Seorang yang berpikiran kotor melihat kilasan-kilasan lucah pada benda-benda mati dan orang-orang yang lalu lalang
Seorang ilmuwan melihat hukum alam dan percikan pengetahuan pada benda-benda di sekitarnya
Seorang ahli hikmah melihat pelajaran-pelajaran yang indah pada kejadian-kejadian yang diamatinya
Seorang pecinta Tuhan melihat Allah pada berbagai benda yang tertumbuk oleh pandangannya
Masing-masing melihat benda-benda yang sama dengan mata fisik yang sama, tapi yang didapati ternyata berbeda
Semuanya kembali kepada keadaan dan perbendaharaan jiwa manusia yang memandang
Jakarta,
24 Shawal 1432/ 22 September 2011
Monday, September 26, 2011
Friday, September 23, 2011
Di Antara Taman-taman Surga
Alwi Alatas
Sebelum memasuki taman-taman Surga di akhirat kelak, masukilah taman-taman surga-Nya di dunia ini.
Seorang kenalan bercerita tentang salah satu dosennya (lecture) yang non-Muslim. Suatu hari dosennya itu menyindir mahasiswanya yang beragama Islam, “Kasihan orang-orang Islam. Mengapa mereka harus bangun di malam buta untuk shalat tahajjud (qiyamul lail), sementara pada saat itu manusia sedang lelap menikmati tidurnya.”
Ah, sayang sekali, orang ini tidak memahami apa yang diucapkannya.
Bangun malam dan shalat tahajjud memang berat bagi orang yang tidak terbiasa dan tidak memiliki kemauan untuk melakukannya. Tapi bagi mereka yang biasa melakukannya, ia merupakan suatu hal yang indah dan berkesan.
Bagi yang tidak begitu terbiasa melakukannya, setidaknya mereka dapat merasakannya pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan. Mereka berkumpul di masjid-masjid untuk shalat dan membaca al-Qur’an. Lalu di sepuluh hari terakhir mereka melakukan i’tikaf, menetap di masjid, memperbanyak ibadah sambil mengharapkan perjumpaan dengan malam lailatul qadar.
Manusia berhimpun di masjid, beribadah sepanjang malam, atau tidur sebentar dan kemudian melanjutkan kembali ibadah mereka. Suara bacaan al-Qur’an terdengar dari lisan-lisan mereka seperti dengung lebah. Setelah berbuka puasa dan shalat maghrib, mereka akan membuka lembaran-lembaran mushaf dan membacanya dengan khusyu’ sambil menunggu datangnya waktu isya. Setelah itu, orang-orang berdiri dan mendirikan shalat isya dan dilanjutkan dengan shalat tarawih.
Selesai tarawih, mungkin ada tausiyah dan tazkiyah yang dapat melembutkan hati dan meningkatkan semangat beribadah di waktu-waktu yang mulia itu. Kemudian mereka kembali melakukan zikir dan bacaan al-Qur’an, atau berdiri untuk shalat. Ada yang mencari tempat-tempat yang tak banyak dilalui orang, kemudian shalat di tempat itu untuk waktu yang lama. Beberapa yang lain beristirahat selama beberapa atau berbincang dengan beberapa kawannya yang ada di tempat itu. Yang lainnya lagi menghafalkan al-Qur’an atau memurajaah hafalannya.
Kemudian di akhir malam, mereka bergegas berdiri di belakang imam untuk melakukan qiyamul lail. Bacaan imam yang panjang dan menyentuh qalbu membuat jamaah terisak dan menangis. Ketika imam membaca ayat-ayat tentang surga, mereka memohon kepada-Nya untuk mendapatkan Surga. Jika dibacakan ayat-ayat ancaman, hati mereka bergetar dan merasa takut kepada-Nya. Saat imam membaca doa qunut yang indah, banyak yang menangis karena teringat akan dosa-dosanya serta berharap ampunan dari-Nya.
Untuk mereka yang melakukan i’tikaf di masjid yang dipenuhi manusia dari berbagai negara, seperti yang berlaku di masjid Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM) ataupun yang lainnya, akan didapati keindahan tambahan. Mereka melangkah di tengah masjid dan melihat manusia dengan berbagai suku bangsa dan beragam warna kulit sibuk dengan ibadah mereka. Saat mereka duduk membaca al-Qur’an, sesekali mereka mengangkat kepalanya dan mendapati seorang Afrika yang berkulit hitam legam atau seorang Eropa yang kulitnya seputih susu menatap sekilas sambil tersenyum ramah.
Mereka berbaris untuk shalat berjamaah dan mendapati seorang Palestina di sebelah kirinya, seorang Nigeria di sebelah kanannya, beberapa orang Melayu di depannya, dan orang-orang bermata sipit yang kemungkinan berasal dari Cina atau Asia Tengah berada di belakangnya. Semuanya tenggelam di dalam bacaan imam yang indah, seolah mereka sedang shalat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.
Semuanya begitu indah sehingga pada waktu subuh, seorang yang sedang duduk merenungi kenikmatan ibadahnya di sepanjang malam itu mungkin merasakan angin yang lembut menerpa wajah dan tubuhnya. Angin itu sesekali meniup tubuhnya, kemudian menghilang, lalu muncul lagi, dan itu terjadi beberapa kali. Angin itu begitu lembut dan menenangkan jiwa dan perasaan.
Apakah ini merupakan tanda-tanda lailatul qadar seperti yang sering diceritakan orang-orang? Ia memandang ke sebelah kanan, ke sisi masjid yang tak berdinding. Angin itu terasa sangat nikmat. Apakah ini malam lailatul qadar?
Lalu ia mengangkat kepalanya ke atas dan mendapati sebuah kipas angin tak jauh di hadapannya bergerak ke kanan dan ke kiri. Saat kipas itu mengarah kepadanya, ia merasakan hembusan angin seperti yang tadi ia rasakan.
Ah, ternyata hanya hembusan kipas, ia tersenyum sendiri.
Tapi biarlah. Semoga orang-orang yang i’tikaf dan beribadah di penghujung Ramadhan itu mendapatkan lailatul qadar, walaupun mereka tidak merasakan tanda apa pun. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal ibadah hamba-hamba-Nya.
Manusia yang berada di masjid-masjid pada malam-malam itu, dengan niat yang ikhlas dan disertai pemahaman yang baik, mereka akan menyaksikan taman-taman surga di dunia. Mereka yang menjaga imannya dan merasakan manisnya iman akan merasakan kenikmatan, seolah-olah mereka sudah berada di Surga sebelum mereka benar-benar memasukinya. Seorang ulama pernah mengatakan, “Di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya tidak akan memasuki Surga di akhirat.”
Tidakkah Anda juga ingin masuk ke dalamnya?
Jakarta,
24 Shawal 1432/ 22 September 2011
Labels:
al-Qur'an,
i'tikaf,
IIUM,
indah,
lailatul qadr,
qiyamul lail,
surga,
tahajjud,
taman
Wednesday, September 21, 2011
Ulang Tahun
Ulang Tahun
Alwi Alatas
Kalau kita hendak merayakan ulang tahun, maka tanyalah kepada diri sendiri, “Seberapa besar manfaat yang sudah kita berikan kepada masyarakat sehingga hari lahir kita perlu dirayakan?” Kalau manfaat yang kita berikan cukup besar, maka cukuplah kita mengetahui bahwa Allah tak akan mengabaikan itu semua.
Tanggal kelahiran bukanlah sesuatu yang penting untuk dirayakan. Karena ia hanyalah bagian dari waktu yang akan berlalu meninggalkan kita. Kita seharusnya bukan merayakan, tetapi melakukan refleksi serta perenungan sudah sejauh mana kita mengisi hari-hari yang berlalu dengan kebaikan.
Tapi kadang orang-orang yang dekat dengan kita merasa senang jika hari kelahirannya diingat. Istri dan orang tua kita merasa tersanjung jika kita mengingat hari kelahirannya serta mendoakannya. Dan mungkin mereka akan sedikit kecewa jika kita sama sekali lupa tentang hal itu.
Apakah Anda pernah lupa dengan tanggal kelahiran istri? Saya pernah mengalaminya. Pernah pada suatu hari istri saya berkali-kali bertanya dan memberikan isyarat, “Sekarang hari apa ya? Ini hari apa?”
Setiap kali ditanya, saya selalu menyebutkan tanggal hari itu, tanpa menyadari apa yang diharapkan oleh istri saya. Saya sama sekali tidak menangkap isyaratnya. Saya hanya menjawabnya secara sambil lalu, sambil terus sibuk dengan aktivitas yang lain.
Pada kesempatan yang lain, masih pada hari yang sama, ia kembali bertanya, “Hari ini tanggal berapa? Ada apa ya hari ini?” Saya pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tapi pada saat yang sama mulai merasa heran, dan sedikit kesal. Mengapa ia selalu mengulang pertanyaan yang sama?
Pada malam harinya, ia kembali bertanya, “Sekarang tanggal berapa? Ini hari apa?”
Saya mulai kehilangan kesabaran dan menjadi agak marah. “Mengapa dari tadi terus menanyakan pertanyaan yang sama? Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih penting?” saya menjawab dengan kesal. “Saya kan sudah memberi jawaban berkali-kali. Mengapa harus menanyakannya lagi?”
Istri saya tidak bertanya lagi. Dan saya juga melupakan hal itu. Saya tetap tidak ingat ada apa hari itu.
Hampir satu bulan kemudian, ketika sedang berbincang tentang ulang tahun, istri saya berkata dengan nada protes, “Kamu lupa dengan tanggal lahir saya.”
“Loh, kita kan sudah sepakat untuk tidak merayakan dan tidak menganggap penting hari ulang tahun,” saya membela diri.
“Tapi kan tidak ada salahnya sekedar mengingat hari lahir,” kata istri saya.
Kini saya berusaha mengingat-ingat tanggal lahirnya. Apakah saya memang melupakan tanggal lahirnya? Tanggal berapa ulang tahunnya? Oh, beberapa minggu yang lalu dan saya sama sekali tidak ingat. Saya nyengir dan sedikit merasa bersalah. “Maaf ya, saya benar-benar lupa.”
“Padahal saya sudah berusaha mengingatkannya berkali-kali,” istri saya masih protes, “tapi masih tak ingat juga.”
“Sudah diingatkan berkali-kali?”
”Kan hari itu saya bertanya beberapa kali, ’Ini hari apa? Sekarang tanggal berapa?’ Eh, malah saya kena marah.”
“Allahu Akbar,” saya kini ingat dengan hari itu. ”Jadi rupanya ....”
“Makanya, jangan marah-marah saja.”
“Aduh, maafkan saya ya, Sayang,” saya meminta maaf sambil tersenyum. “Saya benar-benar tidak ingat. Bahkan saya sendiri sebenarnya tidak memperhatikan hari lahir saya sendiri (yang kebetulan berdekatan dengan tanggal lahir istri). Kalau bukan karena ada orang-orang yang mengingatkan dan mendoakan pada hari itu, saya tentu sama sekali tidak ingat.”
“Saya ini benar-benar pelupa,” kata saya lagi sambil menepuk kepala sendiri.
“Memang, dasar pelupa,” kata istri saya.
“Keterlaluan sekali.” Sambil mengingat itu semua, saya tersenyum dan tertawa perlahan.
“Mengapa tertawa?” tanya istri saya.
“Saya jadi ingat berita yang saya baca baru-baru ini.”
“Berita apa?” ia bertanya penasaran.
“Belum lama ini ada seorang perempuan di Rusia yang membunuh suaminya karena suaminya lupa dengan ulang tahunnya. Istrinya sudah berkali-kali memberi isyarat dan berusaha mengingatkan, persis seperti yang kamu lakukan, tapi suaminya tak ingat juga. Lalu ia mengambil pisau dapur dan menusuk suaminya sampai mati dan setelah itu menyerahkan diri kepada polisi,” saya menjelaskan sambil tertawa. “Untunglah istri saya tak seperti itu.”
Istri saya merasa takjub. “Perempuan itu membunuh suaminya hanya karena lupa hari lahirnya? Kisah ini benar-benar terjadi?”
Saya menganggukkan kepala dan tersenyum.
“Keterlaluan sekali,” istri saya menggeleng-gelengkan kepalanya.
”Begitulah kalau manusia tak ada iman,” ujar saya. “Selamat ulang tahun ... walaupun sudah terlambat. Mudah-mudahan memiliki umur yang berkah.”
Istri saya tersenyum dan kisahnya berakhir dengan happy ending. Alhamdulillah.
Untuk teman-teman yang sedang mengenang hari lahirnya, kami doakan mudah-mudahan dipanjangkan umurnya dan dimudahkan dalam mengisi hari-harinya dengan berbagai kebaikan. Tapi jangan sampai ulang tahun membuat kita lalai dan berbangga diri. Jadikanlah ia sebagai kesempatan untuk mengevaluasi diri.
Pada akhirnya, kalau ada yang mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lahir maka pikirkanlah baik-baik, apakah umur kita memang berisi keselamatan. Renungkanlah dengan baik, apakah cara kita mengisi usia dapat membawa kita pada keselamatan? Kalau tidak, maka tidak ada selamat dan keselamatan pada hari itu. Semoga kita dijauhkan dari hal semacam ini.
Jakarta,
22 Shawal 1432/ 20 September 2011
Monday, September 19, 2011
Tubuhmu bukan Milikmu
Tubuhmu bukan Milikmu
Alwi Alatas
Apa yang tak pernah didapatkan dengan usaha kita sendiri dan tak dapat dipertahankan selama yang kita kehendaki maka ia bukanlah milik kita
Beberapa tahun yang lalu, di sekolah tempat saya mengajar sempat terjadi diskusi antara guru laki-laki dan perempuan. Temanya sama seperti yang sedang hangat belakangan ini di Indonesia: tentang pakaian dan tubuh perempuan.
Guru laki-laki mengeluh tentang semakin banyaknya perempuan yang berpakaian minim di jalan raya dan di tempat-tempat umum. “Tidak semestinya perempuan berpakaian seperti itu.” “Itulah sebabnya banyak terjadi pemerkosaan dan kejahatan seksual, karena perempuan tidak mau menjaga pakaiannya.”
Guru-guru perempuan membantah hal itu. “Itu salah laki-laki, mengapa mereka berpikiran kotor.” “Mengapa laki-laki harus complain dengan cara berpakaian perempuan? Itu tubuh mereka sendiri, terserah kepada mereka mau mengenakan pakaian seperti apa.” Begitu antara lain pendapat kalangan perempuan.
Maka terjadilah perdebatan selama beberapa menit berikutnya. Sebagian guru laki-laki kemudian menjelaskan, “Sebagian yang kalian katakan memang benar, bahwa dalam kasus kejahatan seksual, pihak lelaki jelas salah. Karena mereka sama sekali tidak berhak melakukan hal semacam itu, walaupun ada perempuan yang tak berpakaian di depan mereka.”
“Nah, betul kan,” kata yang perempuan.
”Tapi kaum perempuan juga perlu membantu laki-laki ...,” lanjut guru laki-laki. ”Kami ini juga perlu dibantu oleh kaum wanita dengan berpakaian yang sopan. Sebab laki-laki lebih mudah terpancing dan tergoda secara seksual saat melihat perempuan yang berpakaian tidak sopan. Itu merupakan hal yang normal bagi laki-laki. Kalau mereka melihat perempuan dengan pakaian yang terbuka, kepala mereka akan menjadi ’pening’ karenanya.”
”Oh, begitu?” guru-guru perempuan rupanya baru menyadari hal itu setelah adanya pengakuan yang jujur dari pihak laki-laki. Mereka semua jadi tersenyum. Tapi ada sesuatu yang positif di sana, yaitu mulai adanya saling pemahaman di antara kedua belah pihak.
Memang begitulah kenyataannya. Kaum laki-laki cenderung lebih kuat hasrat dan syahwatnya saat melihat lawan jenisnya yang berpakaian minim, dibandingkan kaum perempuan melihat lawan jenisnya yang berpakaian minim juga. Secara umum dapat dikatakan, perempuan tidak akan terlalu terangsang saat melihat laki-laki yang berpakaian minim. Memang kalau pria yang berpakaian minim itu sangat ganteng (kacak) dan bertubuh atletis, mungkin perempuan akan berpikiran macam-macam dan muncul hasratnya. Tapi kalau laki-lakinya berwajah biasa saja dan tubuhnya agak gendut, maka perasaan yang muncul mungkin berbeda: ganjil, merasa geli (lucu), atau malah agak jijik.
Kasusnya berbeda dengan laki-laki. Secara umum laki-laki akan merasa tergoda dan terangsang saat melihat perempuan yang berpakaian minim dan menunjukkan lekuk tubuhnya. Itu merupakan hal yang normal pada diri mereka. Ini bukan sebuah alasan yang dibuat-buat atau excuse dari kaum lelaki. Tapi laki-laki memang diciptakan seperti itu dan memiliki kecenderungan dan perasaan yang seperti itu.
Kalau Anda masih meragukan hal ini, cobalah buat survey kecil di tempat-tempat umum. Perhatikan mana yang lebih sering terjadi di antara dua hal ini: laki-laki yang menatap dan melirik perempuan yang menarik atau perempuan yang melirik laki-laki yang menarik. Ambillah sebuah contoh yang agak ekstrim (jangan dipraktekkan). Anggaplah ada seorang laki-laki yang sangat handsome berjalan telanjang bulat di sebuah mall yang ramai. Apa kira-kira reaksi perempuan yang melihatnya? Apakah semua akan menatap laki-laki itu dan menjadi terangsang karenanya? Atau sebagian akan merasa aneh dan geleng-geleng kepala? Atau mungkin ada juga yang tertawa dan merasa itu lucu dan ganjil? Mungkin ada juga yang merasa kesal dan segera menghindar? Coba tanyakan ke kalangan perempuan. Saya yakin banyak juga perempuan yang tidak terpancing syahwatnya karena hal itu. Halnya akan menjadi lain bagi laki-laki.
Coba bayangkan ini: ada seorang perempuan cantik berjalan telanjang di tengah keramaian sebuah mall. Seperti apa reaksi laki-laki yang melihatnya? Rasanya kita semua akan sepakat dengan jawabannya. Semua lelaki normal yang melihatnya akan terpancing syahwatnya. Semuanya, tanpa kecuali, dengan syarat ia lelaki yang normal. Hanya saja, ada di antara mereka yang mampu menahan syahwatnya, menghindarinya, dan melupakan hal itu. Tapi ada (banyak) juga yang tak mampu mengawal hasratnya.
Itu merupakan sesuatu yang built in pada diri laki-laki. Mereka memang diciptakan seperti itu.
Tetap saja laki-laki tidak boleh melakukan kejahatan seksual pada perempuan disebabkan hal itu. Itu betul! Mengganggu perempuan secara seksual merupakan kejahatan. Itu merupakan zina dan dosa dalam pandangan Islam. Lelaki harus menahan diri dari perbuatan yang semacam ini dan mereka yang melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan harus dihukum. Tapi kaum perempuan juga diharapkan memahami hal ini dan membantu dengan berpakaian yang sopan dan menutup aurat.
Janganlah bersikap tidak perduli dan tetap bersikukuh mengenakan pakaian minim di tempat-tempat umum. Hilangkan ego dalam hal ini. Jika ada perempuan, ataupun laki-laki, yang hendak telanjang dan berpakaian seksi di tengah hutan atau di dalam ruangan tertutup, maka itu terpulang pada mereka sendiri. Tapi jika mereka melakukannya di tempat-tempat umum, maka ada banyak mata yang akan melihat dan sulit untuk menghindarinya. Hal semacam itu sangat mempengaruhi dan mengganggu kaum lelaki, terutama mereka yang berusaha untuk menjaga diri dari hal-hal semacam itu. Believe me, it’s disturbing! Kalaupun ada laki-laki yang tidak merasa terganggu dan mereka justru menikmati hal semacam itu, maka itu bukan berarti syahwatnya tidak terpengaruh. Hanya saja ia tidak tahu atau tidak perduli bahwa hal itu merupakan dosa.
Sebagian perempuan ada yang berkata kepada kaum lelaki, “Urus saja sendiri mata dan pikiranmu, jangan ikut campur dengan pakaian kami.” Perkataan ini tidak tepat. Karena kalau seperti itu, para perokok juga nantinya akan berkata, “Urus saja sendiri hidung dan paru-parumu, jangan ikut campur dengan apa yang saya letakkan di mulut saya, ini merupakan hak saya.” Atau nanti ada yang memasang musik dengan suara sangat keras sehingga mengganggu tetangganya. Lalu dia berkata, “Saya berhak mendengar apa yang saya mau, jangan campuri urusan saya, urus saja sendiri telinga Anda.”
Apakah argumen-argumen seperti ini bisa diterima? Apakah Anda bisa menerimanya? Anda mungkin merasa berhak mendengarkan sesuatu, menghisap rokok, atau berpakaian apa saja. Tapi ketika Anda melakukannya di tempat umum, maka ada banyak orang lain yang terlibat di sana. Hak-hak mereka juga harus dihargai. Bukankah begitu?
Sebagian perempuan ada yang masih protes, “Ini tubuh saya, milik saya, saya berhak melakukan apa saja dengannya.” Ini juga perkataan yang tidak tepat. Cobalah jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah kita pernah membeli atau berusaha untuk mendapatkan tubuh kita ini? Apakah kita pernah membuat pilihan untuk mendapatkan tubuh kita yang sekarang ini? Kalau kita memang memilikinya, apakah kita bisa menukarnya dengan tubuh lain yang lebih kita sukai untuk kita miliki? Selain itu, apakah kita bisa menentukan berapa lama kita akan memiliki tubuh ini? Apakah kita bisa mempertahankan tubuh kita saat kematian datang? Kalau kita tidak mampu menentukan pilihan saat mendapatkannya dan kita tidak mampu mempertahankannya sesuai keinginan kita, maka bagaimana mungkin ia merupakan milik kita?
Tubuh ini bukan milik kita. Ia hanya dipinjamkan kepada kita. Maka pergunakanlah itu dengan sebaik-baiknya. Syukurilah ia dengan menggunakan pakaian yang baik dan menutup aurat. Kalau kita menjaga diri, insya Allah kita pun akan lebih terlindungi dari gangguan orang lain.
Demikian pula kaum lelaki. Gunakan mata dan pikiran untuk hal yang baik, bukan untuk melihat dan memikirkan hal-hal yang dilarang. Kalau tubuh Anda kuat dan syahwat Anda besar, bukan berarti Anda boleh menerjang hal yang diharamkan. Seperti dikatakan dalam sebuah buku (Randy Pausch, The Last Lecture), “Hanya karena kau duduk di kursi pengemudi, tidak berarti kau harus menabrak orang.”
Jakarta,
21 Shawal 1432/ 19 September 2011
Alwi Alatas
Apa yang tak pernah didapatkan dengan usaha kita sendiri dan tak dapat dipertahankan selama yang kita kehendaki maka ia bukanlah milik kita
Beberapa tahun yang lalu, di sekolah tempat saya mengajar sempat terjadi diskusi antara guru laki-laki dan perempuan. Temanya sama seperti yang sedang hangat belakangan ini di Indonesia: tentang pakaian dan tubuh perempuan.
Guru laki-laki mengeluh tentang semakin banyaknya perempuan yang berpakaian minim di jalan raya dan di tempat-tempat umum. “Tidak semestinya perempuan berpakaian seperti itu.” “Itulah sebabnya banyak terjadi pemerkosaan dan kejahatan seksual, karena perempuan tidak mau menjaga pakaiannya.”
Guru-guru perempuan membantah hal itu. “Itu salah laki-laki, mengapa mereka berpikiran kotor.” “Mengapa laki-laki harus complain dengan cara berpakaian perempuan? Itu tubuh mereka sendiri, terserah kepada mereka mau mengenakan pakaian seperti apa.” Begitu antara lain pendapat kalangan perempuan.
Maka terjadilah perdebatan selama beberapa menit berikutnya. Sebagian guru laki-laki kemudian menjelaskan, “Sebagian yang kalian katakan memang benar, bahwa dalam kasus kejahatan seksual, pihak lelaki jelas salah. Karena mereka sama sekali tidak berhak melakukan hal semacam itu, walaupun ada perempuan yang tak berpakaian di depan mereka.”
“Nah, betul kan,” kata yang perempuan.
”Tapi kaum perempuan juga perlu membantu laki-laki ...,” lanjut guru laki-laki. ”Kami ini juga perlu dibantu oleh kaum wanita dengan berpakaian yang sopan. Sebab laki-laki lebih mudah terpancing dan tergoda secara seksual saat melihat perempuan yang berpakaian tidak sopan. Itu merupakan hal yang normal bagi laki-laki. Kalau mereka melihat perempuan dengan pakaian yang terbuka, kepala mereka akan menjadi ’pening’ karenanya.”
”Oh, begitu?” guru-guru perempuan rupanya baru menyadari hal itu setelah adanya pengakuan yang jujur dari pihak laki-laki. Mereka semua jadi tersenyum. Tapi ada sesuatu yang positif di sana, yaitu mulai adanya saling pemahaman di antara kedua belah pihak.
Memang begitulah kenyataannya. Kaum laki-laki cenderung lebih kuat hasrat dan syahwatnya saat melihat lawan jenisnya yang berpakaian minim, dibandingkan kaum perempuan melihat lawan jenisnya yang berpakaian minim juga. Secara umum dapat dikatakan, perempuan tidak akan terlalu terangsang saat melihat laki-laki yang berpakaian minim. Memang kalau pria yang berpakaian minim itu sangat ganteng (kacak) dan bertubuh atletis, mungkin perempuan akan berpikiran macam-macam dan muncul hasratnya. Tapi kalau laki-lakinya berwajah biasa saja dan tubuhnya agak gendut, maka perasaan yang muncul mungkin berbeda: ganjil, merasa geli (lucu), atau malah agak jijik.
Kasusnya berbeda dengan laki-laki. Secara umum laki-laki akan merasa tergoda dan terangsang saat melihat perempuan yang berpakaian minim dan menunjukkan lekuk tubuhnya. Itu merupakan hal yang normal pada diri mereka. Ini bukan sebuah alasan yang dibuat-buat atau excuse dari kaum lelaki. Tapi laki-laki memang diciptakan seperti itu dan memiliki kecenderungan dan perasaan yang seperti itu.
Kalau Anda masih meragukan hal ini, cobalah buat survey kecil di tempat-tempat umum. Perhatikan mana yang lebih sering terjadi di antara dua hal ini: laki-laki yang menatap dan melirik perempuan yang menarik atau perempuan yang melirik laki-laki yang menarik. Ambillah sebuah contoh yang agak ekstrim (jangan dipraktekkan). Anggaplah ada seorang laki-laki yang sangat handsome berjalan telanjang bulat di sebuah mall yang ramai. Apa kira-kira reaksi perempuan yang melihatnya? Apakah semua akan menatap laki-laki itu dan menjadi terangsang karenanya? Atau sebagian akan merasa aneh dan geleng-geleng kepala? Atau mungkin ada juga yang tertawa dan merasa itu lucu dan ganjil? Mungkin ada juga yang merasa kesal dan segera menghindar? Coba tanyakan ke kalangan perempuan. Saya yakin banyak juga perempuan yang tidak terpancing syahwatnya karena hal itu. Halnya akan menjadi lain bagi laki-laki.
Coba bayangkan ini: ada seorang perempuan cantik berjalan telanjang di tengah keramaian sebuah mall. Seperti apa reaksi laki-laki yang melihatnya? Rasanya kita semua akan sepakat dengan jawabannya. Semua lelaki normal yang melihatnya akan terpancing syahwatnya. Semuanya, tanpa kecuali, dengan syarat ia lelaki yang normal. Hanya saja, ada di antara mereka yang mampu menahan syahwatnya, menghindarinya, dan melupakan hal itu. Tapi ada (banyak) juga yang tak mampu mengawal hasratnya.
Itu merupakan sesuatu yang built in pada diri laki-laki. Mereka memang diciptakan seperti itu.
Tetap saja laki-laki tidak boleh melakukan kejahatan seksual pada perempuan disebabkan hal itu. Itu betul! Mengganggu perempuan secara seksual merupakan kejahatan. Itu merupakan zina dan dosa dalam pandangan Islam. Lelaki harus menahan diri dari perbuatan yang semacam ini dan mereka yang melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan harus dihukum. Tapi kaum perempuan juga diharapkan memahami hal ini dan membantu dengan berpakaian yang sopan dan menutup aurat.
Janganlah bersikap tidak perduli dan tetap bersikukuh mengenakan pakaian minim di tempat-tempat umum. Hilangkan ego dalam hal ini. Jika ada perempuan, ataupun laki-laki, yang hendak telanjang dan berpakaian seksi di tengah hutan atau di dalam ruangan tertutup, maka itu terpulang pada mereka sendiri. Tapi jika mereka melakukannya di tempat-tempat umum, maka ada banyak mata yang akan melihat dan sulit untuk menghindarinya. Hal semacam itu sangat mempengaruhi dan mengganggu kaum lelaki, terutama mereka yang berusaha untuk menjaga diri dari hal-hal semacam itu. Believe me, it’s disturbing! Kalaupun ada laki-laki yang tidak merasa terganggu dan mereka justru menikmati hal semacam itu, maka itu bukan berarti syahwatnya tidak terpengaruh. Hanya saja ia tidak tahu atau tidak perduli bahwa hal itu merupakan dosa.
Sebagian perempuan ada yang berkata kepada kaum lelaki, “Urus saja sendiri mata dan pikiranmu, jangan ikut campur dengan pakaian kami.” Perkataan ini tidak tepat. Karena kalau seperti itu, para perokok juga nantinya akan berkata, “Urus saja sendiri hidung dan paru-parumu, jangan ikut campur dengan apa yang saya letakkan di mulut saya, ini merupakan hak saya.” Atau nanti ada yang memasang musik dengan suara sangat keras sehingga mengganggu tetangganya. Lalu dia berkata, “Saya berhak mendengar apa yang saya mau, jangan campuri urusan saya, urus saja sendiri telinga Anda.”
Apakah argumen-argumen seperti ini bisa diterima? Apakah Anda bisa menerimanya? Anda mungkin merasa berhak mendengarkan sesuatu, menghisap rokok, atau berpakaian apa saja. Tapi ketika Anda melakukannya di tempat umum, maka ada banyak orang lain yang terlibat di sana. Hak-hak mereka juga harus dihargai. Bukankah begitu?
Sebagian perempuan ada yang masih protes, “Ini tubuh saya, milik saya, saya berhak melakukan apa saja dengannya.” Ini juga perkataan yang tidak tepat. Cobalah jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah kita pernah membeli atau berusaha untuk mendapatkan tubuh kita ini? Apakah kita pernah membuat pilihan untuk mendapatkan tubuh kita yang sekarang ini? Kalau kita memang memilikinya, apakah kita bisa menukarnya dengan tubuh lain yang lebih kita sukai untuk kita miliki? Selain itu, apakah kita bisa menentukan berapa lama kita akan memiliki tubuh ini? Apakah kita bisa mempertahankan tubuh kita saat kematian datang? Kalau kita tidak mampu menentukan pilihan saat mendapatkannya dan kita tidak mampu mempertahankannya sesuai keinginan kita, maka bagaimana mungkin ia merupakan milik kita?
Tubuh ini bukan milik kita. Ia hanya dipinjamkan kepada kita. Maka pergunakanlah itu dengan sebaik-baiknya. Syukurilah ia dengan menggunakan pakaian yang baik dan menutup aurat. Kalau kita menjaga diri, insya Allah kita pun akan lebih terlindungi dari gangguan orang lain.
Demikian pula kaum lelaki. Gunakan mata dan pikiran untuk hal yang baik, bukan untuk melihat dan memikirkan hal-hal yang dilarang. Kalau tubuh Anda kuat dan syahwat Anda besar, bukan berarti Anda boleh menerjang hal yang diharamkan. Seperti dikatakan dalam sebuah buku (Randy Pausch, The Last Lecture), “Hanya karena kau duduk di kursi pengemudi, tidak berarti kau harus menabrak orang.”
Jakarta,
21 Shawal 1432/ 19 September 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)