Wednesday, September 21, 2011

Ulang Tahun


Ulang Tahun
Alwi Alatas

Kalau kita hendak merayakan ulang tahun, maka tanyalah kepada diri sendiri, “Seberapa besar manfaat yang sudah kita berikan kepada masyarakat sehingga hari lahir kita perlu dirayakan?” Kalau manfaat yang kita berikan cukup besar, maka cukuplah kita mengetahui bahwa Allah tak akan mengabaikan itu semua.



Tanggal kelahiran bukanlah sesuatu yang penting untuk dirayakan. Karena ia hanyalah bagian dari waktu yang akan berlalu meninggalkan kita. Kita seharusnya bukan merayakan, tetapi melakukan refleksi serta perenungan sudah sejauh mana kita mengisi hari-hari yang berlalu dengan kebaikan.

Tapi kadang orang-orang yang dekat dengan kita merasa senang jika hari kelahirannya diingat. Istri dan orang tua kita merasa tersanjung jika kita mengingat hari kelahirannya serta mendoakannya. Dan mungkin mereka akan sedikit kecewa jika kita sama sekali lupa tentang hal itu.

Apakah Anda pernah lupa dengan tanggal kelahiran istri? Saya pernah mengalaminya. Pernah pada suatu hari istri saya berkali-kali bertanya dan memberikan isyarat, “Sekarang hari apa ya? Ini hari apa?”

Setiap kali ditanya, saya selalu menyebutkan tanggal hari itu, tanpa menyadari apa yang diharapkan oleh istri saya. Saya sama sekali tidak menangkap isyaratnya. Saya hanya menjawabnya secara sambil lalu, sambil terus sibuk dengan aktivitas yang lain.

Pada kesempatan yang lain, masih pada hari yang sama, ia kembali bertanya, “Hari ini tanggal berapa? Ada apa ya hari ini?” Saya pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tapi pada saat yang sama mulai merasa heran, dan sedikit kesal. Mengapa ia selalu mengulang pertanyaan yang sama?

Pada malam harinya, ia kembali bertanya, “Sekarang tanggal berapa? Ini hari apa?”

Saya mulai kehilangan kesabaran dan menjadi agak marah. “Mengapa dari tadi terus menanyakan pertanyaan yang sama? Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih penting?” saya menjawab dengan kesal. “Saya kan sudah memberi jawaban berkali-kali. Mengapa harus menanyakannya lagi?”

Istri saya tidak bertanya lagi. Dan saya juga melupakan hal itu. Saya tetap tidak ingat ada apa hari itu.

Hampir satu bulan kemudian, ketika sedang berbincang tentang ulang tahun, istri saya berkata dengan nada protes, “Kamu lupa dengan tanggal lahir saya.”

“Loh, kita kan sudah sepakat untuk tidak merayakan dan tidak menganggap penting hari ulang tahun,” saya membela diri.

“Tapi kan tidak ada salahnya sekedar mengingat hari lahir,” kata istri saya.

Kini saya berusaha mengingat-ingat tanggal lahirnya. Apakah saya memang melupakan tanggal lahirnya? Tanggal berapa ulang tahunnya? Oh, beberapa minggu yang lalu dan saya sama sekali tidak ingat. Saya nyengir dan sedikit merasa bersalah. “Maaf ya, saya benar-benar lupa.”

“Padahal saya sudah berusaha mengingatkannya berkali-kali,” istri saya masih protes, “tapi masih tak ingat juga.”

“Sudah diingatkan berkali-kali?”

”Kan hari itu saya bertanya beberapa kali, ’Ini hari apa? Sekarang tanggal berapa?’ Eh, malah saya kena marah.”

“Allahu Akbar,” saya kini ingat dengan hari itu. ”Jadi rupanya ....”

“Makanya, jangan marah-marah saja.”

“Aduh, maafkan saya ya, Sayang,” saya meminta maaf sambil tersenyum. “Saya benar-benar tidak ingat. Bahkan saya sendiri sebenarnya tidak memperhatikan hari lahir saya sendiri (yang kebetulan berdekatan dengan tanggal lahir istri). Kalau bukan karena ada orang-orang yang mengingatkan dan mendoakan pada hari itu, saya tentu sama sekali tidak ingat.”

“Saya ini benar-benar pelupa,” kata saya lagi sambil menepuk kepala sendiri.

“Memang, dasar pelupa,” kata istri saya.

“Keterlaluan sekali.” Sambil mengingat itu semua, saya tersenyum dan tertawa perlahan.

“Mengapa tertawa?” tanya istri saya.

“Saya jadi ingat berita yang saya baca baru-baru ini.”

“Berita apa?” ia bertanya penasaran.

“Belum lama ini ada seorang perempuan di Rusia yang membunuh suaminya karena suaminya lupa dengan ulang tahunnya. Istrinya sudah berkali-kali memberi isyarat dan berusaha mengingatkan, persis seperti yang kamu lakukan, tapi suaminya tak ingat juga. Lalu ia mengambil pisau dapur dan menusuk suaminya sampai mati dan setelah itu menyerahkan diri kepada polisi,” saya menjelaskan sambil tertawa. “Untunglah istri saya tak seperti itu.”

Istri saya merasa takjub. “Perempuan itu membunuh suaminya hanya karena lupa hari lahirnya? Kisah ini benar-benar terjadi?”

Saya menganggukkan kepala dan tersenyum.

“Keterlaluan sekali,” istri saya menggeleng-gelengkan kepalanya.

”Begitulah kalau manusia tak ada iman,” ujar saya. “Selamat ulang tahun ... walaupun sudah terlambat. Mudah-mudahan memiliki umur yang berkah.”

Istri saya tersenyum dan kisahnya berakhir dengan happy ending. Alhamdulillah.

Untuk teman-teman yang sedang mengenang hari lahirnya, kami doakan mudah-mudahan dipanjangkan umurnya dan dimudahkan dalam mengisi hari-harinya dengan berbagai kebaikan. Tapi jangan sampai ulang tahun membuat kita lalai dan berbangga diri. Jadikanlah ia sebagai kesempatan untuk mengevaluasi diri.

Pada akhirnya, kalau ada yang mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lahir maka pikirkanlah baik-baik, apakah umur kita memang berisi keselamatan. Renungkanlah dengan baik, apakah cara kita mengisi usia dapat membawa kita pada keselamatan? Kalau tidak, maka tidak ada selamat dan keselamatan pada hari itu. Semoga kita dijauhkan dari hal semacam ini.

Jakarta,
22 Shawal 1432/ 20 September 2011

1 comment:

Anonymous said...

Terima kasih..saat ini saya sedang sedih karena suami lupa ultah saya..tapi dia memang selalu begitu. ultahnya sendiri saja dia tidak suka jika kita ingatkan..tapi apa salahnya mengingat itu? sebenarnya perhatian lah yg sangat saya harapkan dari suami..