Saat membaca tulisan Shaikh Abdullah Nasih Ulwan tentang Shalahuddin, tiba-tiba berjumpa dengan sebait puisi Mutanabi.
Ujian selalu datang pada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menanggungnya
Sebagaimana kualitas yang baik didapati pada orang-orang yang mulia
Perkara yang kecil mungkin tampak besar di mata orang kecil
Sebagaimana perkara yang besar tampak kecil di mata orang besar
Allah memang memberikan ujian kepada manusia sesuai dengan kemampuannya. Orang kecil hanya akan mendapatkan masalah yang kecil. Masalah yang besar tidak akan datang melainkan kepada orang yang besar. Mengapa begitu? Karena saat mendapat masalah kecil, orang kecil pun masih sering mengeluh dan menganggap masalahnya terlalu besar. Bagaimana lagi kalau diberi masalah yang besar.
Sementara orang besar mampu menghadapi masalah yang berat dengan senyuman. Karena buat mereka tidak ada masalah atau ujian yang benar-benar besar, selama mereka bersama Yang Maha Besar.
Mau jadi orang besar? Belajarlah untuk tidak membesar-besarkan masalah. :)
Alwi Alatas
KL, 29 Maret 2013
Thursday, March 28, 2013
Monday, March 25, 2013
Cara Mensyukuri Musibah Menurut Ibnu Umar
Bagaimana cara melihat karunia dan nikmat di balik musibah dan ujian? Ada sebuah nasihat yang baik dari Ibnu Umar ra. Ibnu Umar r.a. pernah berkata, “Setiap kali saya terkena musibah, saya melihat empat karunia Allah di dalamnya: (1) musibah itu tidak mengenai agama saya, (2) saya tidak mengalami musibah yang lebih besar (daripada ini), (3) saya tidak gagal untuk kekal gembira dengan kehendak Allah, (4) saya mengharapkan ganjaran atas musibah tersebut.”
Marilah kita lihat satu persatu karunia yang disebutkan oleh Ibnu Umar tersebut. Tapi sebelum itu, kita ambil contoh sebuah musibah. Misalnya saja kita terkena penyakit yang cukup serius, sehingga terpaksa dibawa ke rumah sakit dan mengeluarkan uang sebesar 30 juta rupiah (10 ribu ringgit) untuk biaya pengobatan. Ini adalah sebuah musibah yang berat. Mari kita perhatikan karunia yang ada di balik musibah itu, atau kita bisa menyebutnya juga “emas” yang terdapat di balik “batu”.
1. Musibah itu tidak mengenai agama kita
Nikmat yang pertama adalah musibah itu tidak memberikan pengaruh pada agama kita. Maksudnya, musibah itu hanya mengenai tubuh dan harta kita, yaitu tubuh kita terkena penyakit dan kita harus mengeluarkan banyak uang untuk menyembuhkannya. Tetapi musibah itu tidak mengenai agama kita, tidak memberi dampak buruk pada iman kita.
Coba bayangkan kalau yang terkena musibah adalah hati kita, sehingga hati itu berpenyakit dan menjauhkan kita dari Allah. Atau mungkin musibah itu berupa dosa besar yang membuat hati kita akhirnya menjadi keras dan mungkin mendorong kita menjadi murtad. Ini adalah musibah yang berkenaan dengan agama, dan ini sangat serius. Kalau badan yang sakit maka dampaknya hanya di dunia, tapi kalau agama yang rusak maka dampaknya terbawa sampai ke akhirat. Kerugiannya jauh lebih besar.
Kalau kita kehilangan sesuatu yang lebih kecil nilainya, tetapi yang jauh lebih besar nilainya tetap aman, kita tentu tidak akan mengeluh. Kita justru akan bersyukur. Ambillah sebuah contoh. Ada sebuah rumah yang dimasuki perampok dan diambil banyak harta benda di dalamnya. Saat kejadian, pemilik rumah sedang berada di luar rumah dan di dalam rumah itu hanya ada anaknya yang masih kecil dan seorang pembantu. Saat mendengar kejadian itu, suami istri pemilik rumah tentu merasa sangat khawatir terhadap keadaan anaknya, karena banyak kejadian yang buruk terhadap anak-anak kecil belakangan ini. Tapi saat kembali ke rumah (perampoknya sudah meninggalkan tempat itu), mereka mendapati banyak harta yang dicuri, tetapi anak mereka selamat. Bagaimana kira-kira perasaan suami istri itu? Mereka tentu akan bersyukur. Ya, mereka bersyukur karena anak mereka selamat. Biarlah harta benda hilang, asalkan anak mereka yang jauh lebih bernilai buat mereka tetap selamat.
Musibah yang sering kita alami itu seperti harta yang hilang, dan agama kita ibarat anak yang selamat pada kisah di atas, bahkan sebenarnya ia jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan anak yang selamat itu.
Jadi tak mengapa kalau hanya tubuh, emosi, atau harta kita yang terkena musibah. Bahkan bersyukurlah karena musibah itu tidak mengenai agama kita.
2. Kita tidak mengalami musibah yang lebih besar lagi
Ini kurnia yang lain lagi. Tubuh kita memang terkena penyakit serius. Tapi kita tidak terkena penyakit yang lebih berat lagi. Sebenarnya mungkin saja kita terkena penyakit yang lebih berat, dan ada banyak orang yang terkena sakit yang sebih berat dari kita.
Begitu juga dengan harta yang keluar. Kita terpaksa membayar 30 juta rupiah untuk biaya pengobatan. Sebenarnya kalau kita terkena penyakit yang lebih berat, kita tentu harus membayar lebih mahal lagi. Kita semestinya bersyukur atas kenyataan ini.
Jika kita masih memiliki uang lebih selepas itu, maka ini juga perlu disyukuri. Memang uang yang keluar banyak, tetapi masih ada kelebihan uang. Bagaimana kalau uang yang mesti dibayar ternyata tidak cukup, sehingga kita terpaksa berhutang?
Kalau terpaksa berhutang dan ada orang yang mau meminjamkan pun masih baik. Macam mana kalau tak ada orang yang mau meminjamkan?
Banyak kemungkinan yang lebih buruk dapat terjadi, tetapi kenyataannya tidak. Ini adalah sebuah nikmat. Karena itu bersyukurlah.
Dalam buku Bersyukurlah Kerana-Nya kami tuliskan sebuah kisah tentang dua orang sahabat. Salah seorang dari kedua orang itu ditangkap dan ditahan karena suatu sebab. Selama berada di dalam tahanan, ia selalu dipukul oleh petugas penjara. Tetapi setiap kali ia menceritakan penderitaannya kepada sahabatnya, sahabatnya selalu menasihatinya agar bersyukur.
Begitu yang selalu terjadi, sehingga suatu hari ada seorang majusi yang dimasukkan ke dalam tahanan yang sama dengannya. Kakinya dan kaki orang majusi itu diikat dengan rantai yang sama, sehingga mereka harus selalu bersama-sama, tidak bisa duduk berjauhan. Penderitaannya menjadi semakin besar disebabkan orang majusi ini mengalami sakit perut sehingga terpaksa bolak-balik ke salah satu bagian tahanan untuk buang air. Sepanjang malam, orang majusi itu berkali-kali terbangun untuk buang air dan ia terpaksa bangun juga untuk mengikutinya disebabkan rantai yang mengikat kaki keduanya. Ini sungguh menyiksa sekali.
Ketika ia menceritakan hal itu pada sahabatnya, sahabatnya itu tetap menasihatinya untuk bersyukur. Maka ia pun menjadi sangat marah kepada sahabatnya itu. “Sampai kapan saya harus bersyukur?” katanya kesal. “Apakah ada musibah yang lebih besar dari ini?”
Ia merasa sudah berada di puncak musibah dan penderitaan. Karena itulah ia menganggap nasihat temannya itu berlebihan dan keterlaluan. Tetapi temannya itu membalas suratnya dengan kata-kata berikut, “Kalau tali pinggang orang majusi itu diikat juga ke pinggangmu, sebagaimana rantai di kakimu, apa yang akan kamu lakukan?”
Anda memahaminya? Sekarang ini hanya kaki yang diikat dengan satu rantai, sehingga setiap kali orang majusi itu bangun untuk buang air ia pun terpaksa bangun juga. Bagaimana kalau pinggangnya diikat jadi satu dengan pinggang orang majusi itu, sehingga badannya akan terus menerus melekat dengan tubuh si orang majusi tadi saat bangun dan juga di saat tidur. Dapatkah anda membayangkan penderitaannya? Tapi ternyata ia tidak mengalami yang seperti itu. Dan itu adalah sebuah alasan untuk bersyukur.
3. Musibah tidak menghalangi kebahagiaan
Karena selalu ada alasan untuk bersyukur sebagaimana disebutkan pada poin-poin sebelumnya, maka seorang tetap mampu bergembira saat mendapatkan musibah dan ujian. Kemampuan seorang manusia untuk memilih tersenyum di saat mendapatkan hal yang berat dan menyusahkan juga merupakan suatu karunia.
Walaupun biasanya orang bersedih saat ditimpa musibah, tetapi hal ini bukan sebuah keniscayaan. Ia bukan sesuatu yang mesti berlaku. Allah memberi kemampuan pada manusia untuk memilih respons terhadap apa yang dialaminya. Manusia diberi kemampuan untuk tersenyum dan bersyukur di tengah musibah. Kemampuan ini adalah sebuah karunia. Sayangnya banyak manusia yang tidak mau menggunakannya dan lebih suka untuk mengeluh dan meratapi musibah.
Musibah apa pun akan menjadi ringan selama seseorang tidak gagal untuk menemukan kebahagiaan di dalamnya. Pencuri boleh merampas harta benda kita, musibah boleh menghilangkan uang atau rumah kita, tetapi semua itu tak semestinya merengut kebahagiaan kita. Karena kebahagiaan itu ada di dalam hati dan tak ada orang yang dapat merampasnya selama kita tidak mengijinkannya.
Allah memberikan manusia kemampuan untuk memilih, termasuk memilih perasaannya sendiri. Ini adalah sebuah nikmat yang besar. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.
4. Musibah menawarkan ganjaran
Kepada orang-orang yang beriman, Allah menjanjikan ganjaran di balik musibah. Bahkan musibah itu dapat digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Janji Allah itu benar. Kalau begitu mengapa kita mesti risau dan galau saat mendapat musibah. Kalau di balik kesusahan itu ada kebaikan yang menunggu, walaupun hal itu belum tampak, tidakkah kita akan bersyukur?
Kalau kita mendapat musibah berupa kehilangan uang, tapi nantinya yang hilang itu akan digantikan dengan sejumlah uang yang lebih besar atau digantikan dengan sesuatu yang lebih baik dibandingkan musibah yang kita alami, apakah kita akan marah atau sebaliknya kita malah bersyukur?
Anggaplah misalnya kita punya sebuah mobil (Malaysia: kereta) yang berukuran kecil, mungkin sebuah mobil Suzuki model lama. Lalu terjadi kecelakaan dan mobil itu hancur, tak dapat diperbaiki dan dikendarai lagi. Kita mungkin merasa kesal dan marah. Punya mobil hanya satu, sekarang rusak pula. Terpaksa kita pergi ke mana-mana naik bus. Tapi beberapa waktu kemudian kita bisa membeli sebuah mobil lain yang lebih bagus dan lebih mahal. Artinya mobil kita yang jelek dan murah diganti oleh Allah dengan mobil yang bagus dan lebih mahal harganya. Apakah sekarang kita masih marah? Atau kita akan bersyukur?
Allah sudah berjanji kepada orang-orang beriman bahwa musibah yang mereka alami akan diberi ganjaran dan akan diganti dengan yang lebih baik kalau mereka bersabar dan memohon pada Allah ganti yang lebih baik. Ini adalah sebuah karunia. Bukankah seharusnya kita bersyukur?
Selain empat hal yang disebutkan Ibnu Umar ra. Di atas, Imam Ghazali memberikan satu hingga dua tambahan di dalam bukunya Minhajul Abidin, yaitu:
5. Musibah itu tidak berterusan dan musibah itu datang dari Allah
Ini juga nikmat di balik musibah. Kebanyakan musibah yang kita alami biasanya hanya terjadi satu kali saja, bukannya terus menerus terjadi. Kalaupun ia terjadi lagi biasanya setelah waktu yang lama.
Tak ada orang yang setiap hari kehilangan uang. Tak ada orang yang setiap hari kena rampok. Tidak ada orang yang setiap hari mengalami kecelakaan di jalan raya. Tak ada orang yang setiap hari mengalami kegagalan. Bahkan orang yang merasa dirinya paling sial pun tidak mengalami hal yang semacam ini. Hal ini tentu saja harus disyukuri.
Mungkin ada orang yang kena penyakit berat sehingga sakitnya itu berpanjangan dan menyebabkan ia berulang kali masuk rumah sakit. Bahkan penyakitnya itu mungkin akan membawanya pada kematian. Ini memang musibah yang berat. Tapi bukannya semua musibah yang kita alami seperti ini.
Selain itu, janganlah kita lupa bahwa semua yang kita alami, termasuk musibah, datangnya dari Allah. Tak mungkin Allah bermaksud mencelakakan atau menyusahkan hambanya yang beriman. Di balik musibah itu tentu ada manfaat dan kebaikan yang besar.
Jadi sebenarnya ada banyak alasan untuk bersyukur, termasuk saat kita mengalami musibah dan kesusahan. Ada banyak karunia di balik musibah. Saat melihat karunia-karunia itu, tentu kita akan merasa bersyukur dan lisan kita pun mengucap alhamdulillah.
Betapa bahagianya orang yang mengalami musibah, tetapi yang tampak oleh matanya justru karunia dan nikmat, bukan musibah yang menyusahkan.
Alwi Alatas,
Kuala Lumpur
13 Jumadil Awwal 1434/ 25 Maret 2013
Marilah kita lihat satu persatu karunia yang disebutkan oleh Ibnu Umar tersebut. Tapi sebelum itu, kita ambil contoh sebuah musibah. Misalnya saja kita terkena penyakit yang cukup serius, sehingga terpaksa dibawa ke rumah sakit dan mengeluarkan uang sebesar 30 juta rupiah (10 ribu ringgit) untuk biaya pengobatan. Ini adalah sebuah musibah yang berat. Mari kita perhatikan karunia yang ada di balik musibah itu, atau kita bisa menyebutnya juga “emas” yang terdapat di balik “batu”.
1. Musibah itu tidak mengenai agama kita
Nikmat yang pertama adalah musibah itu tidak memberikan pengaruh pada agama kita. Maksudnya, musibah itu hanya mengenai tubuh dan harta kita, yaitu tubuh kita terkena penyakit dan kita harus mengeluarkan banyak uang untuk menyembuhkannya. Tetapi musibah itu tidak mengenai agama kita, tidak memberi dampak buruk pada iman kita.
Coba bayangkan kalau yang terkena musibah adalah hati kita, sehingga hati itu berpenyakit dan menjauhkan kita dari Allah. Atau mungkin musibah itu berupa dosa besar yang membuat hati kita akhirnya menjadi keras dan mungkin mendorong kita menjadi murtad. Ini adalah musibah yang berkenaan dengan agama, dan ini sangat serius. Kalau badan yang sakit maka dampaknya hanya di dunia, tapi kalau agama yang rusak maka dampaknya terbawa sampai ke akhirat. Kerugiannya jauh lebih besar.
Kalau kita kehilangan sesuatu yang lebih kecil nilainya, tetapi yang jauh lebih besar nilainya tetap aman, kita tentu tidak akan mengeluh. Kita justru akan bersyukur. Ambillah sebuah contoh. Ada sebuah rumah yang dimasuki perampok dan diambil banyak harta benda di dalamnya. Saat kejadian, pemilik rumah sedang berada di luar rumah dan di dalam rumah itu hanya ada anaknya yang masih kecil dan seorang pembantu. Saat mendengar kejadian itu, suami istri pemilik rumah tentu merasa sangat khawatir terhadap keadaan anaknya, karena banyak kejadian yang buruk terhadap anak-anak kecil belakangan ini. Tapi saat kembali ke rumah (perampoknya sudah meninggalkan tempat itu), mereka mendapati banyak harta yang dicuri, tetapi anak mereka selamat. Bagaimana kira-kira perasaan suami istri itu? Mereka tentu akan bersyukur. Ya, mereka bersyukur karena anak mereka selamat. Biarlah harta benda hilang, asalkan anak mereka yang jauh lebih bernilai buat mereka tetap selamat.
Musibah yang sering kita alami itu seperti harta yang hilang, dan agama kita ibarat anak yang selamat pada kisah di atas, bahkan sebenarnya ia jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan anak yang selamat itu.
Jadi tak mengapa kalau hanya tubuh, emosi, atau harta kita yang terkena musibah. Bahkan bersyukurlah karena musibah itu tidak mengenai agama kita.
2. Kita tidak mengalami musibah yang lebih besar lagi
Ini kurnia yang lain lagi. Tubuh kita memang terkena penyakit serius. Tapi kita tidak terkena penyakit yang lebih berat lagi. Sebenarnya mungkin saja kita terkena penyakit yang lebih berat, dan ada banyak orang yang terkena sakit yang sebih berat dari kita.
Begitu juga dengan harta yang keluar. Kita terpaksa membayar 30 juta rupiah untuk biaya pengobatan. Sebenarnya kalau kita terkena penyakit yang lebih berat, kita tentu harus membayar lebih mahal lagi. Kita semestinya bersyukur atas kenyataan ini.
Jika kita masih memiliki uang lebih selepas itu, maka ini juga perlu disyukuri. Memang uang yang keluar banyak, tetapi masih ada kelebihan uang. Bagaimana kalau uang yang mesti dibayar ternyata tidak cukup, sehingga kita terpaksa berhutang?
Kalau terpaksa berhutang dan ada orang yang mau meminjamkan pun masih baik. Macam mana kalau tak ada orang yang mau meminjamkan?
Banyak kemungkinan yang lebih buruk dapat terjadi, tetapi kenyataannya tidak. Ini adalah sebuah nikmat. Karena itu bersyukurlah.
Dalam buku Bersyukurlah Kerana-Nya kami tuliskan sebuah kisah tentang dua orang sahabat. Salah seorang dari kedua orang itu ditangkap dan ditahan karena suatu sebab. Selama berada di dalam tahanan, ia selalu dipukul oleh petugas penjara. Tetapi setiap kali ia menceritakan penderitaannya kepada sahabatnya, sahabatnya selalu menasihatinya agar bersyukur.
Begitu yang selalu terjadi, sehingga suatu hari ada seorang majusi yang dimasukkan ke dalam tahanan yang sama dengannya. Kakinya dan kaki orang majusi itu diikat dengan rantai yang sama, sehingga mereka harus selalu bersama-sama, tidak bisa duduk berjauhan. Penderitaannya menjadi semakin besar disebabkan orang majusi ini mengalami sakit perut sehingga terpaksa bolak-balik ke salah satu bagian tahanan untuk buang air. Sepanjang malam, orang majusi itu berkali-kali terbangun untuk buang air dan ia terpaksa bangun juga untuk mengikutinya disebabkan rantai yang mengikat kaki keduanya. Ini sungguh menyiksa sekali.
Ketika ia menceritakan hal itu pada sahabatnya, sahabatnya itu tetap menasihatinya untuk bersyukur. Maka ia pun menjadi sangat marah kepada sahabatnya itu. “Sampai kapan saya harus bersyukur?” katanya kesal. “Apakah ada musibah yang lebih besar dari ini?”
Ia merasa sudah berada di puncak musibah dan penderitaan. Karena itulah ia menganggap nasihat temannya itu berlebihan dan keterlaluan. Tetapi temannya itu membalas suratnya dengan kata-kata berikut, “Kalau tali pinggang orang majusi itu diikat juga ke pinggangmu, sebagaimana rantai di kakimu, apa yang akan kamu lakukan?”
Anda memahaminya? Sekarang ini hanya kaki yang diikat dengan satu rantai, sehingga setiap kali orang majusi itu bangun untuk buang air ia pun terpaksa bangun juga. Bagaimana kalau pinggangnya diikat jadi satu dengan pinggang orang majusi itu, sehingga badannya akan terus menerus melekat dengan tubuh si orang majusi tadi saat bangun dan juga di saat tidur. Dapatkah anda membayangkan penderitaannya? Tapi ternyata ia tidak mengalami yang seperti itu. Dan itu adalah sebuah alasan untuk bersyukur.
3. Musibah tidak menghalangi kebahagiaan
Karena selalu ada alasan untuk bersyukur sebagaimana disebutkan pada poin-poin sebelumnya, maka seorang tetap mampu bergembira saat mendapatkan musibah dan ujian. Kemampuan seorang manusia untuk memilih tersenyum di saat mendapatkan hal yang berat dan menyusahkan juga merupakan suatu karunia.
Walaupun biasanya orang bersedih saat ditimpa musibah, tetapi hal ini bukan sebuah keniscayaan. Ia bukan sesuatu yang mesti berlaku. Allah memberi kemampuan pada manusia untuk memilih respons terhadap apa yang dialaminya. Manusia diberi kemampuan untuk tersenyum dan bersyukur di tengah musibah. Kemampuan ini adalah sebuah karunia. Sayangnya banyak manusia yang tidak mau menggunakannya dan lebih suka untuk mengeluh dan meratapi musibah.
Musibah apa pun akan menjadi ringan selama seseorang tidak gagal untuk menemukan kebahagiaan di dalamnya. Pencuri boleh merampas harta benda kita, musibah boleh menghilangkan uang atau rumah kita, tetapi semua itu tak semestinya merengut kebahagiaan kita. Karena kebahagiaan itu ada di dalam hati dan tak ada orang yang dapat merampasnya selama kita tidak mengijinkannya.
Allah memberikan manusia kemampuan untuk memilih, termasuk memilih perasaannya sendiri. Ini adalah sebuah nikmat yang besar. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.
4. Musibah menawarkan ganjaran
Kepada orang-orang yang beriman, Allah menjanjikan ganjaran di balik musibah. Bahkan musibah itu dapat digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Janji Allah itu benar. Kalau begitu mengapa kita mesti risau dan galau saat mendapat musibah. Kalau di balik kesusahan itu ada kebaikan yang menunggu, walaupun hal itu belum tampak, tidakkah kita akan bersyukur?
Kalau kita mendapat musibah berupa kehilangan uang, tapi nantinya yang hilang itu akan digantikan dengan sejumlah uang yang lebih besar atau digantikan dengan sesuatu yang lebih baik dibandingkan musibah yang kita alami, apakah kita akan marah atau sebaliknya kita malah bersyukur?
Anggaplah misalnya kita punya sebuah mobil (Malaysia: kereta) yang berukuran kecil, mungkin sebuah mobil Suzuki model lama. Lalu terjadi kecelakaan dan mobil itu hancur, tak dapat diperbaiki dan dikendarai lagi. Kita mungkin merasa kesal dan marah. Punya mobil hanya satu, sekarang rusak pula. Terpaksa kita pergi ke mana-mana naik bus. Tapi beberapa waktu kemudian kita bisa membeli sebuah mobil lain yang lebih bagus dan lebih mahal. Artinya mobil kita yang jelek dan murah diganti oleh Allah dengan mobil yang bagus dan lebih mahal harganya. Apakah sekarang kita masih marah? Atau kita akan bersyukur?
Allah sudah berjanji kepada orang-orang beriman bahwa musibah yang mereka alami akan diberi ganjaran dan akan diganti dengan yang lebih baik kalau mereka bersabar dan memohon pada Allah ganti yang lebih baik. Ini adalah sebuah karunia. Bukankah seharusnya kita bersyukur?
Selain empat hal yang disebutkan Ibnu Umar ra. Di atas, Imam Ghazali memberikan satu hingga dua tambahan di dalam bukunya Minhajul Abidin, yaitu:
5. Musibah itu tidak berterusan dan musibah itu datang dari Allah
Ini juga nikmat di balik musibah. Kebanyakan musibah yang kita alami biasanya hanya terjadi satu kali saja, bukannya terus menerus terjadi. Kalaupun ia terjadi lagi biasanya setelah waktu yang lama.
Tak ada orang yang setiap hari kehilangan uang. Tak ada orang yang setiap hari kena rampok. Tidak ada orang yang setiap hari mengalami kecelakaan di jalan raya. Tak ada orang yang setiap hari mengalami kegagalan. Bahkan orang yang merasa dirinya paling sial pun tidak mengalami hal yang semacam ini. Hal ini tentu saja harus disyukuri.
Mungkin ada orang yang kena penyakit berat sehingga sakitnya itu berpanjangan dan menyebabkan ia berulang kali masuk rumah sakit. Bahkan penyakitnya itu mungkin akan membawanya pada kematian. Ini memang musibah yang berat. Tapi bukannya semua musibah yang kita alami seperti ini.
Selain itu, janganlah kita lupa bahwa semua yang kita alami, termasuk musibah, datangnya dari Allah. Tak mungkin Allah bermaksud mencelakakan atau menyusahkan hambanya yang beriman. Di balik musibah itu tentu ada manfaat dan kebaikan yang besar.
Jadi sebenarnya ada banyak alasan untuk bersyukur, termasuk saat kita mengalami musibah dan kesusahan. Ada banyak karunia di balik musibah. Saat melihat karunia-karunia itu, tentu kita akan merasa bersyukur dan lisan kita pun mengucap alhamdulillah.
Betapa bahagianya orang yang mengalami musibah, tetapi yang tampak oleh matanya justru karunia dan nikmat, bukan musibah yang menyusahkan.
Alwi Alatas,
Kuala Lumpur
13 Jumadil Awwal 1434/ 25 Maret 2013
Friday, March 22, 2013
Emas di Balik Batu
Bukannya mudah untuk tidak mengeluh saat mendapatkan musibah atau ujian dalam hidup. Lebih susah lagi untuk tersenyum dan bersyukur. Bagaimana kita akan tersenyum dan bersyukur, sementara kita sedang merasakan kesusahan?
Anggaplah misalnya kita gagal dalam tes di kampus. Itu adalah musibah yang cukup berat. Bagaimana kita akan tersenyum? Atau kita mengalami kecelakaan (accident) yang menyebabkan kaki dan tangan kita patah. Kita tak dapat menggunakan tangan dan kaki seperti biasanya selepas kejadian itu. Itu merupakan ujian yang sangat berat. Bagaimana caranya kita bersyukur dalam keadaan seperti itu?
Bagaimana jika kita bangun pada pagi hari dan tiba-tiba mata kita tak dapat melihat lagi. Kita menjadi buta selamanya. Apa yang akan kita lakukan? Untuk dapat bersabar saja rasanya sudah hebat. Tapi tersenyum dan bersyukur? Mungkinkah hal ini dilakukan?
Hal ini memang tidak mustahil untuk dilakukan, tetapi tentu sangat berat. Menuliskan dan menceritakannya jauh lebih mudah. Tapi kalau kita benar-benar mengalaminya, belum tentu kita mampu melakukan. Namun kalau kita dapat melakukannya, tentu indah sekali. Dapat musibah, lantas bersyukur. Dapat masalah, justru tersenyum dan bersyukur. Bahagianya orang yang dapat melakukan hal seperti ini.
Tapi dari mana jalannya hal ini dapat dilakukan? Apa rahasianya seorang yang mendapat kesusahan mampu bersyukur? Di bawah ini ada jawabannya.
Kapan seseorang itu bersyukur? Tentunya ketika mendapatkan nikmat dan karunia. Setiap kali merasakan nikmat, orang yang baik dan faham tentu akan bersyukur. Begitu juga halnya ketika mendapatkan musibah. Kalau ia dapat melihat adanya karunia di balik musibah, tentu ia akan bersyukur juga. Ia mendapat musibah, tetapi pada musibah itu ia melihat hal yang positif, mestilah ia akan bersyukur.
Anggaplah misalnya saat sedang berjalan ada yang menimpuk anda dengan sebuah batu sehingga kepala anda berdarah. Ini adalah musibah dan rasanya sangat menyakitkan. Ia sakit luar dan dalam. Sakit di luar karena kepala terluka; sakit di dalam (sakit hati) karena kesal dengan perbuatan orang yang tak bertanggung jawab. Tapi kemudian anda menginjak batu itu dan batu itu pecah. Ternyata di dalam batu itu ada emas. Sekarang apakah anda masih marah-marah? Atau anda justru tersenyum dan bersyukur? Mungkin setelah itu anda justru berharap akan ada lagi batu-batu yang dilemparkan ke kepala anda.
Memang hampir mustahil kita akan mengalami kejadian seperti ini dalam hidup kita: ditimpuk batu dan ternyata di dalam batu itu ada emas. Ini hanya kiasan saja. Bagaimanapun percayalah, semua “batu” yang menimpa kita dalam hidup ini, sebenarnya di dalamnya terkandung “emas”. Hanya saja masalahnya, apakah kita mau memperhatikan dan menghargai “emas” itu atau tidak. Sayangnya, banyak manusia yang tidak mau melihatnya. Pandangan mereka hanya tertuju pada batu. Sehingga akhirnya mereka gagal melihat kebaikan di sebaliknya dan karenanya gagal bersyukur.
Maka mulai sekarang, berhentilah mengutuki batu. Berprasangka baiklah dan carilah sisi positifnya. Insya Allah kita akan menemukan emas di sebalik batu.
Alwi Alatas
Kuala Lumpur
10 Jumadil Awwal 1434/ 22 Maret 2013
Anggaplah misalnya kita gagal dalam tes di kampus. Itu adalah musibah yang cukup berat. Bagaimana kita akan tersenyum? Atau kita mengalami kecelakaan (accident) yang menyebabkan kaki dan tangan kita patah. Kita tak dapat menggunakan tangan dan kaki seperti biasanya selepas kejadian itu. Itu merupakan ujian yang sangat berat. Bagaimana caranya kita bersyukur dalam keadaan seperti itu?
Bagaimana jika kita bangun pada pagi hari dan tiba-tiba mata kita tak dapat melihat lagi. Kita menjadi buta selamanya. Apa yang akan kita lakukan? Untuk dapat bersabar saja rasanya sudah hebat. Tapi tersenyum dan bersyukur? Mungkinkah hal ini dilakukan?
Hal ini memang tidak mustahil untuk dilakukan, tetapi tentu sangat berat. Menuliskan dan menceritakannya jauh lebih mudah. Tapi kalau kita benar-benar mengalaminya, belum tentu kita mampu melakukan. Namun kalau kita dapat melakukannya, tentu indah sekali. Dapat musibah, lantas bersyukur. Dapat masalah, justru tersenyum dan bersyukur. Bahagianya orang yang dapat melakukan hal seperti ini.
Tapi dari mana jalannya hal ini dapat dilakukan? Apa rahasianya seorang yang mendapat kesusahan mampu bersyukur? Di bawah ini ada jawabannya.
Kapan seseorang itu bersyukur? Tentunya ketika mendapatkan nikmat dan karunia. Setiap kali merasakan nikmat, orang yang baik dan faham tentu akan bersyukur. Begitu juga halnya ketika mendapatkan musibah. Kalau ia dapat melihat adanya karunia di balik musibah, tentu ia akan bersyukur juga. Ia mendapat musibah, tetapi pada musibah itu ia melihat hal yang positif, mestilah ia akan bersyukur.
Anggaplah misalnya saat sedang berjalan ada yang menimpuk anda dengan sebuah batu sehingga kepala anda berdarah. Ini adalah musibah dan rasanya sangat menyakitkan. Ia sakit luar dan dalam. Sakit di luar karena kepala terluka; sakit di dalam (sakit hati) karena kesal dengan perbuatan orang yang tak bertanggung jawab. Tapi kemudian anda menginjak batu itu dan batu itu pecah. Ternyata di dalam batu itu ada emas. Sekarang apakah anda masih marah-marah? Atau anda justru tersenyum dan bersyukur? Mungkin setelah itu anda justru berharap akan ada lagi batu-batu yang dilemparkan ke kepala anda.
Memang hampir mustahil kita akan mengalami kejadian seperti ini dalam hidup kita: ditimpuk batu dan ternyata di dalam batu itu ada emas. Ini hanya kiasan saja. Bagaimanapun percayalah, semua “batu” yang menimpa kita dalam hidup ini, sebenarnya di dalamnya terkandung “emas”. Hanya saja masalahnya, apakah kita mau memperhatikan dan menghargai “emas” itu atau tidak. Sayangnya, banyak manusia yang tidak mau melihatnya. Pandangan mereka hanya tertuju pada batu. Sehingga akhirnya mereka gagal melihat kebaikan di sebaliknya dan karenanya gagal bersyukur.
Maka mulai sekarang, berhentilah mengutuki batu. Berprasangka baiklah dan carilah sisi positifnya. Insya Allah kita akan menemukan emas di sebalik batu.
Alwi Alatas
Kuala Lumpur
10 Jumadil Awwal 1434/ 22 Maret 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)