setelah itu. “Pada hari ini, saya akan memberikan kepada setiap orang yang ada di sini sebutir benih. Sebutir benih yang sangat istimewa. Saya meminta masing-masing kalian menanam benih itu di dalam sebuah pot. Sirami benih itu setiap hari. Kemudian kembalilah kalian ke sini pada hari yang sama, tahun depan, dengan membawa apa yang berhasil kalian tumbuhkan dari benih itu. Saya akan menilai secara langsung tanaman yang kalian bawa. Saya akan memilih salah satunya. Yang terpilih akan menjadi kaisar menggantikan saya.”
Setelah itu, masing-masing kembali ke tempat tinggal mereka dengan membawa sebutir benih.
Ada seorang anak remaja bernama Ling yang hadir dan menerima benih pada hari itu. Ia pulang ke rumah dan menceritakan kata-kata kaisar kepada ibunya dengan perasaan excited. Dengan dibantu oleh ibunya, ia pun segera menanam benih itu pada sebuah pot. Ia telah meletakkan tanah dan pupuk yang baik di dalam pot itu sebelumnya. Setiap pagi dan petang hari, ia tak pernah lupa menyirami benih di dalam pot tadi. Ia mengamati pertumbuhan benih itu. Namun setelah beberapa minggu, tak ada apa-apa yang keluar dari dalamnya. Benih itu tak kunjung tumbuh juga.
Setelah tiga minggu, anak-anak remaja lainnya saling bertukar cerita tentang pertumbuhan benih yang mereka tanam. Sementara benih Ling sama sekali tidak tumbuh. Minggu demi minggu berlalu, benih milik Ling tetap tidak tumbuh juga. Sementara anak-anak remaja lainnya semakin antusias bercerita tentang tanaman mereka yang semakin membesar.
Ling merasa sedih. Sudah enam bulan berlalu dan benihnya tidak tumbuh menjadi tanaman. Ia telah gagal. Tak ada lagi hal yang dapat dilakukannya. Ia hanya dapat mendengarkan kisah keberhasilan teman-temannya dengan perasaan kecewa.
Satu tahun yang ditetapkan akhirnya mencapai masa akhirnya. Tepat pada hari yang sama, setahun sejak mereka dikumpulkan, remaja-remaja ini dikumpulkan kembali di istana. Setiap remaja membawa pot dan tanaman mereka. Tanaman yang mereka bawa beraneka ragam dan sangat indah. Semua pot yang dibawa anak-anak remaja itu berisi tanaman. Hanya satu orang saja yang potnya kosong tak berisi tanaman: Ling!
Semua orang tertawa bahagia dan saling bertukar cerita tentang usaha mereka menumbuhkan benih itu. Satu dua anak remaja melirik pot Ling yang kosong dan berkata kepadanya, “Setidaknya kamu sudah mencoba.” Setelah itu mereka tertawa-tawa dan berbincang dengan anak-anak lainnya.
Kaisar akhirnya hadir di tengah mereka. Ia pun berkeliling dan memperhatikan setiap tanaman dan memberi pujian sekedarnya. Ling hanya tertunduk malu, karena potnya sama sekali tidak berisi tanaman.
Kaisar kemudian berdiri di depan mereka semua. “Hari ini saya akan mengumumkan kaisar baru yang akan menggantikan saya.” Semua berdiri dengan perasaan tegang. Mereka berharap dirinyalah yang akan dipilih.
Tiba-tiba mata Kaisar tertuju pada pot milik Ling. Ia menunjuk ke arah pot itu dan memerintahkan para pengawal untuk membawanya ke depan, berikut dengan pemiliknya juga. Ling merasa sangat terkejut. Kaisar mengetahui saya telah gagal, saya tentu akan mendapatkan hukuman berat, begitu yang terlintas di pikiran Ling.
Ling dan potnya yang kosong dibawa ke depan oleh para pengawal. Kaisar kemudian menanyakan namanya. “Nama saya Ling,” jawab remaja itu dengan perasaan khawatir. Semua anak remaja yang ada di tempat itu tertawa. Mereka menertawakan pot Ling yang kosong.
Kaisar kemudian meminta semua orang untuk diam. Ia menatap Ling dalam-dalam dan kemudian membuat pengumuman di hadapan semua orang yang hadir. “Saya telah memutuskan kaisar yang baru, dan namanya adalah Ling. Beri penghormatan kepada Ling!”
Semua orang merasa terkejut mendengarnya, termasuk Ling. Tetapi mereka tak dapat berkata apa-apa. Mereka mengikuti perintah Kaisar dan memberikan penghormatan kepada kaisar yang baru saja ditunjuk, yaitu Ling.
Bagaimana ceritanya Ling bisa menjadi orang yang dipilih sebagai kaisar, padahal ia satu-satunya yang gagal menanam benih sebagaimana yang diminta oleh Kaisar?
Kaisar kemudian menerangkan, “Satu tahun yang lalu, saya berikan setiap orang yang hadir di sini sebutir benih. Saya minta masing-masing kalian menanamnya dan menyiraminya setiap hari. Sebenarnya benih yang saya berikan pada hari itu adalah benih yang sudah mati. Benih itu telah direbus sebelumnya. Benih itu tidak bisa tumbuh. Pada hari ini, kalian semua datang dengan membawa pot berisi tanaman, kecuali Ling. Kalian telah berbuat tidak jujur. Saat kalian mengetahui bahwa benih itu tidak tumbuh, kalian menggantinya dengan benih lain sehingga tumbuh menjadi tanaman dan kemudian kalian bawa ke sini. Ling satu-satunya anak remaja yang berani datang ke sini dengan segenap kejujurannya. Ia membawa pot yang tidak berisi tanaman. Karena itu, dialah yang saya pilih sebagai kaisar yang baru (sumber: http://www.islamcan.com/islamic-stories/the-emperor-and-the-seed.shtml)
Saat membaca kembali kisah ini, saya berpikir bahwa sebenarnya kerajaan ini memiliki masalah yang sangat besar. Dari semua anak remaja yang dikumpulkan dan diberi tugas, tidak ada yang jujur kecuali satu orang saja. Dari sekian banyak anak, semuanya berbohong, dan hanya ada satu anak yang jujur. Ini adalah masalah yang sangat serius. Walaupun begitu, kejujuran telah diapresiasi dengan setinggi-tingginya di kerajaan itu. Kejujuran telah diberi penghargaan yang paling tinggi.
Kerajaan itu masih memiliki harapan yang besar karena sikap yang diambil oleh sang Kaisar.
Tiba-tiba saya teringat tentang sebuah negeri yang lain. Sebuah negeri yang nyata, tidak seperti kerajaan khayalan pada kisah di atas. Di negeri itu, jumlah orang yang jujur bukan hanya sedikit, tetapi juga sangat tidak dihargai. Kejujuran bukan hanya tidak dihargai, anak-anak bahkan dididik oleh ’kerajaan’ itu untuk menjadi orang yang tidak jujur. Tentu saja pengelola negeri itu tidak akan mengakuinya dengan jujur. Kejujuran sudah menjadi terlalu mahal ... dan terlalu menakutkan untuk dibicarakan.
Saya ingin menangis setiap kali ingat bahwa negeri kedua yang saya sebutkan itu adalah negeri saya sendiri. Masihkah ia memiliki harapan?
Kuala Lumpur
10 April 2013
* Refleksi atas ketidakjujuran yang dirancang dengan sengaja dan bersama-sama oleh sekolah-sekolah di Indonesia untuk meluluskan siswa-siswanya pada Ujian Nasional (UN) … dan berbagai praktek ketidakjujuran lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Friday, April 5, 2013
Obat Kuat Jiwa
Alwi Alatas
Belum lama ini saya berbincang dengan beberapa orang rekan di penerbit Galeri Ilmu, di antaranya Wan Zayuhisyam, penulis buku Cikgu, Anak Saya Okay? Perbincangan kami berkenaan dengan iklan buku di internet.
“Bukannya mudah nak tarik audience kepada iklan buku,” kata Wan Zayuhisyam, “lain halnya jika iklan obat kuat, tentu ramai yang tertarik.”
“Kalau macam itu tampilkan saja iklan obat kuat,” kata saya, “saat mereka klik iklan itu, yang muncul adalah buku.”
“Mana boleh seperti itu, nanti orang-orang kecewa karena lain yang diiklankan lain pula isinya.”
“Sebenarnya …,” kata saya lagi, “buku-buku motivasi Islami ini obat kuat juga … ia adalah obat kuat jiwa.”
Yang lain pun tersenyum mendengarnya.
Ini memang gurauan saja. Bukannya betul-betul akan buat iklan semacam itu. Bagaimanapun, hal ini mengandung fakta yang benar. Buku-buku motivasi yang dibuat oleh para penulis tarbiyah rohani, atau dapat juga disebut buku-buku spiritual motivation, memang merupakan obat kuat jiwa. Buku-buku ini boleh memberi kekuatan yang besar pada jiwa. Ia mampu menggetarkan dan memotivasi jiwa; membangkitkan semangat yang lemah; mengubah kesedihan menjadi kegembiraan; menghilangkan keputusasaan dan mengubahnya jadi rasa percaya diri; dan dapat memperkaya jiwa serta mendekatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Buku-buku itu boleh membuat jiwa manusia ‘tersenyum’ bahagia. Kalau sudah begitu, insya Allah tak akan ada lagi kesusahan yang menimbulkan rasa putus asa. Seperti yang saya tulis di dalam buku Mudahkan, Jangan Susahkan: “Senyuman di jiwa itu mendahului senyuman di wajah. Musibah dan kesusahan berasa segan dan takjub kepada jiwa yang sentiasa tersenyum.”
Masalahnya, berapa banyak orang yang menganggap penting jiwanya serta apa yang ada di dalam dadanya, dibandingkan mereka yang mementingkan apa yang beberapa centimeter berada di bawah dadanya?
Kalau yang dijual obat kuat lelaki mungkin banyak yang mahu membelinya dan sanggup membayar mahal, karena ia adalah simbol kejantanan dan kegagahan. Tapi berapa banyak yang mahu membayar untuk kekuatan jiwanya? Berapa uang yang sanggup dikeluarkan untuk membeli buku-buku tarbiyah rohani yang merupakan obat kuat jiwa, bukan hanya bagi kaum lelaki tetapi juga bagi kaum perempuan dari pelbagai usia?
Kalau seorang lelaki merasa terganggu dalam hal kegagahan yang satu itu, ia tentu menjadi sangat gelisah dan sanggup mengeluarkan banyak uang untuk mengembalikan kekuatannya. Tapi kalau yang hilang adalah kegagahan dan kekuatan jiwa, siapa yang peduli? Banyak yang tak mau pening memikirkannya. Yang lain semuanya penting, tapi jiwa tak begitu dianggap penting. Padahal sebenarnya jiwa itulah yang paling tinggi nilainya dan paling mahal harganya.
Jangan hanya kuatkan badan dan hal-hal fizikal lainnya. Kuatkanlah jiwa. Carilah obat kuat jiwa. Hadiri majelis zikir dan majelis ilmu. Perbanyak ibadah dan membaca al-Qur’an. Beli dan baca buku-buku Islami. Tak banyak uang yang perlu dikeluarkan untuk itu. Tapi manfaatnya insya Allah berlipat-lipat lebih tinggi dibandingkan uang yang dikeluarkan.
Para pembaca sekalian, jiwa kita terlalu tinggi nilainya. Hargailah ia dengan sebaik-baiknya. Insya Allah hal itu akan membuat kita mampu menjadi seorang pemenang yang sejati di kemudian hari.
Kuala Lumpur
23 Jumadil Awwal 1434/ 4 April 2013
Belum lama ini saya berbincang dengan beberapa orang rekan di penerbit Galeri Ilmu, di antaranya Wan Zayuhisyam, penulis buku Cikgu, Anak Saya Okay? Perbincangan kami berkenaan dengan iklan buku di internet.
“Bukannya mudah nak tarik audience kepada iklan buku,” kata Wan Zayuhisyam, “lain halnya jika iklan obat kuat, tentu ramai yang tertarik.”
“Kalau macam itu tampilkan saja iklan obat kuat,” kata saya, “saat mereka klik iklan itu, yang muncul adalah buku.”
“Mana boleh seperti itu, nanti orang-orang kecewa karena lain yang diiklankan lain pula isinya.”
“Sebenarnya …,” kata saya lagi, “buku-buku motivasi Islami ini obat kuat juga … ia adalah obat kuat jiwa.”
Yang lain pun tersenyum mendengarnya.
Ini memang gurauan saja. Bukannya betul-betul akan buat iklan semacam itu. Bagaimanapun, hal ini mengandung fakta yang benar. Buku-buku motivasi yang dibuat oleh para penulis tarbiyah rohani, atau dapat juga disebut buku-buku spiritual motivation, memang merupakan obat kuat jiwa. Buku-buku ini boleh memberi kekuatan yang besar pada jiwa. Ia mampu menggetarkan dan memotivasi jiwa; membangkitkan semangat yang lemah; mengubah kesedihan menjadi kegembiraan; menghilangkan keputusasaan dan mengubahnya jadi rasa percaya diri; dan dapat memperkaya jiwa serta mendekatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Buku-buku itu boleh membuat jiwa manusia ‘tersenyum’ bahagia. Kalau sudah begitu, insya Allah tak akan ada lagi kesusahan yang menimbulkan rasa putus asa. Seperti yang saya tulis di dalam buku Mudahkan, Jangan Susahkan: “Senyuman di jiwa itu mendahului senyuman di wajah. Musibah dan kesusahan berasa segan dan takjub kepada jiwa yang sentiasa tersenyum.”
Masalahnya, berapa banyak orang yang menganggap penting jiwanya serta apa yang ada di dalam dadanya, dibandingkan mereka yang mementingkan apa yang beberapa centimeter berada di bawah dadanya?
Kalau yang dijual obat kuat lelaki mungkin banyak yang mahu membelinya dan sanggup membayar mahal, karena ia adalah simbol kejantanan dan kegagahan. Tapi berapa banyak yang mahu membayar untuk kekuatan jiwanya? Berapa uang yang sanggup dikeluarkan untuk membeli buku-buku tarbiyah rohani yang merupakan obat kuat jiwa, bukan hanya bagi kaum lelaki tetapi juga bagi kaum perempuan dari pelbagai usia?
Kalau seorang lelaki merasa terganggu dalam hal kegagahan yang satu itu, ia tentu menjadi sangat gelisah dan sanggup mengeluarkan banyak uang untuk mengembalikan kekuatannya. Tapi kalau yang hilang adalah kegagahan dan kekuatan jiwa, siapa yang peduli? Banyak yang tak mau pening memikirkannya. Yang lain semuanya penting, tapi jiwa tak begitu dianggap penting. Padahal sebenarnya jiwa itulah yang paling tinggi nilainya dan paling mahal harganya.
Jangan hanya kuatkan badan dan hal-hal fizikal lainnya. Kuatkanlah jiwa. Carilah obat kuat jiwa. Hadiri majelis zikir dan majelis ilmu. Perbanyak ibadah dan membaca al-Qur’an. Beli dan baca buku-buku Islami. Tak banyak uang yang perlu dikeluarkan untuk itu. Tapi manfaatnya insya Allah berlipat-lipat lebih tinggi dibandingkan uang yang dikeluarkan.
Para pembaca sekalian, jiwa kita terlalu tinggi nilainya. Hargailah ia dengan sebaik-baiknya. Insya Allah hal itu akan membuat kita mampu menjadi seorang pemenang yang sejati di kemudian hari.
Kuala Lumpur
23 Jumadil Awwal 1434/ 4 April 2013
Wednesday, April 3, 2013
Tangisan Abu Darda’
Alwi Alatas
Ibnu Katsir menceritakan di dalam Al-Bidayah wan Nihayah bahwa pada tahun 28H/ 649M, kaum Muslimin di wilayah Sham (wilayah yang mencakup Suriah, Yordania, Palestina, dan Lebanon) melakukan pelayaran jihad yang pertama. Sebelumnya peperangan dan jihad menghadapi Byzantium, ataupun Persia, hanya berlangsung di daratan. Tapi kali ini mereka menyeberangi Laut Tengah (Mediterrania) untuk merebut Pulau Cyprus dari kekuasaan Byzantium.
Kaum Muslimin tidak sampai menaklukkan pulau itu, tetapi mereka mendapatkan banyak pampasan dan tawanan perang dalam pertempuran tersebut. Selepas itu, mereka pun kembali ke negeri Sham.
Saat melihat para tawanan dari pulau Cyprus didatangkan, Abu Darda’ ra, seorang sahabat Nabi saw., menangis. Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa anda menangis padahal pada hari ini Allah telah menjayakan Islam dan kaum Muslimin?”
Abu Darda’ kemudian menjawab, “Bagaimana kamu ini, tadinya mereka adalah ummat yang dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain. Di saat mereka tidak menghiraukan perintah Allah, Allah mengubah posisi mereka menjadi seperti yang kamu lihat sendiri. Mereka menjadi tawanan. Jika suatu kaum telah menjadi tawanan, maka Allah tidak lagi mempedulikan mereka.”
Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Sungguh Allah SWT sangat menghinakan hamba yang meninggalkan perintah-Nya.”
Tidakkah kita merasa takjub dengan tangisan Abu Darda’? Kaum Muslimin ketika itu sedang tampil ke muka dan mulai menjadi pemimpin peradaban. Mereka menjadi ummat yang unggul dan menang menghadapi lawan-lawannya. Tapi saat melihat apa yang terjadi pada musuh yang telah menjadi tawanan, beliau melakukan refleksi dan menangis. Mereka dulunya ummat yang kuat, tetapi telah menjadi pihak yang kalah dan tertawan. Apa sebabnya? Karena mereka menjauh dari Tuhannya dan meninggalkan perintah-Nya.
Bagaimana dengan kita? Perlukah kita menangis juga seperti Abu Darda’? Bukannya mudah menjawab pertanyaan ini. Karena sekarang ini, kitalah sebenarnya ummat yang berada dalam posisi ditangisi.
Kuala Lumpur,
22 Jumadil Awwal 1434/ 3 April 2013
Ibnu Katsir menceritakan di dalam Al-Bidayah wan Nihayah bahwa pada tahun 28H/ 649M, kaum Muslimin di wilayah Sham (wilayah yang mencakup Suriah, Yordania, Palestina, dan Lebanon) melakukan pelayaran jihad yang pertama. Sebelumnya peperangan dan jihad menghadapi Byzantium, ataupun Persia, hanya berlangsung di daratan. Tapi kali ini mereka menyeberangi Laut Tengah (Mediterrania) untuk merebut Pulau Cyprus dari kekuasaan Byzantium.
Kaum Muslimin tidak sampai menaklukkan pulau itu, tetapi mereka mendapatkan banyak pampasan dan tawanan perang dalam pertempuran tersebut. Selepas itu, mereka pun kembali ke negeri Sham.
Saat melihat para tawanan dari pulau Cyprus didatangkan, Abu Darda’ ra, seorang sahabat Nabi saw., menangis. Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa anda menangis padahal pada hari ini Allah telah menjayakan Islam dan kaum Muslimin?”
Abu Darda’ kemudian menjawab, “Bagaimana kamu ini, tadinya mereka adalah ummat yang dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain. Di saat mereka tidak menghiraukan perintah Allah, Allah mengubah posisi mereka menjadi seperti yang kamu lihat sendiri. Mereka menjadi tawanan. Jika suatu kaum telah menjadi tawanan, maka Allah tidak lagi mempedulikan mereka.”
Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Sungguh Allah SWT sangat menghinakan hamba yang meninggalkan perintah-Nya.”
Tidakkah kita merasa takjub dengan tangisan Abu Darda’? Kaum Muslimin ketika itu sedang tampil ke muka dan mulai menjadi pemimpin peradaban. Mereka menjadi ummat yang unggul dan menang menghadapi lawan-lawannya. Tapi saat melihat apa yang terjadi pada musuh yang telah menjadi tawanan, beliau melakukan refleksi dan menangis. Mereka dulunya ummat yang kuat, tetapi telah menjadi pihak yang kalah dan tertawan. Apa sebabnya? Karena mereka menjauh dari Tuhannya dan meninggalkan perintah-Nya.
Bagaimana dengan kita? Perlukah kita menangis juga seperti Abu Darda’? Bukannya mudah menjawab pertanyaan ini. Karena sekarang ini, kitalah sebenarnya ummat yang berada dalam posisi ditangisi.
Kuala Lumpur,
22 Jumadil Awwal 1434/ 3 April 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)