Monday, September 19, 2011

Tubuhmu bukan Milikmu

Tubuhmu bukan Milikmu

Alwi Alatas

Apa yang tak pernah didapatkan dengan usaha kita sendiri dan tak dapat dipertahankan selama yang kita kehendaki maka ia bukanlah milik kita


Beberapa tahun yang lalu, di sekolah tempat saya mengajar sempat terjadi diskusi antara guru laki-laki dan perempuan. Temanya sama seperti yang sedang hangat belakangan ini di Indonesia: tentang pakaian dan tubuh perempuan.

Guru laki-laki mengeluh tentang semakin banyaknya perempuan yang berpakaian minim di jalan raya dan di tempat-tempat umum. “Tidak semestinya perempuan berpakaian seperti itu.” “Itulah sebabnya banyak terjadi pemerkosaan dan kejahatan seksual, karena perempuan tidak mau menjaga pakaiannya.”

Guru-guru perempuan membantah hal itu. “Itu salah laki-laki, mengapa mereka berpikiran kotor.” “Mengapa laki-laki harus complain dengan cara berpakaian perempuan? Itu tubuh mereka sendiri, terserah kepada mereka mau mengenakan pakaian seperti apa.” Begitu antara lain pendapat kalangan perempuan.

Maka terjadilah perdebatan selama beberapa menit berikutnya. Sebagian guru laki-laki kemudian menjelaskan, “Sebagian yang kalian katakan memang benar, bahwa dalam kasus kejahatan seksual, pihak lelaki jelas salah. Karena mereka sama sekali tidak berhak melakukan hal semacam itu, walaupun ada perempuan yang tak berpakaian di depan mereka.”

“Nah, betul kan,” kata yang perempuan.

”Tapi kaum perempuan juga perlu membantu laki-laki ...,” lanjut guru laki-laki. ”Kami ini juga perlu dibantu oleh kaum wanita dengan berpakaian yang sopan. Sebab laki-laki lebih mudah terpancing dan tergoda secara seksual saat melihat perempuan yang berpakaian tidak sopan. Itu merupakan hal yang normal bagi laki-laki. Kalau mereka melihat perempuan dengan pakaian yang terbuka, kepala mereka akan menjadi ’pening’ karenanya.”

”Oh, begitu?” guru-guru perempuan rupanya baru menyadari hal itu setelah adanya pengakuan yang jujur dari pihak laki-laki. Mereka semua jadi tersenyum. Tapi ada sesuatu yang positif di sana, yaitu mulai adanya saling pemahaman di antara kedua belah pihak.

Memang begitulah kenyataannya. Kaum laki-laki cenderung lebih kuat hasrat dan syahwatnya saat melihat lawan jenisnya yang berpakaian minim, dibandingkan kaum perempuan melihat lawan jenisnya yang berpakaian minim juga. Secara umum dapat dikatakan, perempuan tidak akan terlalu terangsang saat melihat laki-laki yang berpakaian minim. Memang kalau pria yang berpakaian minim itu sangat ganteng (kacak) dan bertubuh atletis, mungkin perempuan akan berpikiran macam-macam dan muncul hasratnya. Tapi kalau laki-lakinya berwajah biasa saja dan tubuhnya agak gendut, maka perasaan yang muncul mungkin berbeda: ganjil, merasa geli (lucu), atau malah agak jijik.

Kasusnya berbeda dengan laki-laki. Secara umum laki-laki akan merasa tergoda dan terangsang saat melihat perempuan yang berpakaian minim dan menunjukkan lekuk tubuhnya. Itu merupakan hal yang normal pada diri mereka. Ini bukan sebuah alasan yang dibuat-buat atau excuse dari kaum lelaki. Tapi laki-laki memang diciptakan seperti itu dan memiliki kecenderungan dan perasaan yang seperti itu.

Kalau Anda masih meragukan hal ini, cobalah buat survey kecil di tempat-tempat umum. Perhatikan mana yang lebih sering terjadi di antara dua hal ini: laki-laki yang menatap dan melirik perempuan yang menarik atau perempuan yang melirik laki-laki yang menarik. Ambillah sebuah contoh yang agak ekstrim (jangan dipraktekkan). Anggaplah ada seorang laki-laki yang sangat handsome berjalan telanjang bulat di sebuah mall yang ramai. Apa kira-kira reaksi perempuan yang melihatnya? Apakah semua akan menatap laki-laki itu dan menjadi terangsang karenanya? Atau sebagian akan merasa aneh dan geleng-geleng kepala? Atau mungkin ada juga yang tertawa dan merasa itu lucu dan ganjil? Mungkin ada juga yang merasa kesal dan segera menghindar? Coba tanyakan ke kalangan perempuan. Saya yakin banyak juga perempuan yang tidak terpancing syahwatnya karena hal itu. Halnya akan menjadi lain bagi laki-laki.

Coba bayangkan ini: ada seorang perempuan cantik berjalan telanjang di tengah keramaian sebuah mall. Seperti apa reaksi laki-laki yang melihatnya? Rasanya kita semua akan sepakat dengan jawabannya. Semua lelaki normal yang melihatnya akan terpancing syahwatnya. Semuanya, tanpa kecuali, dengan syarat ia lelaki yang normal. Hanya saja, ada di antara mereka yang mampu menahan syahwatnya, menghindarinya, dan melupakan hal itu. Tapi ada (banyak) juga yang tak mampu mengawal hasratnya.

Itu merupakan sesuatu yang built in pada diri laki-laki. Mereka memang diciptakan seperti itu.

Tetap saja laki-laki tidak boleh melakukan kejahatan seksual pada perempuan disebabkan hal itu. Itu betul! Mengganggu perempuan secara seksual merupakan kejahatan. Itu merupakan zina dan dosa dalam pandangan Islam. Lelaki harus menahan diri dari perbuatan yang semacam ini dan mereka yang melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan harus dihukum. Tapi kaum perempuan juga diharapkan memahami hal ini dan membantu dengan berpakaian yang sopan dan menutup aurat.

Janganlah bersikap tidak perduli dan tetap bersikukuh mengenakan pakaian minim di tempat-tempat umum. Hilangkan ego dalam hal ini. Jika ada perempuan, ataupun laki-laki, yang hendak telanjang dan berpakaian seksi di tengah hutan atau di dalam ruangan tertutup, maka itu terpulang pada mereka sendiri. Tapi jika mereka melakukannya di tempat-tempat umum, maka ada banyak mata yang akan melihat dan sulit untuk menghindarinya. Hal semacam itu sangat mempengaruhi dan mengganggu kaum lelaki, terutama mereka yang berusaha untuk menjaga diri dari hal-hal semacam itu. Believe me, it’s disturbing! Kalaupun ada laki-laki yang tidak merasa terganggu dan mereka justru menikmati hal semacam itu, maka itu bukan berarti syahwatnya tidak terpengaruh. Hanya saja ia tidak tahu atau tidak perduli bahwa hal itu merupakan dosa.

Sebagian perempuan ada yang berkata kepada kaum lelaki, “Urus saja sendiri mata dan pikiranmu, jangan ikut campur dengan pakaian kami.” Perkataan ini tidak tepat. Karena kalau seperti itu, para perokok juga nantinya akan berkata, “Urus saja sendiri hidung dan paru-parumu, jangan ikut campur dengan apa yang saya letakkan di mulut saya, ini merupakan hak saya.” Atau nanti ada yang memasang musik dengan suara sangat keras sehingga mengganggu tetangganya. Lalu dia berkata, “Saya berhak mendengar apa yang saya mau, jangan campuri urusan saya, urus saja sendiri telinga Anda.”

Apakah argumen-argumen seperti ini bisa diterima? Apakah Anda bisa menerimanya? Anda mungkin merasa berhak mendengarkan sesuatu, menghisap rokok, atau berpakaian apa saja. Tapi ketika Anda melakukannya di tempat umum, maka ada banyak orang lain yang terlibat di sana. Hak-hak mereka juga harus dihargai. Bukankah begitu?

Sebagian perempuan ada yang masih protes, “Ini tubuh saya, milik saya, saya berhak melakukan apa saja dengannya.” Ini juga perkataan yang tidak tepat. Cobalah jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah kita pernah membeli atau berusaha untuk mendapatkan tubuh kita ini? Apakah kita pernah membuat pilihan untuk mendapatkan tubuh kita yang sekarang ini? Kalau kita memang memilikinya, apakah kita bisa menukarnya dengan tubuh lain yang lebih kita sukai untuk kita miliki? Selain itu, apakah kita bisa menentukan berapa lama kita akan memiliki tubuh ini? Apakah kita bisa mempertahankan tubuh kita saat kematian datang? Kalau kita tidak mampu menentukan pilihan saat mendapatkannya dan kita tidak mampu mempertahankannya sesuai keinginan kita, maka bagaimana mungkin ia merupakan milik kita?

Tubuh ini bukan milik kita. Ia hanya dipinjamkan kepada kita. Maka pergunakanlah itu dengan sebaik-baiknya. Syukurilah ia dengan menggunakan pakaian yang baik dan menutup aurat. Kalau kita menjaga diri, insya Allah kita pun akan lebih terlindungi dari gangguan orang lain.

Demikian pula kaum lelaki. Gunakan mata dan pikiran untuk hal yang baik, bukan untuk melihat dan memikirkan hal-hal yang dilarang. Kalau tubuh Anda kuat dan syahwat Anda besar, bukan berarti Anda boleh menerjang hal yang diharamkan. Seperti dikatakan dalam sebuah buku (Randy Pausch, The Last Lecture), “Hanya karena kau duduk di kursi pengemudi, tidak berarti kau harus menabrak orang.”

Jakarta,
21 Shawal 1432/ 19 September 2011

No comments: